HAUPUKU

Kinarian
Chapter #6

Pesta Air Mata

Gemintang terlihat bertabur cantik di kaki langit seolah sedang memandangku dengan iba. Di atas genteng ini aku duduk sendiri membiarkan seluruh tubuh diterpa angin. Butuh usaha yang sangat keras hingga aku bisa di sini, memandang langit malam dengan perasaan tak keruan. Angin yang datang sering mengacak rambutku, tetapi itu tidak mengubah keinginan untuk tetap berdiam diri di atap rumah. 

Tanganku memegang sebuah pigura keluarga yang diberikan oleh ayah beberapa bulan lalu. Foto kami berempat di sebuah tempat wisata yang pernah diabadikan oleh semesta. Dahulu, aku selalu menganggap kehidupan ini sangat membosankan. Tidak ada hal baru di dalam rumah, karena ayah maupun ibu termasuk orang tua yang menjunjung tinggi peraturan. Namun, saat ini takdir seperti sedang membawaku keluar dari rasa bosan itu. Menampakkan bahwa apa yang kumiliki, seharusnya disyukuri bukan dirutuki. Jika sudah begini, siapa yang harus kusalahkan lagi? Ayah dan ibu, mereka sama-sama memiliki alasan kuat mengapa akhirnya berpisah. Alasan yang kurasa hanya dikatakan demi menutupi sebuah rahasia. Bodoh! Sampai saat ini, aku belum bergerak mencari tahu mengenai hal-hal yang kutemui semenjak ayah tidak di sini. 

“Ya ampun, Des! Kalo kamu jatuh, gimana? Ayo, turun.” Suara itu mengangetkanku. Terlihat kepala kakak mendongak menatap penuh kecemasan. 

“Ih, ngagetin. Kalo jatuh, ya ke bawah, lah. Masa ke atas, sih? Lagian Kakak ngapain ke kamar aku? Mau modus pinjem pulpen lagi?” tuduhku, tidak terlalu memedulikan perintahnya untuk turun. 

“Enggak, dong. Kakak disuruh Ibu buat cari kamu. Katanya Ibu mau bilang sesuatu sama kamu, Des. Ayo buruan turun!” Kakak memerintah dengan suara bariton yang khas. Beberapa saat aku mencerna ucapan kakak. Ibu ingin mengatakan sesuatu? Apa ini saatnya aku keluar dari rumah?

“Deslia! Malah ngelamun, lagi. Ayo, cepetan temui Ibu,” ujar laki-laki yang kemudian berlalu dan tak kudengar lagi suaranya. 

Berhubung mengenai ibu, alhasil aku menuruti saja untuk turun dari atap rumah. Sama halnya dengan saat naik tadi, aku juga kesulitan turun untuk mencapai bagian lantai dalam kamar. Balkon rumah ibu memang tidak begitu luas seperti rumahku di Dago, jadi perlu usaha ekstra untuk melakukan atraksi menaiki atap rumah. 

Pigura tadi kusimpan di nakas dengan posisi berdiri. Sebelum menemui ibu, aku mondar-mandir gelisah di sisi tempat tidur. Andaikata ibu menginginkan aku keluar dari rumah ini, aku akan melakukannya demi kebaikan. Meski di lubuk hati terdalam, rumah milik ibu ini terasa sangat nyaman dan sulit ditinggalkan. 

Langkah terseret keluar kamar tanpa berpikir panjang lagi. Suara ibu dan kakak bersahutan memanggilku dari bawah, seakan sudah tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu. Demi apa pun, degup jantungku berpacu lebih cepat saat semakin dekat ke ruang tengah. 

“Sini duduk, Des.” Ibu menepuk sofa di sampingnya begitu melihatku turun. 

“Ada apa, Bu? Apa soal statusku di rumah ini?” Pertanyaan ini meluncur saat sudah duduk di samping ibu sebagaimana permintaannya tadi. 

Ibu menggeleng dan mengembuskan napas berat. Ia meraih beranjak ke kamar dan kembali dengan membawa sesuatu di tangannya. Pigura yang pernah kulihat ketika menemui ibu di belakang rumah. Malam itu ibu menangis sambil menatapi pigura penuh dengan kesedihan. 

Kak Bara tidak bersuara sedikit pun melihat apa yang ibu bawa dari kamar. Ia hanya menunduk memainkan ponsel, benar-benar tidak menunjukkan rasa penasaran yang menggebu sepertiku. Aku malah mengira kakak sudah tahu apa yang akan ibu katakan malam ini. Tak mengherankan dirinya begitu tenang menghadapi situasi yang berubah mendebarkan layaknya akan mengikuti ujian semester. 

“Coba kamu lihat pigura ini, Des,” titah ibu, menyodorkan pigura tersebut di pangkuanku. 

Ada empat orang pada foto di dalam pigura itu. Dua laki-laki dan perempuan sedang duduk seraya tersenyum bahagia. Ibu duduk di samping seorang laki-laki paruh baya seumuran dengan ayah. Kemudian Kak Bara duduk di lengan kursi samping kiri ibu, membawa sebatang cokelat. Sampai akhirnya mataku tertuju pada seorang anak perempuan yang sama sekali tidak kukenali.

“Ini siapa, Bu?” tunjukku, pada anak perempuan berbando ungu yang duduk di sebelah mendiang Ayah Kak Bara.

“Dia anak bungsu ibu, adiknya kakakmu.” Senyum ibu membuat cekungan di kedua pipinya. 

“Kak Bara punya adik kandung cewek, Bu?” Aku terbelalak tidak percaya. Selama ayah menikah dengan ibu, aku tak pernah mendengar cerita mengenai sosok anak perempuan itu. 

Ibu mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Namanya Aini, adik kandung Bara. Dia ikut meninggal saat kecelakaan suami pertama ibu, Des.” Intonasi bicara yang tertahan, menyiratkan ibu sedang menahan laju air mata yang menyesaki perasaannya.

“Ya Allah … jadi, Ibu kehilangan dua orang sekaligus? Kenapa Ibu nggak pernah cerita sama aku? Kakak juga, kenapa malah diam terus? Aku ‘kan mau kenal sama Aini.” Air mata itu mendadak menerobos kedua mata. Tidak tega membayangkan beratnya kehidupan ibu dan kakak saat harus merelakan dua orang yang disayangi dalam satu waktu bersamaan. 

“Kami sengaja nggak pernah cerita, Des. Hanya ayah kamu aja yang tahu soal Aini. Saat itu ibu masih belum bisa bercerita banyak. Rasa sakit karena kehilangan benar-benar seperti menghukum ibu. Malam itu waktu kamu marah karena ibu nggak bertindak terhadap Ayah, ibu menangisi kepergian Aini lagi. Tanpa ada kamu di dalam kehidupan ibu, mungkin ibu akan merasa separuh nyawa ibu masih hilang bersama Aini. Kehadiran kamu di rumah inilah yang membuat ibu bahagia. Meskipun kamu bukan anak kandung ibu, tapi kasih sayang ibu selalu tulus.”

Ada jeda menyakitkan yang dilakukan ibu, sampai akhirnya ia kembali berkata, “Ibu merasa bersalah pada Aini karena saat itu belum bisa menjadi ibu yang baik untuknya. Ibu selalu sibuk membantu pekerjaan suami pertama di kantor, tapi jarang sekali memperhatikan Aini. Ibu ingin menebus semua rasa bersalah itu melalui kamu. Ibu nggak mau kehilangan anak perempuan ibu untuk kedua kalinya.”

“Jadi, itu alasan Ibu sama Kakak selalu jagain aku? Karena … karena kalian nggak mau kehilangan aku?” Aku tergagap menanyakan hal itu seraya menatap ibu dan kakak secara bergantian. 

“Bagi kakak, meskipun kamu adik tiri, tapi kamu yang selama ini bikin kakak bersyukur sama takdir. Kamu yang datang saat kakak merasa sangat kehilangan Aini. Tawa kamu, kepolosan kamu, dan semua yang kamu tunjukkan, semakin membuat kakak takut kehilangan sosok adik kedua kalinya. Jadi, jangan pernah berpikir kalo kamu akan kami usir dari sini.” Kak Bara menyeru, tetapi ia membuang wajah dari tatapanku. Tanpa diberi tahu alasannya, aku sudah paham kalau kakak sedang menahan sesak di dada. “Kakak sayang sama kamu, Des.” 

Matanya yang tadi liar tanpa melihatku, sekarang malah membidik lurus diikuti air mata. Kak Bara menangis sesenggukan, membuatku semakin merasa bersalah karena pernah berpikir macam-macam tentang mereka. 

“Aku mau ke makam Aini, Bu. Ibu mau ‘kan, temenin aku ke sana?” rengekku, mengguncang lengan ibu penuh permohonan. 

“Ya, pasti, Des. Besok kita ke sana sama-sama.” Tangan ibu merangkul dan mendekapku sangat erat. Inilah yang dinamakan hati seorang ibu tak pernah ada yang menandingi. Sekeras apa pun perjuangan menahan rasa kehilangan, sekeras itu pula ia selalu mengatakan baik-baik saja. Namun, malam ini aku tahu alasan kenapa ibu dan kakak begitu menyayangiku. Semua semata-mata karena masa lalu telah mengajarkan pada mereka, jika kehilangan adalah hal menyakitkan teruntuk siapa saja. 

Rabb, terima kasih untuk semua yang tertulis hingga detik ini. Terima kasih karena aku dibesarkan dalam keluarga yang tulus seperti ini. Meski aku bukan anak yang lahir dari rahim Ibu, tetapi Ibu selalu memperlakukanku dengan sangat baik. Terima kasih, Rabb. 

***

Yang pernah jatuh 

‘Kan berdiri lagi

Yang patah tumbuh

Yang hilang berganti

Makna yang tersirat dalam penggalan lagu milik Banda Neira berjudul Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti itu memang benar adanya. Layaknya sebuah pohon yang kehilangan daun karena gugur, maka seiring waktu berlalu, daun-daun yang baru akan tumbuh. Lebih rimbun, lebih kukuh, bahkan lebih besar. Itulah sejatinya kehidupan yang selalu digariskan oleh Tuhan tanpa bantuan siapa-siapa. Setiap jengkal dan desah napas hamba-Nya selalu diatur sedemikian apik. Walau tak jarang, aku merutuk pada takdir yang dirasa tak pernah adil. 

Semalam adalah momen mengesankan dalam kehidupanku. Mengetahui seberapa berharganya aku bagi ibu dan kakak, terlepas dari siapa aku sebenarnya. Hal yang ingin kulakukan setelah mendapat ‘tempat’ istimewa di hati mereka adalah mengunjungi pemakaman Aini bersama ibu dan Kak Bara. Aku ingin memeluk Aini sebagai tanda persaudaraan di antara kami, kendati hanya bisa memeluk nisannya saja. Aku juga akan bercerita pada gadis itu jika Kak Bara adalah kakak terbaik yang kutahu. 

Lihat selengkapnya