Piccioto Student house, Jenewa, kamarku terletak tepat di lantai 6. Semua kawan sepakat menyebut sudut bagian kanan kamarku sebagai sudut surga dunia, sebab selalu berhasil menawan mata yang memandangnya. Bagaimana tidak? bila air yang terlewat biru, gunung yang terlampau indah, dan langit yang memeluk keduanya erat menjadi pemandangannya. Ah siapa yang tak ingin menarik nafas dalam, disuguhi keindahan semegah itu?
Ada. Ada yang tak sudi menarik nafasnya ketika menatap keindahan itu. Ada yang tak terpukau atas nama kemegahan alam meski maha rupawan. Ada yang tak tertawan sekalipun pemandangan terlampau menawan, ialah aku, keberadaan mereka adalah hal yang biasa saja. Mengagumi berlebih akan membuang waktuku untuk bersedih atau menggerutu ketika mendung harus memisahkanku dengan pemandangan itu. Aku memutuskan untuk tak terikat pada apapun, termasuk pemandangan di jendela kamarku. Namun demikian, aku tetap tak pernah melewatkan matahari terbit dari sudut yang sama di kamar ini, bukan kusengaja, hanya saja aku selalu tidur tanpa menutup tirai kamar, sekedar semu cahaya masuk selalu berhasil membangunkanku dengan mudahnya. Mau tak mau aku selalu membuka mata tepat sebelum matahari terbit. Dari jendela kaca seukuran dinding, aku biasa menyandarkan bahu untuk melihat jelas sebulatnya matahari yang mulai naik, diapit oleh danau jenewa dan montblanc. Kali ini bukan lagi mendung yang akan menyamarkannya, tapi musim dingin Jenewa mutlak memisahkanku cukup lama dengan pemandangan itu.
Salju kini menggantikan setiap sudut pemandangan kota, rintik yang putih dan bersih mengingatkanku pada khayalan kawan-kawan di masa lalu, mereka pikir salju bisa dimakan karena lembut, mereka kira salju selalu menyenangkan. Tapi di sini? salju yang datang saban hari telah menjelma kutukan, setiap orang siap mengeluh kedinginan, setiap penjuru kota sedikit lagi akan berubah muram, mereka merindukan matahari.
“Ini nih yang bikin kita akhirnya tahu, betapa pentingnya matahari dalam hidup ini. Kita harus bersyukur lahir dan besar di negara tropis,” seseorang baru saja membuka pintu dan memasuki rumah, ia langsung mengomel bahkan sebelum melepas sepatunya.
Asrama mahasiswa yang aku tinggali tak bisa disebut asrama, bagiku ini justru mirip seperti apartemen mewah di Jakarta, terdiri dari empat kamar dengan kamar mandi di dalamnya. Unit ini kami huni bertiga, aku dan dua lagi kawanku bernama Hida orang Indonesia dan Mila orang Amerika. Hunian ini cukup luas untuk dijadikan tempat party ala mahasiswa, tapi juga kuasa memenuhi kebutuhanku untuk menyendiri. Di sini kami tidak harus saling berbagi ruang, kecuali dapur dan ruang tamu.
“Ya Tuhan, aku dibesarkan dengan lampu neon putih super terang, dan sekarang di kota termahal di salah satu Negara termahal di dunia, aku sudah berkeliling sampai hampir ke perbatasan Prancis dan tetap tak bisa menemukan lampu neon putih. Bayangkan, Swiss sedang terlalu dingin, dan hanya ada lampu temaram untuk belajar, oh sungguh membuat stress. Mana sanggup aku baca ratusan halaman dengan kondisi seperti ini. I need a sun, I need a sun. Aku muak,” Hida semakin sering mengomel beberapa hari ini sejak menyadari bohlam kuning terpasang hampir di seluruh sudut rumah bahkan hampir di seluruh sudut kota, dan hal ini seolah menambah beban hidupnya.