HAUPUKU

Kinarian
Chapter #5

Meremuk Asa

Berhari-hari terpenjara di dalam rumah, akhirnya aku bisa kembali beraktivitas bebas dan kuliah lagi. Tugas wawancara yang diberikan oleh Pak Tohir sudah kukerjakan dengan sangat baik, apalagi Pak Tohir tersenyum penuh bangga saat mengetahui siapa sosok yang menjadi narasumberku. Pak Tohir bilang, Kak Bara merupakan mahasiswanya yang telaten dan pekerja keras. Kakak selalu aktif dalam setiap mata kuliah bisnis yang diampunya. Tak sebatas memuji di sana, Pak Tohir juga menunjukkan sebuah foto ketika mereka mengadakan riset di sebuah kota industri di Indonesia. Di dalam foto itu, Kakak tersenyum lepas, begitu pun dengan Pak Tohir. Lucunya, Pak Tohir baru menyadari kalau aku adalah adik dari mahasiswanya yang berbakat itu. Ya, tidak mengherankan, sih. Aku dan Kakak sangat berbeda. Setiap kali mengingat perbedaan itu, aku selalu malu. 

Selain itu, Ibu juga sudah kembali ke rumah tepat pukul tujuh malam. Aku dan Kak Bara yang menunggunya sejak sore, merasa tenang saat Ibu pulang dalam keadaan baik-baik saja. Ibu hanya mengaku sudah mengunjungi sahabatnya yang baru pulang dari Arab Saudi. Perbincangan mereka membuat Ibu lupa waktu hingga terjebak hujan di sana. Dari kata-katanya, aku merasa Ibu tidak berterus terang. Entah hanya pikiranku saja atau memang Ibu sedang menyembunyikan sesuatu. Tanpa ingin menuduh macam-macam, aku mengiakan semua yang Ibu katakan malam itu. Toh, setiap rahasia akan menunjukkan kebenarannya sendiri.

“Kamu yang waktu itu di kantin, kan?” Seorang laki-laki jangkung menyapaku yang baru keluar dari ruang dosen. 

Keningku mengerut mencoba mengingat-ingat. “Ma-maaf, siapa, ya?” 

“Aku yang waktu itu makan mi ayam di meja kantin sama kamu. Inget, nggak?” 

Sejenak, memoriku berputar cepat. Laki-laki itu yang banyak bertanya saat aku sedang sibuk memikirkan tugas Pak Tohir. “Iya, ingat. Kenapa?” Cara bicara yang terkesan jutek ini spontan kulemparkan padanya. 

“Enggak, kok. Seneng aja bisa ketemu lagi. Akhir-akhir ini aku jarang lihat kamu di kantin.” Dia tersenyum sembari menggaruk tengkuknya. 

“Ada perlu apa, ya?” Mataku memicing, menyelidiki maksud terselubung dari ucapan laki-laki yang tidak kuketahui namanya. 

“Ah, kamu masih jutek aja. Aku nggak maksud jahat, kok. Aku cuma mau berteman sama kamu.” Wajahnya semringah, lalu mengulurkan tangan dan berkata, “Reon. Namaku Reon.” Senyum itu masih menghiasi wajahnya. Tak dimungkiri, senyum laki-laki yang mengaku Reon di hadapanku memang cukup memesona. 

“Nggak enak ngobrol di tengah koridor kayak gini. Aku duluan, ya.” Baru saja berniat meninggalkannya, Reon menahan lenganku.

“Maaf, aku nggak punya banyak waktu buat hal nggak penting, apalagi sama orang asing.” Pegangannya kutepis dengan segera tanpa berbasa-basi lagi.

Aku sengaja tidak terlalu menanggapi sikap manisnya karena belum terbiasa dekat dengan laki-laki. Selama ini aku memang hanya dekat dengan dua laki-laki, yaitu Ayah dan Kak Bara. Selain kedua laki-laki itu, keberanianku dekat lawan jenis seolah tidak ada lagi. Lebih pada perasaan takut dan menjaga hati agar tidak sakit hati seperti … Ibu. 

Ah, Ibu. Besok adalah hari persidangannya dengan Ayah. Kak Bara mewanti-wanti supaya aku menemani Ibu menjalani proses persidangan. Hal ini dikarenakan Kakak tidak bisa datang tepat waktu ke tempat persidangan karena harus membuka kedai dahulu. Jika urusan di kedai sudah selesai, Kakak baru akan menemui kami di gedung persidangan dan kedai akan dititipkan pada kedua temannya sampai dia kembali ke sana.

Bug!

Pada saat di koridor, aku merasakan sesuatu menimpa kepala sampai rasanya sangat pening. Sekeliling terlihat bergoyang-goyang, badan terasa lemas mendadak, dan aku melihat bayangan Ayah serta Ibu sedang bertengkar hebat. 

***

“Aduh, pusing banget.” Ruangan bercat putih dengan aroma menyengat menjadi pemandangan pertama yang kulihat. 

“Ah, akhirnya kamu sadar. Tadi kepala kamu ketiban bola basket. Jadi aku bawa ke klinik kampus aja. Nggak apa-apa, ‘kan?” Orang yang berbicara itu Reon, laki-laki yang tadi mengobrol denganku. 

“Makasih.” Aku menjawab singkat sembari memegang kepala yang terasa berdenyut. Kalau saja tadi tidak pingsan, aku akan menemui dan memarahi orang yang melemparkan bola basket itu. Enak saja dia melempar bola sembarangan.

“Ini, minum dulu. Tadi petugas kesehatan bilang, kamu nggak apa-apa. Cuma pasti rasanya nyut-nyutan, hehe.”

Ah, senyum itu lagi. Sebisa mungkin aku masih bersikap datar pada Reon. Jangan sampai dia menganggapku Deslia yang gampangan. 

“Makasih,” balasku, menerima air mineral botol yang disodorkan Reon. 

Selama beberapa saat, hening menguasai klinik kampus yang baru kali ini kusinggahi. Dari sudut mata, aku bisa mengetahui kesibukan Reon di depan ponsel. Sesekali dia mengulum senyum, tak tahu sedang melihat apa di sana. Ini orang kenapa sih, ngikutin terus? Apa dia mau celakain aku? batinku menceracau.

“Ehm. Aku lupa belum tanya nama kamu.” Reon kembali bersuara setelah ponselnya dimasukkan pada saku celana. 

“Aku Deslia. Kok kamu ngikutin aku terus, Re-on?” tanyaku gugup. Bodoh sekali, kenapa harus segugup ini!

“Pasti kamu mikir aku mau macem-macem, kan? Hehe. Nggak gitu kok, Des. Aku cuma mau berteman sama kamu aja.” Reon lagi-lagi menggaruk tengkuknya. 

“Berteman? Apa nggak ada mahasiswa lain yang bisa diajakin temenan selain aku?” tanyaku, masih tidak paham maksud dari ucapannya. Wajah Reon mendadak berubah menjadi merah. Kentara sekali jika yang kukatakan tadi memang benar adanya, bahkan mungkin ada tujuan lain dari sikapnya padaku.

Lihat selengkapnya