HAUPUKU

Kinarian
Chapter #3

Bukan Tentang Siapa

Tiga hari setelah kedatangan Ayah ke rumah, aku menderita cacar dan tidak bisa kuliah atau sekadar nongkrong di tempat kedai Kak Bara. Ibu menyuruhku beristirahat penuh agar gelembung-gelembung kecil yang muncul hampir di sekujur tubuh bisa pecah sempurna. Saat kali pertama mengetahui jika aku sakit, Ibu segera menangani dengan membawaku ke dokter, sekaligus membeli beberapa makanan untuk persediaan di rumah. Sepanjang perjalanan menuju ke dokter itu, aku tak henti menatap Ibu yang kerap menyunggingkan senyum tulus. Wajahnya yang lebam karena tangan kasar Ayah, kini berangsur membaik. Setiap malam, Kakak selalu membantu Ibu mengompres lebam itu dengan air es. Aku sendiri hanya mengamati keduanya secara saksama, meski sejujurnya ingin menumpahkan seluruh kata maaf atas perlakuan Ayah kala itu. 

Memiliki sosok ibu seperti ibu Kak Bara memang impianku sejak lama. Saat masuk SD, aku hanya diantar dan ditemani oleh Ayah. Tidak ada sosok ibu yang dimiliki seperti teman-temanku yang lain. Mereka bebas bergelayut manja pada ibu saat guru kelas menyuruh masuk, tetapi mereka tetap tidak mau. Ingin selalu ditemani ibu, bahkan sampai duduk di pangkuan ibu selama belajar di kelas. 

Sepanjang hari, aku hanya menjadi pemerhati mereka. Seragam, tas, sepatu, dan tempat pensilku memang jauh lebih mahal daripada teman-teman yang lain. Akan tetapi, rasanya semua itu tidak berarti sama sekali. Hal yang aku butuhkan adalah kehadiran ibu, layaknya anak kelas satu SD yang masih mengandalkan semuanya pada sosok itu. 

Hari-hari itu penuh kesepian. Aku menjadi siswa yang jarang berbicara dengan teman-teman karena mereka selalu membicarakan kehebatan ibu masing-masing. Sedangkan aku? Jangankan kehebatan ibu, merasakan kehadirannya dalam waktu yang lama saja tidak. Mama lebih memilih pergi meninggalkan kami ketika aku masih berusia empat tahun.

Selama itu, Ayah selalu mengurusku dengan sangat sabar dan baik. Kalau pekerjaan di kantor sedang padat, Ayah selalu menitipkanku ke rumah Bu Sumi, tetangga kami yang belum memiliki anak. Bu Sumi memang tetangga yang begitu baik. Pada saat aku dan Ayah berpamitan ke rumahnya karena akan pindah ke rumah ibu Kak Bara, dia menangis sesenggukan. Katanya, aku ini sudah seperti anak Bu Sumi sendiri. 

Setiap kali guru kelas bertanya apa mimpi siswa-siswanya, aku selalu menjawab ingin memiliki ibu seperti teman-temanku yang lainnya. Sosok yang bisa menjadi penenang setiap kali ketakutan menghadapi ulangan semester datang. Sosok yang dengan sepenuh hati membawakan rapor untukku setiap kali kenaikan kelas. Sosok yang … ah, aku terlalu memiliki impian yang tinggi terhadap sosok ibu. 

Ketika semua mimpi itu sudah kudapatkan dari ibu Kak Bara, rasanya aku tak ingin melepaskannya lagi. Ibu telah memenuhi seluruh mimpi kecilku dulu, ditambah kehadiran Kak Bara yang seakan mengubah warna abu-abu kehidupan menjadi lebih berwana-warni. Aku bersyukur Ayah menikahi perempuan sebaik Ibu yang saat itu sudah berstatus sebagai single parent

“Des, udah diminum obatnya?” Suara Ibu menarik kesadaranku ke dunia nyata. Aku menggeleng kasar, mengenyahkan bayangan menyedihkan itu. 

“U-udah, Bu. Tapi kok ini masih gatal-gatal ya, Bu? Apa obatnya nggak cocok?” Aku berdecak mengamati kedua tangan yang dipenuhi gelembung kecil. Gatal sekali!

“Ya enggak gitu dong, Des. Obatnya kan perlu proses untuk penyembuhan. Jadi nggak mungkin sekaligus bereaksi. Dokter bilang, kamu harus banyak minum air putih dan istirahat.” Langkah Ibu terhenti di samping tempat tidurku. Matanya menilik bagian-bagian tubuh yang dipenuhi cacar. “Kalo gatal, jangan digaruk, ya.” 

Aku mengangguk saja. Perhatian super yang diberikan oleh Ibu, menandaskan seluruh perkataanku kali ini. Lamat-lamat aku melihat wajah dan dahinya yang dipenuhi keringat. Seharian ini Ibu memang banyak melakukan pekerjaan, mulai dari mengantarku ke dokter, belanja kebutuhan bulanan, memasak makan siang untuk Kakak di kedai, sampai bolak-balik ke kamar untuk mengecek keadaanku. 

Makasih untuk semuanya, Bu. Aku sayang Ibu. Kalimat itu hanya bisa kusampaikan dalam hati. Namun, membuat mata terasa perih dengan cepat. 

“Hei, kamu kenapa tiba-tiba nangis?” Ibu menyentuh pipi kananku. “Apa ada yang sakit?” lanjut Ibu. Suaranya kentara khawatir melihat perubahan ekspresiku barusan. Aku menggeleng lemah tanpa menjawab sepatah kata pun. Tidak berani berkata-kata di hadapan Ibu. 

“Ah, kamu ini. Apa mau Ibu teleponin Kak Bara?” Penawaran itu memang kerap diberikan setiap kali aku memberengut atau tidak keluar kamar seharian. Ibu tahu kalau aku akan selalu luluh dan berkata apa saja pada kakak tiriku itu. 

“Ibu jangan pergi. Aku minta maaf udah nuduh Ibu yang enggak-enggak.” Ujung pakaian Ibu kucengkeram kuat sembari terus meluapkan air mata. 

“Nggak ada yang perlu dimaafkan. Ibu juga nggak akan pergi ke mana-mana.” Jempolnya menyeka air mataku lembut. Sungguh, perlakuan Ibu semakin membuat rasa bersalah menerobos ke dalam hati. 

“Jangan usir aku, Bu. Aku butuh Ibu.” Suaraku bergetar karena menahan diri agar tidak menangis terlalu kencang.

Tangan Ibu mendongakkan daguku perlahan. Binar mata hangat itu selalu saja Ibu berikan padaku, kapan pun dan di mana pun. Dia tidak pernah memberikan tatapan kebencian sama sekali. Ya, tidak pernah.

“Meskipun kamu nggak lahir dari rahim Ibu seperti Bara, tapi kamu harus percaya kalo Ibu nggak pernah membedakan status kalian. Ibu sayang sama Bara, Ibu sayang sama Deslia. Kalian anak-anak hebat Ibu. Kalian selalu membuat hari-hari Ibu lebih hidup lagi. Kalian ….” 

Tanpa menunggu ucapannya selesai, aku segera menghambur ke pelukan Ibu. Rupanya Ibu tak pernah membedakan statusku di rumah ini. Kasih sayangnya semurni air pegunungan yang ditunggu ribuan orang kehausan. Tatapannya sehangat mentari yang menghangatkan pagi. Juga semua yang diberikan, menjadi nilai yang begitu berharga dari apa pun. Aku menyayanginya.

***

Malam ini aku berguling gelisah di tempat tidur. Tugas wawancara yang harus selesai beberapa hari lagi, belum kukerjakan sedikit pun. Penyakit cacar yang diderita juga semakin menambah kerumitanku saja. Bagaimana kalau tugas itu tidak bisa selesai seperti yang diharapkan oleh dosen? 

“Ah, mending nggak usah ngerjain dan pura-pura nggak tahu ada tugas aja!” putusku, hilang ide.

“Tapi nanti pasti diceramahin dosen, ‘Deslia Ramatria, kamu itu niat kuliah atau tidak? Mengapa ada tugas kecil begini saja tidak mengerjakan?’ Udah pasti itu dosen ngomong begitu!” Aku mengacak rambut frustrasi. 

“Kalo nggak ngomong begitu, paling dosen ngomong ke anak-anak, ‘Hei, kalian jangan tiru si Deslia Ramatria itu, ya. Tidak mengerjakan tugas saya sama sekali! Padahal kan tugasnya gampang'. Pasti!” 

“Punya adik kok kerjaannya guling-guling di kasur kayak ulet gitu. Nanti bisulnya tambah banyak, lho,” sahut seorang laki-laki dari arah pintu. Siapa lagi kalau bukan Kak Bara.

“Ih, bukan bisul. Ini cacar, Kak. Amit-amit punya bisul sekujur tubuh,” timpalku, tidak terima dikatakan sedang bisulan.

“Haha, ya habisnya, kamu dari tadi Kakak perhatiin guling sana, guling ke sini. Kamu kenapa? Gatal lagi cacarnya?” Kak Bara melipat tangan di depan dadanya dengan bersandar diri pada pintu kamarku.

“Bukan soal cacar aja, sih. Tapi ini cacarnya gatal banget, Kak. Udah kayak nggak mandi sebulan.” Selimut yang menutupi setengah bagian tubuh kutendang hingga jatuh. “Aku juga mikirin tugas wawancara di kampus. Kalo kondisi kayak gini, mana bisa wawancara.” 

“Wawancara? Pasti dosennya Pak Tohir, ya? Yang botak itu, kan?” Kakak mengangguk-angguk serius, tetapi ada tatapan jail dari kedua matanya.

Lihat selengkapnya