Hay... Kak ness

Firmansyah Slamet
Chapter #87

Part 71


Kosong sepi, itulah yang kuasakan setiap membuka mata di pagi hari. Aku membuka ingatan, melayang mundur beberapa langkah, mendapati diri sendiri mengingat kepergiannya. Menatap bingkai yang tersenyum kecut ke arahku… anehnya aku menatap bingkai beberapa saat. Mengajak berbincang tentang cuaca hari ini, bertukar tawa dengan pertanyaan bodoh dan tak masuk akal seolah dia akan menjawab dan bertukar perbincangan.


Tapi aku sadar, bingkai itu tak akan pernah membalas segala ocehan… Mbak Firda memang sudah pergi. Hidupku sekarang tak lebih dari seonggok daging yang bahkan anjing pun tak mau memakannya. Tak berguna, dibiarkan membusuk. Maka, tinggallah aku sendiri di sini. Tanpa ucapan selamat pagi, tanpa senyumnya, tanpa celoteh ngawurnya, tanpa apapun yang tersisa kecuali kenangan yang selalu kurindukan setelah kepergiannya. Hari-hari yang kulewati terasa suram, aku hanya menutupi keadaan sebenarnya tentang kekosongan hati ini. Bisakah kalian membayangkan seseorang yang mengisi hari hari, seseorang yamg sudah menjadi bagian hidup tiba tiba menghilang begitu saja, membiarkan kalian sendiri dengan kerinduan tak terkira …?.


Itulah yang kurasakan sekarang, semakin aku menikmati itu maka semakin sakit pula yang kurasakan. Aku mencoba kembali memainkan gitar itu bersama dengan segelas teh hangat tanpa mendapati kehangatannya, bahkan beberapa kali aku menyeduh tanpa ada keinginan menikmatinya ….


Seandainya Mbak Firda kembali adalah sebuah mimpi … maka aku berharap tak akan terbangun dari mimpi indah melenakan ini, tapi aku tahu semua yang ada di dunia ini ada masanya. Waktu hanya pilihan dari Tuhan untuk manusia, ada yang bisa menggunakan dengan bijak, ada juga yang tidak demikian. Tapi satu hal yang pasti, waktu tak akan bergerak mundur meski hanya sedetik. Maka, aku seharusnya lebih bisa menerima apa yang menjadi pilihan, tapi hati kecil ini selalu memaksa merongrong untuk terus menyesalinya.


Air mata yang aku tumpahkan untuk Mbak Firda adalah bukti sebenarnya bahwa aku belum bisa mengosongkan hati yang seumur hidup ini terisi olehnya. Aku sudah sangat terbiasa dengan celotehnya, entah sudah berapa kali dia merajuk setiap kali aku bertingkah genit. Maka rasanya aneh ketika bangun dari tidur lalu menyadari Mbak Firda sudah tidak bersamaku lagi. Bukan hanya hari-hari, tapi jauh di lubuk hati aku merasakan kekosongan yang menyakitkan, kekosongan yang hanya bisa diobati olehnya.


" Udah ya ... lu harus bisa ikhlas ya …," hibur Nadya yang tengah berkunjung untuk melihat keadaanku, apakah aku tengah membusuk karena keadaan seperti ini.


" lu tahu, kan, kalau gw masih sedih? Ini cara gw menghibur diri, " protesku dengan masih memegang botol minuman.


"Lu kira cuma elu yang sedih? Gak usah bercanda ...."



Kami terdiam sejenak, larut dalam pikiran masing-masing. Kami sama-sama kehilangan!. Nadya kehilangan sahabat terbaiknya, yaitu istri gw. Begitu terlihat jelas di raut wajahnya ia masih menyimpan kepiluan.

Aku kembali membuka botol, lalu menikmati, tiada hari tanpa mabuk. Nadya merebut botol dan membuangnya, Dia memandangku dengan iba.


"Hidup kita masih panjang, gw yakin istri dan anak lu bakal menyambut di surga kelak!"


"Makasih, Nad …."


" gw bakal temenin lu …," Kata Nadya menatapku mencoba meyakinkan.


Tatap matanya begitu melelehkan ….






******








Seminggu ini masih ada saja pelayat dan saudara untuk menengok Apakah aku baik-baik saja. Aku sendiri masih betah enggan menemui orang-orang. Jujur … aku benci setiap orang yang berbela sungkawa dengan perkataan turut berduka cita, serasa ingin sekali memukul wajah mereka. Tapi, memang itulah ucapan yang pantas dalam keadaan berduka meskipun di otakku hanya bisa mengartikan perkataan itu sebagai sebuah omong kosong belaka.


Hampir tiap malam aku menangis hingga lelah hanya untuk bisa tertidur sembari memeluk bingkai foto Mbak Firda. Berpikir, bagaimana bisa Tuhan memberi kejutan sialan ini, mengapa semua kejadian harus begitu berat kurasakan.


Aku selalu meyakinkan diri bahwa Mbak Firda masih di sini, senyum khasnya menggambarkan kebahagiaan kami di antara buah hati kami. Terlukis dengan sempurna senyum penuh kebahagiaan menatap bayangan kosong menyedihkan ini. Aku hanya ingin Mbak Firda kembali …!


Waktu berjalan begitu cepat tanpa memberikanku kesempatan untuk berkata maaf dan terima kasih. Tak tahu seberapa bijak aku bisa menghadapi hal yang disebut kematian. Aku tak akan pernah mencoba untuk melupakan tapi aku akan mencoba untuk ikhlas. Karena semenyakitkan itu hal yang bernama rindu, dan Itulah yang kurasakan sekarang, semakin aku menikmatinya maka semakin sakit pula yang kurasakan.


Aku memutuskan keluar kamar, aku perlu keluar hari ini. Sudah terlalu lelah aku bersedih selama berhari-hari.

Beberapa orang langsung mengarahkan pandangan ke arahku. Entah kenapa aku malah emosi. Paman dan Bibi menghampiri untuk memeluk dan mengucap bela sungkawa.


"kamu yang tenang, yang sabar ya..."


"Iya …," jawabku mencoba tenang.


"Kamu mau kemana bawa kunci mobil?" Tanya mereka.


"Aku mau ke luar."



"Jangan ya ... Kalo kamu butyih sesuatu bisa minta tolong yang lain," kata mereka berdua.



"Gak perlu, aku cuma mau keluar, aku lelah di sini…," kataku.



"Nurut ya, gak baik lho…."




"Aku gak mau nurut," kataku mulai jengkel.




" Gak masalah, kamu juga butuh udara segar …," ujar Paman, " tapi nanti, biar kamu gak terus sedih ... Paman kenalin sama wanita lain, ya."


Aku langsung menatap dengan sorot paling tajam. Langsung saja aku menyerang dengan adu kekuatan dahi. Aku mengerahkan seluruh kekuatan di kepala, Paman terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk dengan darah mengalir.

Seseorang menarikku dan ikut mengadu dahinya. Sekali sundul membuatku pusing dan pandangan sedikit kabur.


"TENANG!!" lerai Rena.



Ia kembali mengadu dahinya dan kali ini jauh lebih sakit.


" TENANG!!"



Ini kali ketiga dan membuatku jatuh terduduk dengan kepala sakit bukan main, berputar-putar dan kabur.



"Lu, bisa tenang, gak!!" bentak Rena seraya memegang kepalaku.


Aku terduduk meringis kesakitan setelah 3 kali beradu kepala dengan Rena, ia begitu kuat bahkan sama sekali raut wajahnya tak menunjukkan kesakitan.


"TENANG! LU HARUS TENANG!" seru Rena.


"Plis … gw cuma mau keluar Ren, gw lelah di rumah …!" keluhku. seraya bangkit dan segera pergi.


Lihat selengkapnya