HAUPUKU

Kinarian
Chapter #7

Sisi Terburuk

Orang-orang di sekitar menatap iba setiap kali mereka melintas di tempatku terduduk saat ini. Lantai rumah sakit yang dingin membuat seluruh kehidupan seakan membeku seketika. Jarum jam seolah tidak bergerak maju seperti biasa, bahkan rasanya aku terlempar jauh ke masa SMA. Ketika menangis meratapi sesuatu yang sampai detik ini masih kugelayuti ribuan tanya mengapa. 

Batin perih menyadari kalau yang kecelakaan itu adalah ibu dan Kak Bara. Sesuai janji yang kami sepakati semalam, keduanya memang akan menjemputku ke kampus, kemudian kami menuju pemakaman Aini sama-sama. Aku tersentak melihat darah yang mengucur dari keduanya, lantas meminta semua orang, terlebih Reon agar segera membawa ibu dan Kak Bara ke rumah sakit.

Setelah melalui pemeriksaan secara intensif, dokter mengatakan jika ibu mengalami kondisi lebih parah dibandingkan kakak. Ibu koma akibat benturan keras yang terjadi dan mengenai kepala serta wajahnya, sementara kakak hanya perlu perawatan semaksimal mungkin untuk membantu kesadarannya. Saat ini ibu masih harus dirawat di ruang IGD dengan pemeriksaan rutin dari dokter. Kakak sendiri masih ada di ruang ICU sampai kondisinya benar-benar stabil. 

Seluruh lapisan atmosfer pelindung bumi seakan-seakan runtuh tepat menimpaku. Jangan ditanya seberapa banyak air mata yang tertumpah saat ini. Setiap detik, air kepedihan itu menderas membasahi pipi. Aku tak bisa membayangkan seandainya kedua orang yang selalu merengkuh kepingan harapanku itu tak bisa bertahan melewati masa-masa mendebarkan yang ada. 

Reon yang juga ikut membawa mereka ke rumah sakit, berubah menjadi manekin hidup yang sama sekali tidak berkomentar apa-apa. Ia sibuk mendesah, menatapku iba, dan sesekali menggeleng. Aku tak tahu apa yang tengah mengitari pusat kepalanya hingga ia bisa berubah dalam sekejap. Akan tetapi, sudut mataku melihat Reon menyeka ujung matanya. Reon menangis? Tidak. Aku tidak memedulikan hal itu untuk saat ini. Kepalaku terlalu semrawut dengan memikirkan kondisi kakak dan ibu di ruang rumah sakit. Mereka jauh lebih membutuhkan akal sehatku dibandingkan Reon. 

Aku beranjak bangkit menuju pintu yang terbuat dari kaca. Menatap ibu dengan perasaan bersalah tiada berujung. Ibu tertidur di ranjang rumah sakit dengan begitu lelap, tetapi beberapa alat medis berhasil mengelabui tubuh hebatnya. Ini yang selalu kutakutkan ketika merasa nyaman menjalani kehidupan bersama ‘orang baru’ selain ayah. Mereka kerap celaka dan hampir kehilangan nyawa. Ya, hampir, tetapi tidak seperti Kio yang benar-benar pergi selamanya. Tubuh terasa terpancang di depan ruangan IGD tanpa bisa berkata apa-apa. 

“Des, mending kamu lihat kondisi kakak di ruang ICU. Ibu kamu biar aku yang tunggu dulu,” kata Reon, memecah keheningan yang sedari tadi menguasai.

“Maaf aku merepotkan,” ujarku, tak mengalihkan pandangan dari sosok ibu di dalam. 

“Nggak apa-apa. Udah, sana lihat kondisi kakak kamu dulu.” Derap langkahnya terdengar mendekat. “Kamu harus kuat, Des.” 

“Ya, aku pasti kuat. Aku ke ruangan Kakak dulu. Titip Ibu sebentar ya, Re.” Air mata diseka secepat mungkin sebelum melangkah meninggalkan ruang IGD. Aku seperti kehilangan setengah hidup menjalani kenyataan ini. Tak semestinya kedua orang terkasihku itu terbaring di sana. Kalau boleh bernegosiasi dengan takdir, biar aku saja yang tergeletak di ranjang rumah sakit. 

Ketika sampai di ruang ICU, dokter terlihat baru keluar dari ruangan itu. Langkah yang tadinya diseret, berubah menjadi penuh tenaga untuk cepat-cepat menanyakan bagaimana kondisi kakak. Refleks aku menahan lengan dokter hingga ia berhenti dan menatapku penuh tanya.

“Ada yang bisa saya bantu, Dek?” tanyanya, begitu ramah.

“Saya mau tanya kondisi Kakak saya yang ada di ruang ICU ini, Dok. Bagaimana kondisinya? Apa Kakak baik-baik aja?” Pertanyaan demi pertanyaan terlontar cepat pada dokter yang terlihat berwibawa dengan jas kerja kebesarannya. 

“Untuk saat ini, kondisi pasien masih kritis. Tapi semoga pasien bisa segera pulih dan melewati masa kritisnya.” Dokter mengangguk mantap menjelaskan keadaan kakak. Celah kelegaan sedikit terbuka dalam hati, meski tetap saja aku tak bisa tenang sebelum kakak siuman. 

“Apa saya boleh masuk, Dok? Sebentar … saja,” rengekku dengan nada bicara memohon. Dokter itu mengangguk dan mengingatkan agar aku tidak membawa barang apa pun demi menjaga kesterilan ruangan. Aku mengangguk, dokter itu pun beranjak pergi bersama suster yang datang beberapa saat lalu. 

Ruangan ICU memang terlihat sangat steril, hening, juga cukup dingin. Di ranjang putih dengan beberapa alat medis di sisi-sisinya, terbaring seorang laki-laki yang selalu memanjakan lidahku karena masakannya. Aku seperti robot yang berjalan tanpa leluasa, lalu duduk di samping ranjangnya. Kondisi kakak menyedihkan sekali. Kepalanya diperban, kedua tangan penuh lebam, dan matanya terpejam. 

“Kak, ini Deslia. Kakak denger aku, ‘kan?” Aku meraih tangan kakak yang pucat seakan tak tersentuh aliran darah. “Kak, kuat, ya. Aku yakin, kakak pasti kuat dan bisa sehat lagi. Nanti Kakak ajarin aku masak, ya. Iya ‘kan, Kak?” Kata-kataku mengusik kesesakan di dalam dada. Menciumi tangan kakak dan menggenggamnya sangat erat. 

“Kak … kalo Kakak pergi, nanti siapa yang bakalan nemenin aku di rumah? Siapa yang bakalan ngajarin aku masak? Siapa yang bakalan siapin makan buat aku, Kak?” Pertahanan tandas seketika, membayangkan kakak akan terlelap selamanya. Tak ada lagi orang jail yang selalu menggoda dan meledekku setiap hari.

“Kak, Kakak pasti denger suara aku, ‘kan? Kakak kuat, Kakak pasti bisa melewati masa kritis ini. Aku minta maaf karena bikin Kakak begini. Aku minta maaf, Kak. Seharusnya aku aja yang ada di sini, gantiin Kakak. Aku adik nggak berguna ‘kan, Kak?” Jika saja sebelumnya aku tahu akan terjadi kecelakaan itu, mungkin tak akan membiarkan kakak dan ibu menjemput ke kampus. Namun, apa yang bisa diperbuat setelah semuanya telanjur terjadi? Aku hanya bisa meratapi semuanya dalam pedih yang tak kunjung pergi. 

“Aku sayang sama Kakak. Cepet sadar ya, Kak. Aku mau lihat Ibu lagi.” Satu kecupan kuberikan pada laki-laki yang selalu meyakinkan kalau kehadiranku dalam kehidupannya tak hanya seorang adik tiri, melainkan sosok adik yang seakan lahir dari rahim ibunya sendiri. 

Walau berat, aku tetap harus menyudahi perbincangan satu arah dengan kakak. Setelah ini aku akan mengabari ayah mengenai kecelakaan yang merenggut keceriaan ibu dan kakak. Bagaimanapun, ayah harus tahu jika anaknya ini tengah dilanda hidup di antara dua orang yang dipertaruhkan nyawanya.

Sembari berjalan menuju ruang tempat ibu berada, cepat-cepat ponsel yang disimpan dalam tas kurogoh untuk menelepon laki-laki berusia empat puluh lima tahun itu. Jantung berdegup cukup cepat menunggu suara ayah menyahuti teleponku. 

“Ayah … Deslia mohon Ayah ke rumah sakit sekarang,” pintaku saat terdengar desah napas ayah di ujung sana.

“Kamu kenapa, Des? Kamu sakit? Kok bisa ada di rumah sakit?” Ayah memberondong dengan pertanyaan yang malah membuatku semakin menangis. 

“Bukan aku, Ayah. Aku baik-baik aja. Tapi … Ibu sama Kak Bara kecelakaan. Mereka sekarang di rumah sakit.” Lengkap sudah semua yang ingin kukatakan pada ayah. Detik selanjutnya, ayah memintaku untuk mengirimkan lokasi rumah sakit. Susah payah aku melakukan itu karena mata berembun akibat terlalu banyak menangis. Menghadang kesedihan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Aku tidak kuasa, Rab. 

***

Sekitar satu jam berselang setelah menghubungi ayah, akhirnya ia datang dengan ekspresi tak percaya. Aku menghambur ke pelukannya sembari menangis sesenggukan. Tidak terhitung berapa banyak waktu yang dihabiskan hanya untuk menangisi kondisi ibu dan Kak Bara. Namun yang jelas, hanya itu yang bisa kuperbuat sekarang. Meratapi dengan tangisan, merutuki diri dengan penyesalan. 

“Udah, jangan nangis. Ayah yakin mereka kuat, Des.” Ayah merenggangkan pelukan dan menyeka air mataku. “Kamu udah makan?” tanyanya. Aku menjawab dengan menggeleng saja tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. 

Lihat selengkapnya