HAUPUKU

Kinarian
Chapter #8

Bisikan Semesta

Dua hari berlalu, kakak terlihat lebih segar meskipun wajahnya masih agak pucat dan tidak diizinkan untuk terlalu banyak bergerak karena cedera di kepalanya masih memerlukan perawatan ekstra. Aku sibuk mengupas mangga kesukaan kakak tanpa banyak berbicara seperti biasanya. Kakak juga sama sekali tidak mengajakku berbicara dan malah sibuk memandang langit ruang perawatan. 

“Gimana keadaan Ibu sekarang, Des? Apa Ibu baik-baik aja?” Suara lemah kakak membuatku terkesiap. “Malam itu, temen kamu yang namanya Reon ngasih tahu kalo Ibu masuk IGD.”

Pertanyaan tak terduga dari kakak, menghentikan kupasan mangga yang tinggal setengah. Aku mendesah menatap ekspresi wajah dan mendapati sudut-sudut matanya membasah, siap menumpahkan air mata. 

“Aku belum denger kabar apa-apa mengenai Ibu semenjak kalian kecelakaan. Malam itu aku pulang setelah ditampar Ayah, Kak. Maaf, aku nggak maksud ninggalin Kakak sama Ibu di sini.” Bayangan kejadian tempo hari kembali menerpa pandangan. Kedua mataku terasa terembun merasakan tamparan keras ayah yang mengenai pipi.

“Kamu ditampar Ayah? Kenapa, Des? Apa kalian bertengkar?” Kepala kakak mendongak ke arahku dalam hitungan detik. 

“Ya. Waktu itu aku kasih tahu Ayah tentang kecelakaan itu. Ayah ke sini dan kami sempat bertengkar, Kak.” Aku menunduk, merasa bersalah sudah menambah masalah. 

“Kenapa kalian bertengkar?” kakak mengulangi Pertanyaannya yang belum sempat kujawab. 

Ujung tempat tidur dicengkeram kuat, menyalurkan kesakitan yang bersarang dalam hati. “Aku bertanya soal alasan Ayah menceraikan Ibu. Aku juga minta penjelasan soal surat yang aku temukan di laci meja kerjanya. Karena aku sangat yakin kalo Ayah selingkuh, Kak. Ayah udah khianatin Ibu!” tegasku, menelan saliva susah payah. 

“Kak, Kakak inget ‘kan, waktu aku masih sakit cacar, Kakak bilang kalo Ibu pergi dari pagi dan pulang malam? Sebelum aku tahu Ibu pergi, aku sempat ngobrol sama Ayah lewat telepon, tapi Ayah tiba-tiba tutup teleponnya setelah ada suara perempuan. Apa jangan-jangan itu suara Ibu, Kak?” Kesimpulan ini tak pernah terpikir ketika malam perdebatan dengan ayah. Apa karena aku lebih terpaku pada surat yang ditemukan di laci meja ayah daripada suara perempuan yang terdengar saat ibu ‘menghilang’ seharian dari rumah?

Kening Kak Bara mengernyit, lalu ia berkata, “Maksud kamu, hari itu Ibu menemui Ayah di Dago bertepatan dengan waktu kamu lagi ngobrol sama Ayah di telepon?” tanyanya, terlihat bingung. Aku mengangguk membenarkan. 

“Tapi, soal surat … surat apa sih, Des? Kakak nggak paham.” 

Bahuku merosot seketika mendengar tanggapan kakak. “Aku nemu surat di laci meja kerja Ayah di hari yang sama waktu Ibu nggak ada di rumah. Pengirimnya manggil Ayah dengan sebutan ‘Mas’, persis orang yang lagi dimabuk asmara.” 

“Tapi, kita nggak bisa menyimpulkan semuanya gitu aja, Des. Kalo kamu merasa Ayah selingkuh, kenapa Ayah baru melakukan semuanya setelah hidup dengan Ibu sekitar sepuluh tahun ini?” Kak Bara menunjukkan sisi bijak, padahal kondisinya saat ini masih menyedihkan.

“Ya … aku nggak paham. Tapi aku penasaran sama orang yang ngirim surat itu sama Ayah, Kak. Aku mau cari tahu semuanya.” Tadinya kupikir kakak tak perlu tahu apa yang tersembunyi di dalam relung batin. Aku ingin menyimpan rapat semuanya dari kakak. Namun, sekarang kerapatan itu kubongkar sendiri dengan bercerita begitu leluasa.

“Udah, jangan diungkit terus. Kakak yakin, Ayah nggak akan ngelakuin hal buruk itu.” Tangan Kak Bara yang masih diinfus mengacak rambutku pelan.

“Awalnya aku juga yakin Ayah nggak begitu, Kak. Tapi malam itu, Ayah nggak bilang apa-apa selama aku menanyakan semuanya. Apa itu nggak mengherankan, Kak? Orang bersalah akan diam untuk menutupi rasa bersalahnya. Begitu, ‘kan?” Sekali lagi aku meyakinkan kakak jika kali ini pikiranku benar.

Ia terlihat bergumam, “Nggak semua orang diam karena merasa bersalah, Des. Setiap orang punya caranya sendiri untuk membela.” 

“Jadi, maksud Kakak, diamnya Ayah itu adalah bentuk pembelaan?” selaku.

“Bukan begitu, Des. Tapi …”

Kriingg …

Diskusi serius dengan kakak harus terhenti karena ponselku berdering menampilkan nama Reon di sana. Sejak kakak sudah siuman, aku tidak bertemu dengan Reon. Lagi pula, untuk apa ia terus ada di rumah sakit hanya demi menemaniku. 

“Ada apa, Re?” Aku berbicara sedikit pelan karena takut mengganggu kakak yang terpejam setelah mendengar dering ponselku.

“Aku lagi di rumah sakit. Aku sengaja ke sini lagi biar kamu nggak kesulitan membagi waktu untuk menjaga kakak dan ibu kamu.” Ungkapan Reon meninjuku berkali-kali. Betapa ia sangat baik karena mau melakukan semuanya tanpa diminta. 

“Jadi sekarang kamu lagi di depan IGD?” tanyaku untuk memastikan. 

“Iya, Des. Maaf ya, aku nggak minta izin dulu buat ngelakuin ini.”

Aku mengulum senyum di balik telepon. “Nggak apa-apa, Re. Makasih banyak. Aku segera ke sana.”

“Oke.” 

Dalam situasi begini, keberadaan teman seperti Reon memang sangat membantu. Aku malah merasa bersalah karena sempat menolaknya saat mengatakan keinginan untuk menjadi temanku. Ya, saat itu aku memang masih dihantui rasa bersalah atas kepergian Kio. Namun, obrolan demi obrolan dengan Reon yang sempat terjadi di belakang gedung kampus, membuka pikiran sehatku. Pertemanan tak memiliki kekuatan apa-apa untuk merenggut nyawa seseorang. 

“Kak, aku mau ke IGD dulu buat lihat kondisi Ibu. Nanti aku ke sini lagi, ya. Kakak nggak apa-apa ‘kan, sendiri dulu?” Aku menyentuh tangan kakak perlahan, takut mengubah posisi infusannya. 

“Kuliah kamu gimana, Des?” tanyanya, seakan selalu menyempatkan otak untuk memperhatikan kuliahku. 

“Aku libur dulu sampai kondisi Kakak dan Ibu baik. Gimana pun, aku bertanggung jawab atas kecelakaan ini. Kakak jangan khawatir, ya. Biarin aku menebus semua rasa bersalah itu dengan merawat kalian.” Setitik air jatuh di pangkuan kakak. Aku memang merasa sangat bersalah dan menjadi penyebab kecelakaan itu. 

Lihat selengkapnya