Aku menutup telepon dari Nerissa yang baru saja pulang dari kuliahnya. Ia masih sempat menelpon hanya untuk menanyakan kabar atau sedamg apa bahkan untuk Berbagi aktivitasnya hari ini.
Deru mesin terdengar, aku bisa memastikan bahwa keluarga Rena datang. Tapi aku masih enggan menemui Rena yang juga masih jengkel terhadapku. Aku tak begitu jelas mendengar percakapan mereka di luar sana. Dan daripada sibuk mencari tahu, lebih baik aku tidur karena hari ini begitu melelahkan. Hampir saja aku terbawa mimpi, pintu terbuka. Papa Rena melempar kunci dan mau tak mau aku membawa mobilnya menuju tempat makan alias aku disuruh membeli makanan.
Di dalam mobil aku dan Rena memilih membisu, tape mobil ini hanya sebuah hiasan. Mulut kami terkunci mengingat bahwa kami saling membenci. Aku tak tahu apa yang menyebabkan Rena begitu marah di hari-hari sebelumnya, aku juga jengkel ia tak mengatakan apapun yang membuatnya sedemikian marahnya. Aku sebenarnya sudah mengalah meminta maaf tapi ia bahkan tak melirik sama sekali. Dan karena emosi aku juga membiarkannya, tak memperdulikannya.
" gw minta maaf soal kemarin" kata Rena tiba-tiba.
" hmm..."
Sebuah bohlam muncul begitu saja diatas kepala ingin membalas perbuatannya yang begitu menjengkelkan kemarin.
" lu dengerin gw gak sih??"
" menurut lu??" tanyaku sedingin kulkas nugget.
Kami kembali terdiam, tiba tiba ia memeluk tanganku yang memegang kemudi.
" lepas" kataku.
" nggak!"
" lepas ngapa!"
" gak" Rena bersikeras.
" gw mau ganti gigi" kataku.
" ooo..." Rena melepaskan.
Ia juga mencoba menggenggam tanganku yang masih berada di tuas transmisi. Aku menampik tangannya dan memberi upil yang besar agar ia tak menyentuhnya.
" napa sih?? Lu marah ama gw?? Kenapa??"
" terserah"
" ayolah, gw minta maaf ya... Gw salah kok" kata Rena.