Aku nggak jadi joging, Kak. Cacarku tambah banyak. Tapi jangan lupa cerita sama aku soal cewek gebetan Kakak, ya!
Walau letak kamarku dan Kak Bara bersebelahan, mengirimkan pesan dalam kondisi seperti ini rasanya bisa menjadi pilihan terbaik. Pesan itu terkirim dalam hitungan detik, tetapi Kakak tidak membalasnya sama sekali.
Aku mendesah. Obrolan singkat dengan Ayah masih saja membuatku tercenung di tempat tidur. Aku memilih kembali merebahkan diri dan berharap cacar ini akan segera berakhir agar aku bisa beraktivitas seperti biasa. Sejujurnya, masih banyak yang ingin kutanyakan pada Ayah mengenai kondisinya belakangan ini yang terlihat agak kacau. Ayahku bukan pribadi kasar yang dengan mudah memukul orang lain jika tidak ada sesuatu yang menekan emosinya. Sampai sejauh ini, aku masih bisa mengenal Ayah dengan sangat baik dan tetap menghormatinya.
Letak ponsel sedikit berubah karena getaran yang ditimbulkan dari notifikasi. Aku sengaja mengubah mode umum menjadi mode getar saja agar tidak mengganggu saat memutuskan tidur lagi.
Deslia, maaf tadi ada tamu. Kamu jaga kesehatan, ya.
Pesan singkat dari Ayah mengenai pemutusan sambungan telepon. Di kalimat akhirnya benar-benar seperti sedang merenggut sedikit rindu yang bersarang dalam hati. Cukup lama tidak mendapat sebentuk perhatian darinya.
***
Aroma masakan tercium begitu menggugah selera saat aku baru keluar dari kamar mandi. Setelah mendapat pesan dari Ayah, aku memang tertidur dan baru bangun sekitar setengah jam yang lalu, pukul sepuluh. Dalam keadaan sakit, aku tetap memilih mandi meski tidak bisa leluasa menggosokkan sabun cair ke seluruh tubuh. Sebagian kecil gelembung sudah pecah hingga aku berani mandi tanpa meminta pendapat dari Ibu dulu.
Pakaian hari ini hanya kaus berlengan pendek warna putih dipadukan dengan celana tidur katun warna biru langit. Rasa penasaran pada aroma masakan, seolah menarik langkahku keluar kamar. Tidak terdengar suara televisi menyala dari bawah, tetapi hanya ada suara seorang penyiar radio yang berbicara cukup cepat.
Mataku mengamati sekitar, tidak ada siapa-siapa. Namun, aroma masakan semakin kuat dari arah dapur. Aku berjalan ke sana dan mendapati seorang laki-laki sedang sibuk di depan kompor. Ada dua buah piring kosong tergeletak di atas meja makan, dua macam saus, satu parutan keju, dua sumpit kayu, dan satu teko kaca berisi miuman berwarna merah muda, entah jus atau hanya sirup kesukaan Kak Bara.
“Kakak nggak ke kedai?” tanyaku, selepas mengamati gerak-geriknya dalam diam.
Dia menoleh, menyengir cukup lebar dan berkata, “Hari ini Kakak tutup kedai dulu, Des. Ayo, duduk. Tadi Kakak ke kamar kamu tapi kamu masih ngorok. Kebo banget sih, Des,” ucapnya diakhiri kikikan.
“Oh, gitu. Sorry ya, Kak, aku nggak jadi ikutan joging karena cacarku tambah banyak.” Aku melipat kedua tangan di atas meja makan untuk dijadikan tumpuan dagu. “Lagian tadi aku udah chat Kakak. Ada nggak?”
“Ada, kok. Jadi nggak jadi dong ya, Kakak cerita soal gebetan itu? Soalnya kan kamu tadi nggak ikut joging,” ujarnya, menatapku jail.
“Dih! Nggak bisa gitu, dong. Kakak harus cerita sama aku. Titik!” desakku, sedikit mengangkat kepala. Kakak hanya tertawa saja menanggapi ucapanku sambil terus memasak sesuatu di dalam wajan.
Lima menit berikutnya, kompor yang menyala akhirnya dimatikan. Kakak mengangkat wajan ke arah mangkuk kaca ukuran sedang di sampingnya. Dia memasukkan hasil kreasi pagi ini ke sana dan membawanya ke meja makan. Dua lembar lumpia ditaruh pada masing-masing piring kosong tadi, lalu masakan yang sudah berpindah tempat ke mangkuk sedang, diambil sedikit demi sedikit ke atas kulit lumpia. Saus tomat ukuran sedang ditambahkan, belum lagi keju yang sudah diparut ikut menyesaki atas piring itu.
“Lumpia basah saus tomat dan keju. Ayo, cobain.” Satu piring disodorkan lengkap dengan sumpit kayunya. Sementara aku mencicipi, Kak Bara kembali melakukan hal yang sama pada piring satunya. “Gimana rasanya?”
“Enak!! Ya ampun, ini namanya makanan murah tapi nggak murahan,” seruku bangga memiliki kakak yang jago memasak. “Nanti ajarin aku masak juga ya, Kak.”
“Akhirnya kamu puji masakan Kakak juga. Gampang kalo mau diajarin masak.” Kursi di depannya ditarik dan Kakak segera duduk di sana. Menyantap lumpia basah seperti yang sedang kulakukan.
“Kakak nggak bikin buat Ibu?” Sejak duduk di meja makan, aku memang tidak melihat ataupun mendengar suara Ibu.
“Ibu kan pergi dari tadi pagi. Bahkan dari jam enam udah pamitan ke kamar Kakak. Katanya mau ke mana … gitu. Kakak kurang tahu, sih.” Kak Bara menjawab sangat tenang, padahal aku hampir tersedak mendengar ucapannya. Apa jangan-jangan suara yang aku denger di telepon itu, suara Ibu? batinku.
“Heh, kenapa? Apa ada masalah?” Kakak membuyarkan lamunanku.
“Ih, ngagetin. Enggak, kok, nggak ada.” Tak mungkin rasanya berbicara mengenai suara perempuan di telepon itu pada Kakak. Jadi, aku memilih berbohong saja.
“Oh iya, Ibu bilang, kamu harus minum obat yang dari dokter itu biar cepet sembuh.” Syukurlah Kakak tidak bertanya macam-macam mengenai sikap anehku tadi.
“Iya, nanti aku minum. Eh, Kak. Kapan sidang perceraian Ibu sama Ayah? Apa mereka beneran mau pisah?” Keningku mengernyit menunggu jawaban.
Bahunya mengedik. “Nggak tahu. Ibu nggak pernah cerita soal itu. Tapi katanya surat dari pengadilan udah Ibu terima. Katanya, sih. Cuma Kakak nggak tahu persis kapan persidangan itu. Kalo dilihat-lihat, Ayah beneran mau pisah sama Ibu, deh.” Senyum skeptis tercetak dari wajah Kakak. Dia seperti enggan berkomentar lebih banyak lagi mengenai urusan Ayah dan Ibu. Aku sendiri mengangguk-angguk mendengarkan, tetapi tak dapat dimungkiri jika pikiran lagi-lagi tertuju pada suara tadi.
Suara itu … apa yang dilakukan Ibu dengan mendatangi ayah ke Dago?
***
Tidak terhitung berapa kali aku mondar-mandir dari kamar ke bawah hanya untuk memastikan kalau Ibu sudah pulang. Namun, sampai pukul tiga sore, Ibu masih tidak terlihat. Berulang kali aku mencoba menghubungi Ibu sekaligus menanyakan keberadaannya saat ini. Akan tetapi, Ibu tidak membalas WhatsApp yang kukirimkan. Belum lagi langit sudah terlihat mendung, bisa-bisa sebentar lagi hujan akan turun.
Di teras rumah, aku berdiri mengamati sekitar dan duduk di kursi yang terbuat dari kayu itu. Kak Bara tidak terlihat batang hidungnya sejak selesai menujukkan menu baru padaku. Dia bilang, seharian ini ingin beristirahat di kamar saja tanpa melakukan aktivitas yang menguras banyak tenaga.
Sesuai dugaan, perlahan hujan turun sampai kilatan petir seolah membelah langit dengan gagah. Aku terperanjat dan berlari ke dalam untuk menghindari sambaran petir. Sofa merah marun di ruang tengah menjadi pelarianku seraya membawa majalah masakan yang selalu Ibu pesan dari tukang majalah langganan.