HAYALISM : Antusiasm

Pipo Vernandes
Chapter #3

BUKAN KAKAK

Akur 

“Dino, gantian mainnya.” Feli coba meraih mainan yang sedang di pegang oleh kedua tangan Dino. 

“Sebentar Feli, aku masih mau main.” Dino coba menghindari tangan Feli yang coba merebut mainan dari kedua tangannya. 

“Gantian, kamu udah dari tadi mainnya.” Feli terus mencoba merebut. 

“Nanti dulu, sebentar...” Dino terus mengelak. 

“Ih... yaudah dah gak usah.” Feli berdiri dan meninggalkan Dino. 

Dino melihat Feli berlari lalu ia bangkit dan coba mengejar. “Feli, Feli.” Dino terus mengejar. 

Feli tiba di kantor panti dan memeluk Emily. 

“Feli, kok nangis?” Emily coba menyapu air mata Feli. 

“Itu, Bu, Dino gak mau gantian mainnya,” rengek Feli dengan wajahnya yang mengundang iba.  

Dino berhenti dari larinya, ia melihat Emily yang sedang memeluk Feli. Dino terdiam, ia sedang di tatap oleh Emily. 

“Dino... ayo sini.” 

“Iya Bu.” Dino mendekatkan diri pada mereka. “Ini Feli mainannya.” Dino yang mengerti arti tangisan Feli langsung berinisiatif memberikan apa yang Feli mau. 

“Terima kasih, Dino!” Feli yang semula menangis langsung mengubah air mukanya menjadi tersenyum dengan garis air yang masih jelas di bawah matanya. 

“Dino, Feli, kalian dengar ya, kan kalian cuma berdua, kakak-kakak kalian lagi sekolah. Kalian yang akur ya, jangan berantem. Dino harus ngalah dong sama adiknya. Kasian Feli nangis terus karena Dino gak mau ngalah.” Emily mengelus rambut Dino. 

“Iya, Bu.” Dino memandang lantai dan sesekali melihat ke arah Feli yang mencebik ke arahnya. 

“Feli... gak boleh begitu, gak baik sayang.” 

“Iya, Bu.” Feli ikut menunduk seperti Dino. 

“Tapi, Bu, kan Dino bukan kakak.” 

Emily tersenyum, “Dino... kan Dino lebih tua dari Feli, jadi Dino itu kakak untuk Feli.” 

“Gak mau Bu, Dino bukan kakak.” 

“Kak Dino.. Kak Dino...,” ledek Feli dengan menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. 

“Ih... Dino bukan kakak!” ucap Dino setengah teriak dengan mengepal kedua tangan di samping pahanya. 

“Hei... udah.. udah, dengerin, Ibu. Kalian kan bentar lagi sekolah dan pasti kalian bakal satu kelas, jadi jangan berantem terus ya. Kasian nanti teman-temannya terganggu sama kalian, pokoknya kalian harus akur ya.” Emily mengelus rambut kedua anak asuhnya itu. 

“Iya, Bu.” Jawab Dino dan Feli bersamaan. 

... 

JJ 

 Beberapa bulan kemudian Dino dan Feli telah menjadi siswa di sebuah sekolah dasar yang terletak dekat dengan panti mereka. Ini adalah hari pertama untuk Dino dan Feli, mereka berangkat sekolah bersama dengan anak-anak panti lain yang usianya di atas mereka, dan sudah tentu menjadi kakak untuk mereka. Namun, karena Dino dan JJ masih kelas 1 dengan jam sekolah yang lebih singkat dibanding kelas di atasnya membuat Dino dan Feli pulang lebih dulu. 

Setiap hari sebelum bersekolah, semua penghuni selalu sarapan dengan makanan yang tersedia oleh panti tersebut. Tanpa uang jajan, mereka hanya belajar seharian di sekolah. Jam istirahat, di saat semua riang gembira jajan dan bermain, semua anak panti asuhan menghabiskan waktu di kelas untuk membaca dan mengulangi pelajaran yang telah mereka terima sebelumnya. Mereka hanya akan makan ketika pulang sekolah di panti. Sering kali mereka menelan angin saat teman-teman mengunyah makanan di hadapan mereka. Namun seiring waktu berjalan, mereka sudah membiasakan diri dengan kondisi itu, mereka sudah berdamai dengan hidup yang mereka jalani. 

Tinggi badan Dino dan Feli kini sudah berbeda, Feli sudah menyalip dan lebih tinggi dibandingkan Dino, dengan tubuh mereka yang semakin berisi. Raut wajah Feli masih sama, dengan senyuman yang menampilkan giginya yang semakin ramai. Rambutnya kini tergerai dengan panjang sebahu yang terkadang juga ia kepang dan menampakkan dahinya yang sedikit lebar. 

Saat pulang sekolah, Dino dan Feli berjalan pulang menuju panti. Feli tertegun di muka warung dengan banyak makanan dan minuman serbuk yang tergantung di depan matanya, ia terbius melihat warna-warni yang ada di hadapannya. Mereka baru pertama kali melihat warung seperti ini, karena sebelumnya mereka tidak pernah keluar dari pagar panti.  

“Din, lihat tuh ada yang beli minuman, enak kali ya?” Feli menunjuk ke warung yang sedang ada pembeli, penjaga warung itu mengambil minuman rencengan yang tergantung dan menyeduhnya. 

“Segar itu pasti ya Fel, apalagi rasa jeruk itu warna oren, duh... manis pasti.” Dino mendongak dengan mulut terbuka sambil mengelus lehernya sembari membayangkan minuman itu mengalir si kerongkongannya. 

“Di panti gak ada minuman dingin, gak ada minuman manis, kalau pun ada, pas ada acara aja, kita bikin bareng-bareng ya.” 

“Kan kata bu Emily air putih itu paling sehat Fel, tapi kalau minuman manis lebih enak sih.” Dino mengangguk-angguk sembari tersenyum. 

“Iya pasti enak banget ya?” 

“Udah ah, ayok jalan!” Dino berjalan diiringi Feli di sebelahnya, “Fel, aku bingung deh, namaku kan Dino Henandes dipanggil Dino, kamu Jani Felicia kok dipanggil Feli? 

“Gak tahu aku juga, coba tanya Bu Emily.” 

“Aku mau panggil Jani aja ya biar beda.” 

“Ya... terserah. Tapi kalau aku gak nengok gimana?” 

“Nanti aku tepok biar kamu nengok.” 

“Masa kamu harus tepok terus.” 

“Ya masa kamu gak sadar kalau aku terus panggil Jani, lama-lama kan jadi kebiasa.” 

“Ya, boleh aja Din.” 

“Hm... tapi kalau Jani udah biasa juga ya, aku mau panggil JJ aja deh.” 

“Yaudah, kalau aku gak nengok jangan salahin aku ya.” 

“Iya, ntar aku tepokin terus J.” 

“Iya, jangan kenceng-kenceng, sakit nanti.” 

“Kayak gini ya, J?” Dino menepuk Feli dengan sedikit keras terus berlari. 

“Aduh... sakit...” Feli melihat Dino yang berlari dengan spontan mengejar, “Dino awas kamu ya! Tunggu!” teriak Feli cukup keras dan lari mengejar Dino yang berlari cukup kencang. 

Sikap iseng Dino sering sekali ia tunjukkan pada Feli atau yang sekarang Dino panggil dengan nama JJ. Mereka sering saling meledek dan terlihat tidak akur layaknya adik dan kakak kandung. Sikap Dino sudah jauh berbeda dengan masa awal ia berada di panti. Watak cerianya muncul perlahan seiring kedekatannya dengan Emily yang selalu sabar menghadapi tangis Dino setiap hari. 

JJ menjadi salah satu sosok yang juga mengubah Dino. Usia mereka yang hanya terpaut 1 bulan membuat mereka tak susah untuk berkomunikasi. Mulai dari hanya bisa mengeluarkan satu per satu kata dari mulut mereka, hingga mereka bisa membaca. JJ selalu meledek Dino dengan panggilan “kakak”, karena ia tahu Dino tak pernah suka mendengar kata itu. 

Dino sangat anti dipanggil “kakak” oleh JJ, namun sikapnya sudah selayaknya kakak untuk JJ. Dino sering kali membantu JJ dalam berbagai hal, hingga mengajarinya ketika JJ kesulitan belajar. 

JJ pun sering menempatkan dirinya sebagai sosok adik kepada Dino, yang terkadang jahil pada Dino, sering merengek waktu ia bersedih atau membutuhkan sesuatu, dan selalu bersikap manja pada Dino. 

“Dino... tunggu... awas kamu ya!” JJ terus berteriak dan terus mengejar Dino hingga masuk area panti. 

Emily yang melihat kedua anak asuh bungsunya di panti ini langsung keluar dari kantornya yang segera di peluk oleh Dino. “Eh.. eh.. kalian ada apa ini?” 

Dino masih dengan tawanya mencoba bersembunyi di belakang Emily untuk menghindari JJ dengan amarahnya. 

“Bu, masa Dino pukul aku Bu,” protes JJ pada Emily. 

Mendengar itu, Emily memutar badannya. “Oh... ini sumber masalahnya....” Emily menjatuhkan pandangannya pada Dino. ”Dino...” 

Dino menengok ke atas menghadap wajah Emily dan langsung menunduk. Ia segera menjulurkan tangannya mendekat ke JJ.“J, maaf ya!” 

“Hah, J? Siapa itu?” tanya Emily pada Dino. 

“JJ, Bu.” Dino menjawab menghadapkan wajahnya ke atas melihat wajah Emily. 

“JJ, siapa?” 

“Dino panggil aku pakai nama itu, katanya gak mau panggil aku Feli,” ucap JJ dan mendiamkan tangan Dino yang mengarah padanya. 

“Oh... JJ itu dari Jani ya Dino?” 

“Betul, Bu. Tapi, ini JJ belum mau maafin Dino nih, Bu. Tangan Dino didiamin.” Dino mengalihkan pandangannya pada JJ. 

Emily menatap JJ dan mengelus rambutnya. “Feli... ayo maafin Dino.” 

“Gak mau, aku mau balas sentil dahinya Kak Dino aja. Haha.” JJ menyentil Dino dan segera berlari masuk. 

Dino dan Emily yang ditinggalkan berdua oleh JJ saling menatap bingung, mereka melihat JJ yang berlari masuk sambil tertawa. Emily bersikap shrug dengan bibir yang rapat menghadap Dino. 

“Kayaknya JJ lapar deh, Bu?” 

“Iya kali ya.” 

Dino mengangguk dan memegang bekas sentilan JJ yang tak sakit sama sekali untuknya, ia tersenyum sambil terus mengelus dahinya.  

... 

Semangkuk Sup Hangat 

Kehidupan Dino dan JJ di sekolah tidaklah sama ketika berada di panti. Teman-teman satu kelas mereka adalah anak-anak warga sekitar dan tahu tentang asal-usul mereka yang merupakan anak dari sebuah panti asuhan. Beberapa dari teman mereka ada yang menganggap berbeda, hingga tak ada yang mau berteman dengan Dino dan JJ yang duduk satu meja di kelas. 

Dino tak memikirkan sikap teman-temanya, bahkan ketika ia kerap kali di jahili oleh 2 anak kembar yang selalu menjadi matahari di kelas mereka. Mereka paling bersinar di antara yang lain, mereka adalah yang terkaya dan coba menguasai kelas dengan fisik mereka. Tak ada yang berani dengan mereka, termasuk Dino yang selalu mencoba menghindar dan tak pernah membalas ketika ia menjadi korban dari para pengganggunya. 

JJ selalu melihat Dino yang mencoba menahan emosinya, tak ada orang lain yang membantu Dino ketika ia sedang diganggu, hanya JJ yang selalu menarik Dino dan menjauhkannya dari mereka. JJ yang selalu berkata “sabar” pada Dino di keseharian mereka. 

Hingga suatu hari, Dino yang baru kembali dari toilet menghampiri JJ yang terlihat sedang tertidur di meja. Saat ini sedang waktu istirahat, dan mereka hanya menghabiskan waktu di kelas. JJ selalu tertidur di waktu ini dan Dino selalu belajar. Sayup-sayup Dino mendengarkan suara dari sampingnya, seperti sesenggukan dari JJ. 

“JJ, kenapa...?” 

JJ tak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya dengan wajah yang terbenam di lengannya menghadap meja. 

Dino diam dengan mengernyitkan dahinya dan bertanya lagi, tapi reaksi yang sama ia terima. Ia sejenak terdiam dan bertanya kembali, namun masih sama. Tak menyerah, Dino terus bertanya pada JJ dengan sabar dan lembut, Dino terus mencoba mencari tahu apa yang terjadi, hingga JJ mengangkat kepalanya dengan wajah yang sudah basah. 

“Buku catatanku diambil Jimmy sama Billy,” ucap JJ dengan suara bergetar. 

Dino mendengar hal tersebut tanpa berkata apa pun, langsung bangkit dan berlari mencari ke dua anak kembar tersebut. Kencang kakinya, hingga ia tiba di kantin. Matanya memandang kanan dan kiri, pikirannya hanya tertuju pada duo matahari kelas itu. Dino melihat keduanya sedang makan dan duduk saling berhadapan dengan Jimmy sang kakak yang membelakangi Dino. Tanpa berpikir panjang Dino berlari ke arah Jimmy dan mendorong kepalanya hingga masuk ke dalam mangkok makanannya. 

“Mana buku adik gua?” teriak keras Dino pada Jimmy dan Billy.  

Teriakan itu menyebabkan semua mata melihat ke arahnya. Semua pengunjung kantin terdiam termasuk Billy yang masih terkesiap melihat kepala saudaranya yang masuk ke dalam mangkok. Sesaat Jimmy mengangkat kepalanya, Dino yang tersadar langsung mendorong lagi kepalanya hingga masuk untuk kedua kalinya dalam mangkok yang berisi sup hangat itu. 

Billy yang melihat saudaranya diperlakukan begitu semena-mena oleh Dino segera bangkit dan mendorong Dino hingga terjatuh. Dino tak mempunyai kesempatan untuk bangkit langsung menjadi sasaran empuk oleh Billy yang tak lama disusul oleh Jimmy dengan mukanya yang basah dan berkilap. 

Pukulan dan tendangan Dino terima, ia hanya menahan apa yang di arahkan padanya dengan badan meringkuk di lantai kantin. Beberapa penjual yang berada di sana segera menghampiri lalu menarik Jimmy dan Billy. Melihat ada kesempatan, Dino segera bangkit dan berlari lagi dengan kencang, meninggalkan keramaian itu tanpa tahu hendak ke mana. 

“Woi, awas lu Dino ya!” Jimmy dan Billy terus berteriak lalu melepaskan diri dari rangkulan para penjual yang menahan mereka dan berlari mengejar Dino. 

Panik, Dino tak tentu arah. Ia terus mengencangkan kakinya dan terus berlari dengan jantungnya yang semakin tak karuan. Ruangan demi ruangan ia lewati, banyak siswa yang hampir tertabrak olehnya dan dengan lincah ia lewati semua rintangan yang ada di depan matanya. Berputar mengitari sekolah, ia berlari menuju lapangan. Suara teriakan yang memintanya berhenti terus ia dengar, dan hal itu tentu tidak akan ia turuti.  

Dari kejauhan, Dino melihat plang ruang kantor guru, dan ia arahkan segera kakinya ke sana. Tanpa babibu, Dino segera masuk dengan tetap berlari yang di ikuti oleh si kembar di belakangnya, mereka sangat bersemangat mengejar hingga tak menyadari ruangan yang telah mereka masuki.  

Para guru kaget melihat mereka bertiga yang berlari masuk ruangan dan menimbulkan kegaduhan.  

“Berhenti!” teriak beberapa guru. 

Dino berhenti mendadak di tengah ruangan dengan banyak mata yang memandangnya, tindakan yang ia lakukan berakibat dirinya tertabrak oleh 2 pengejarnya hingga membuatnya terjatuh. Mereka bertiga tergeletak di lantai, Dino dengan seragamnya yang kumal, Jimmy dengan muka penuh minyak dan baju yang terkena tetesan sup dari wajahnya, serta Billy dengan badannya yang penuh keringat.  

Dino, Billy dan Jimmy hanya terdiam dari sergapan pandangan tajam yang mengurung mereka. Hingga akhirnya, mereka diamankan oleh para guru dengan napas yang masih tersengal. Mereka diminta untuk duduk bersebelahan dan diberikan beberapa pertanyaan. Dino dengan tegas menyatakan jika dirinya tidak bersalah, ia berkata dengan memandang wajah guru yang bertanya, ia ungkapkan jika semua yang ia lakukan akibat perlakuan kedua anak itu. Sedangkan Jimmy dan Billy merasa terpojok, suara mereka terdengar bergetar ketika menjawab. Wajah mereka menunduk dengan keringat yang menetes. Menjawab beberapa bertanyaan, mereka tak dapat menahan tangis dan sedikit terisak. Namun, mereka tetap tak mengakui kesalahan yang telah mereka lakukan. 

Akibatnya, mereka bertiga dihukum berdiri di muka kelas hingga pelajaran usai. Dino segan untuk melihat si kembar, ia hanya melihat JJ yang muram melihat dirinya dihukum. Dino membalas tatapan JJ dengan senyum, sambil mulutnya bergerak seperti berkata, “Gak apa-apa.” 

JJ menangkap maksud Dino, namun itu tak mengubah mimik mukanya yang sedih. Karena dirinya, Dino menjadi dihukum. Andai saja dia tidak berbicara tentang hal yang ia alami, tentu Dino akan duduk di sebelahnya dan mengikuti pelajaran saat ini. 

Si kembar terus menatap Dino, dengan tatapan menantang. Mereka tak sabar ingin membalas apa yang Dino telah lakukan saat sepulang sekolah nanti. Mereka masih tak terima dengan hal yang baru terjadi dan membuat mereka malu.  

JJ ingin melakukan sesuatu untuk membalaskan kekesalannya pada duo anak itu, ia berpikir sejenak dan izin untuk keluar kelas pada guru yang sedang mengajar.  

Kepala Dino mengikuti JJ yang lewat di hadapannya hingga hilang dari pandangannya. Lama ia nanti, JJ masuk kembali masuk ke dalam kelas dan duduk di bangkunya. JJ memberikan kode kepada Dino untuk melihat ke arah jendela. 

Dino mengerti maksud JJ dan mengikuti perintahnya. Ia menengok ke arah jendela dan melihat semua saudara laki-lakinya di panti berjalan melewati kelas mereka. Bergantian mereka menatap si kembar dengan tatapan yang tajam dan seram serta mengancam, hal tersebut berhasil membuat kedua anak itu bergidik takut, karena mereka semua berbadan jauh lebih besar. Berulang kali mereka lakukan hal yang sama, hingga keduanya tak mampu melihat ke arah jendela lagi. 

Dino tertawa puas dalam hati, ia sudah puas melihat mereka berdua tadi menangis di ruang guru, dan sekarang mereka terteror oleh saudara-saudaranya. Ia melihat ke arah JJ yang memberikan kedua jempolnya pada Dino dengan senyumnya sudah kembali lagi. Lega, Dino melihat JJ telah kembali ke setelan pabriknya.  

.. 

Bekingan 

Dino masih merasakan sakit pada badannya, masih jelas terasa jejak pemukulan yang ia terima sebelumnya. Ia mencoba kuat di depan JJ, ia menutupi apa yang dirinya rasakan. Dengan baju yang sudah lusuh, Dino pulang sekolah bersama JJ. Berjalan melewati warung yang membuat JJ terbius sebelumnya, JJ kembali membahas mengenai menariknya minuman warna-warni yang hanya mereka rasakan sesekali di panti. Dino hanya tersenyum, ia mengajak JJ untuk segera pulang.  

Setibanya di panti, Dino langsung menjadi perhatian Emily yang melihat anak asuhnya pulang dengan kondisi yang tak biasa. Dengan wajah heran ia panggil Dino dan mengitarinya di depan pintu masuk dengan Dino yang menunduk. 

“Kok kotor banget, Nak?” Emily membungkukkan badannya dengan wajahnya persis di hadapan Dino. 

“Itu salahku, Bu,” JJ seketika menjawab. 

“Feli, kamu apain Dino?” 

“Tadi, di sekolah, aku digangguin sama anak-anak nakal, bukuku di ambil. Nah, Kak Dino yang balas sama anak-anak itu Bu.” 

“Ih... Dino bukan kakak!” Dino setengah teriak dengan tangannya yang mengepal di pahanya. 

“Iya. Dino, iya...,” jawab Emily pada Dino dengan sangat lembut dan memegang kepala anak itu. “Kamu jadinya berantem ya, Dino?” 

“Awalnya Dino digangguin terus, Dino diam aja. Tapi, waktu JJ yang diganggu, Dino gak suka, makanya Dino balas, Bu.” Dino mengangkat kepalanya dan melihat Emily dengan mata yang merah dan bibir yang bergetar. 

“Hm...” Emily mengangguk. “Dino, badannya ada yang sakit gak?” 

Dino menggeleng sambil terus merapatkan bibirnya. 

“Yaudah, kalau nanti ada yang sakit bilang aja ya, dan lain kali jangan berantem lagi ya, Nak. Ibu khawatir kamu kenapa-napa.” 

“Iya, Bu. Tapi, Dino gak akan diam kalau JJ diganggu, apalagi sampai nangis, Dino pasti marah.” 

Emily mengangguk dan matanya sejenak kosong menatap lantai, ia tersenyum pada Dino dengan perasaan bangga ketika melihat Dino yang senantiasa menjaga JJ. Sering ia melihat pengorbanan yang Dino lakukan. Kali ini ia merasa khawatir dengan anak asuhnya yang berkonflik dengan teman-temannya. Ia takut masalah yang sedang Dino alami ini akan berkelanjutan. Ia menarik napasnya panjang dan memandang Dino sambil mengelus kepala anak asuhnya itu. 

“Bu, tadi kan pas Dino dihukum berdiri di depan kelas. Aku lihat anak-anak itu kayak mau jahilin Dino lagi, terus aku izin keluar terus panggilin kakak-kakak buat nakut-nakutin mereka, kayaknya mereka gak akan ganggu lagi deh Bu, mereka ketakutan tadi.” JJ dengan semangat bercerita. 

Emily mengalihkan pandangannya pada JJ. “Nakut-nakutin gimana?” 

“Iya kakak-kakak lewat di depan kelas sambil melotot gitu ngelihat mereka Bu.” 

“Feli... ada-ada aja kamu. Yaudah kamu bilang apa ke Dino udah di bantuin.” 

“Makasih Kak Dino,” JJ berkata lagi yang memancing lirikan tajam dari Dino. 

“Ih... Dino bukan kakak!” ucap Dino dengan sedikit keras.  

“Ih, udah, udah, kok jadi kalian yang berantem. Sudah, sudah. Ayo masuk dulu terus makan, baju kotornya taruh di kamar mandi ya, Dino, biar Ibu bisa langsung cuci.” 

“Iya Bu,” jawab Dino dan JJ bersama. 

“Kak Dino, kak Dino, Kak Dino.” JJ terus meledek sambil berlari masuk ke dalam ruangan. 

“Ih... JJ awas kamu ya. Tunggu!” Dino berlari mengejar JJ masuk ke dalam. 

“Eh, udah....” Emily hanya menggeleng dan tersenyum kecil melihat tingkah kedua anak bungsu itu. 

Sejak hari itu, si kembar tetap menjadi anak yang jahil, namun mereka tak pernah berani lagi mengusik Dino dan JJ, karena mereka tahu bekingan Dino yang tak akan berdiam diri jika mereka tahu adik mereka diganggu 

... 

Aturan Tetaplah Aturan 

Gazebo, adalah tempat favorit para penghuni panti, termasuk Dino dan JJ. Seusai makan siang, biasanya mereka belajar bersama di sana selagi para saudara-saudaranya masih berada di sekolah. Mereka membahas pelajaran yang telah mereka dapatkan di sekolah setiap harinya. Selain belajar, mereka juga sering membahas kondisi mereka yang berbeda dibandingkan dengan teman-teman lainnya. 

Mereka sudah mulai mengerti jika Emily bukanlah ibu sedarah, tapi kedekatan yang sudah mereka alami bertahun-tahun membuat hal itu terlupakan. Perhatian yang Emily berikan bukanlah sekedar karena pekerjaan. Setiap anak di panti mempunyai pengasuh favorit mereka, termasuk Dino dan JJ. Mereka berdua sebagai si bontot memang banyak pengasuh yang memperhatikan, tapi Emily punya tempat khusus bagi mereka. 

“Din, orang tua kita siapa ya?” JJ secara tiba-tiba bertanya di tengah masa belajar mereka. 

“Kok, tanya itu J?” 

“Pengen tahu aja sih, wajah Ibu sama Ayah itu gimana ya?” 

“Ya... gak tau, kok tanya aku. Hm... mending gini, kita belajar terus biar pintar terus kita jadi terkenal, nanti pasti banyak yang ngaku jadi orang tua kita, J.” 

“Hm... tapi kan bukan orang tua kita yang asli, tapi itu ide bagus. Ayo kita belajar lagi!” 

Lihat selengkapnya