Hari-hari kulalui dengan sepi di hati, hiruk-pikuk muka bumi ini seperti debu yang lewat begitu saja. Aku mulai sering malas ke bengkel, kegiatanku hanya tiduran dan mengemudi mengelilingi kota menghabiskan bensin. Selain itu, mabuk menjadi kegiatan utama.
Tak ada lagi tujuan dalam hidup, semua tampak hambar datar. Aku juga sering berkendara dalam keadaan mabuk. Berharap ada seseorang menabrakku sampai mati. Tetap saja cara tersebut tak berhasil dan makin membuatku begitu stress.
" lu makan ya" kata Rena.
" gw masih kenyang" jawabku
" lu seharian ini lho belum makan, kemarin juga lu cuma makan sekali itupun dikit banget"
" gw gak punya perut karet macam lu" kataku sempat jengkel.
Aku jengkel bukan dengan Rena melainkan minumanku tak kunjung datang. Aku berpindah menuju ruang tamu, ditambah begitu gusar karema selain minuman, rokok juga habis dan tak memiliki uang sama sekali untuk membeli sebungkus.
Rena menghampiri membawa 2 batang rokok.
" gw tahu lu gak punya uang sama sekali, makan dulu baru gw kasih rokok" kata Rena terlihat licik sekali menyuruhku untuk makan.
Mau tak mau aku makan nasi demi 2 batang rokok! Betapa menyedihkannya aku yang tak memiliki uang sama sekali.
Setelah makan perutku begitu sakit bukan main, rasanya melilit lilit dan mual.
" lu ngeracun gw ya..." kataku mual.
Makanan gw muntahkan, perut gw begitu sakit bahkan gw tak mampu menahan rasa sakitnya.
" lu kena maag?"
" gw gak mungkin dan mustahil kena maag"
" tapi dari kemaren lu makan dikit dikit" kata Rena.
Rasa sakit perlahan-lahan mulai mereda, dan Rena memberi obat maag. Aku sendiri tak tahu dan tak pernah merasakan maag tapi lambung benar-benar perih bukan main.
Aku memilih diam sembari merokok, Rena kembali memberi makanan ringan.
Deru mesin terdengar merapat, seseorang mengendap endap memberi minuman dan beberapa bungkus rokok sebagai upeti untuk Sang ketua preman kampung. Aku segera menyembunyikannya di kamar agar Rena tak marah dan membuangnya.
" mau kemana?" tanya Rena.
" kamar"
" roti belum lu abisin"
Aku membawanya menuju kamar, menikmati bersama minuman haram dan rokok.
Pikiranku begitu tenang menikmati ini semua ditambah pengeras suara memutar lagu agar aku tak mendengar apapun yang terjadi di luar kamar. Minuman ini memang membuat lambungku mulai terasa sakit kembali tapi aku tetap menenggak tanpa memperdulikan rasa sakit.
Begitu tenang, hening dan semua memudar.
......
Aku terbangun dengan kepala begitu sakit dan berputar putar, bau menyengat menyeruak masuk hidung. Ruangan serba putih menusuk bola mata.
Suara suara manusia mulai terdengar dan wajah Rena kini terlihat dengan jelas.
" akhirnya lu sadar"
" gw dimana Ren?" tanyaku.
" lu di tumah sakit"
" kenapa?"
" lu hampir mati"
Aku terdiam, dokter memeriksa ini itu anu dengan segala nasihat yang tak berkesudahan hingga mulut berbusa tanpa perlu mengunyah sabun. Aku hanya diam tak ingin mendengar dan ingin segera keluar dari sini. Aku mencoba mencabut selang infus tapi dihalangi oleh Rena.