13 September 2007
“Permisi....”
Seorang wanita dengan kereta bayi sedang mengetuk sebuah pintu dengan kaca transparan di setengah atasnya. Merasa tak ada jawaban, wanita itu kembali mengetuk dengan ucapan yang sama dengan lebih keras. Lama tak ada jawaban, ia kembali mengulanginya sampai 3 kali.
“Iya... sebentar....”
Terdengar sayup suara wanita yang terdengar agak jauh dari dalam ruangan.
Beberapa saat kemudian, seorang wanita muda keluar dari dalam ruangan dengan menggunakan kemeja dan celana hitam. Wanita muda itu tersenyum. “Mohon maaf, tadi kurang kedengaran dari belakang. Ada apa, Bu?”
“Ini... hm... kalau saya mau adopsi anak apa bisa, Bu?” ucap wanita dengan memegang kereta bayinya.
“Oh, tentu bisa, tapi sebelumnya saya harus tahu dulu latar belakang dari calon orang tua asuh. Mari duduk dulu, Bu! Sebelumnya perkenalkan saya Emily, saya salah satu pengasuh di panti ini.” Wanita muda itu mengarihkan tangannya dengan senyum yang masih melekat di wajahnya.
“Jani, Jani Felicia,” ucap wanita itu dengan tegas. Wanita itu duduk di hadapan Emily. Ia melihat sekitar yang hanya ada 2 meja, beberapa kabinet, dan beberapa foto tergantung di dinding ruangan yang kecil ini. Ruangan ini berfungsi sebagai kantor dan juga tempat menerima tamu. Wanita itu menjelaskan asal usulnya yang berasal dari kota Bebala (pengucapan “Be” pada Bebala seperti pada Belago) atau kota yang sama dengan panti asuhan ini berada sembari matanya banyak menatap dinding di belakang Emily. Ia juga menjelaskan bahwa suaminya adalah seorang kontraktor, dan dirinya hanyalah seorang ibu rumah tangga.
Emily melanjutkan pertanyaannya mengenai alasan wanita itu untuk mengadopsi anak sambil menatap mata yang tak berani melihatnya.
Wanita itu menjelaskan, jika suaminya selalu keluar kota untuk bekerja dan ia membutuhkan seorang teman yang dapat ia ajak bicara untuk mengisi kekosongan.
“Bu maaf, ini anak pertama?” tanya Emily seraya memalingkan wajahnya menuju kereta bayi.
“Betul, baru 3 bulan usianya. Pas hari ini!”
“Apa tidak repot nantinya kalau jaga 2 anak sekaligus, Bu? Apa lagi ini anak pertama, yang mungkin juga Ibu belum terlalu pengalaman untuk mengasuh anak.”
Wanita itu terus menjelaskan rasa kesepian yang ia rasakan setiap hari ketika sang anak sedang tertidur, ia selalu termangu di depan TV yang membuat hidupnya hampa. Meskipun ia akan disibukkan ketika sang anak terjaga, tapi dengan waktu tidur bayi yang cukup panjang membuatnya cukup depresi melewati hari.
“Oke..., tapi saya tidak bisa kasih keputusan, karena semua keputusan ada di kepala panti dan kebetulan beliau sedang tidak ada di tempat. Paling Ibu bisa isi formulir sama buku tamunya dulu ya, Bu,” ucap Emily sambil menyerahkan buku dan sebuah formulir serta pulpen.
Wanita itu menerima dokumen yang Emily berikan padanya lalu ia baca isinya dengan saksama. Emily turut menjelaskan, jika wanita itu bisa datang kembali dengan membawa serta suaminya untuk proses wawancara bersama kepala panti dan pejabat panti lainnya. Wanita itu mengangguk dan melanjutkan membaca formulir yang ia pegang.
Ketika hendak menulis, pulpen yang wanita itu pegang tidak menjalankan tugasnya. Ia meminta pada Emily sebuah pulpen baru yang dapat mengeluarkan tinta. Emily dengan sigap mengobrak-abrik lacinya dan menyisir di kabinet lain yang ada di sekitarnya. Namun, ia tak temukan apa yang ia cari. Akhirnya, Emily pun memutuskan beranjak menuju gudang untuk mengambil pulpen yang baru dan meminta wanita itu untuk menunggu sejenak.
Wanita itu mengangguk dan memandang Emily yang meninggalkannya bersama bayinya yang masih terlelap.