Pada hari-hari yang tak pernah istimewa, pada pemandangan maha indah yang tak perlu terlalu dipuja, kali ini semua berbeda. Semalaman aku terkulai sambil bersandar di jendela, berusaha meraba rasa yang tak jua kukenali, gusar? cemas? gunda? entahlah.
Sepanjang malam aku melamun sampai tertidur, hingga setitik sinar matahari menyadarkanku musim dingin telah terlewati, sidang sudah kami takhlukan, kelulusan sudah dirayakan, saatnya aku kembali pulang.
Aku tak berpaling menatap matahari pertama yang kembali dapat kulihat setelah musim semi tiba. Kupandangi lekat-lekat, memperhatikan rona merahnya yang pudar dan berubah menjadi sinar terang, kualihkan pandanganku dari danau bergantian ke gunung. Ah mereka kembali menghiasi kamar ini, hingga tanpa kusadari air mataku jatuh dan aku tersengal, menangis sesenggukan, untuk pertama kalinya aku merasa pemandangan ini adalah segala yang aku butuhkan, untuk pertama kalinya aku ingin berlari memeluk mereka. Kepada yang pergi kemudian kembali, ternyata aku menyimpan rindu yang membuatku merasa begitu sendiri, sendiri menghadapi malam kemarin, malam paling membingungkan. Wahai kawan sejati di balik balkon dan jendela, betapa kau telah membantuku mengerti, bahwa perasaan ini disebut sedih.
Yah, malam kemarin berlangsung begitu rancu, setelah segala perjuangan belajar, menyelesaikan sidang, hingga akhirnya kelulusan datang, beberapa teman menghabiskan waktu untuk berpesta, sebelum nantinya harus melanjutkan hidup yang telah direncanakan, Hida tentu tak akan melewatkannya. Di asrama tersisa aku dan Mila, ia sengaja memilih tinggal di rumah karena kehamilannya telah memasuki usia 36 minggu. Aku? sudah pasti melewatkan pesta, hura-hura tak pernah bisa kunikmati, karena berisik dan tak jelas tujuannya, untuk menikmati sebotol dua botol bir, atau segelas dua gelas wine, aku lebih memilih kamarku, dan tanpa siapapun.
Malam rancu itu dimulai saat Mila mengetok pintu kamarku dengan kencang, sesuatu yang tak pernah terjadi, sebab kami jarang berinteraksi kecuali perihal tagihan rumah. Aku sempat mendesis terganggu, hingga kubuka pintu dan melihat Mila tampak lelah dan berkeringat.
“Galuh, my water broke! Help me to get to the hospital, please,” (Galuh, air ketubanku pecah! Tolong bantu aku pergi ke rumah sakit bersalin). Ia terlihat sedikit khawatir, tapi cukup tenang.
“What? broke? What’s that supposed to mean? What’s happening, Mila?” (Apa? Ketuban pecah? Apa maksudnya? Aku harus bagaimana?) Aku tetap berdiri di depan pintu kamarku, tanpa menyentuhnya.
“Aku akan melahirkan lebih awal dari HPL. Aku sudah merasakan kontraksi awal,” Masih tak bergerak, aku justru menarik nafas panjang, tak membayangkan benarkah aku harus membantu wanita melahirkan. Aku bernafas semakin kencang tak memperhatikan Mila yang mulai resah.
“Galuh jangan panik, tugasmu hanya mencari taksi dan menemaniku ke rumah sakit karena pacarku belum sampai di negara ini artinya aku sendirian. Bayiku akan lahir lebih awal, apa kau mengerti? Dan tolong kau kabari pacarku lewat sms saja. Karena dia akan bertanding sebentar lagi.”
Kini aku berubah panik dan mataku terasa panas, aku terus mengusap hidungku hingga Mila mengeraskan suaranya.