HAYALISM : Antusiasm

Pipo Vernandes
Chapter #6

PERSIMPANGAN

Pasti Bangga 

Tiba di sebuah bangunan yang dulu menjadi saksi perjalanan hidupnya, Dino menarik napas panjang, ia tersenyum mengingat dirinya ketika masih bergantung hidup pada kedua sahabatnya. Ia datangi pintu yang di dalamnya menyimpan banyak cerita untuknya. 

Tawa selalu terselip kala mereka bercerita tentang apa yang sudah mereka lalui. Jika dulu tawa mereka mengenai tingkah konyol salah satu dari mereka atau hal-hal yang lucu terjadi di sekitar, sekarang tawa mereka merujuk pada ironi tentang pahit hidup yang telah masing-masing mereka dulu jalani   

Perjuangan Danny dan Tommy memang lebih mulus dibandingkan Dino, tapi untuk hasil, ternyata Dino jauh lebih baik, jika diukur dari penghasilan per bulan yang mereka dapatkan. Mereka salut atas perjuangan Dino yang tak pernah berhenti meski jalan yang dilalui tajam berduri. Konsistensi untuk terus belajar adalah salah satu pembeda Dino atas kedua sahabatnya. 

“JJ gimana? Udah ketemu?” tanya Danny yang spontan mengubah tawa Dino menjadi diam. 

“Udah, seminggu lalu, ketemu pertama kali.” 

“Wah... kemajuan ini, jadi gimana hubungan kalian?” tanya Danny dengan semangat. 

Dino menggeleng dengan muka datar. 

“Sahabat, ceritalah!” Tommy merangkul bahu Dino dengan erat. 

Dino menghela napas. “Kemarin, JJ cerita kalau dia dulu pernah mau nikah, emang sih gak jadi, tapi gua gak bisa terima. Abis itu gua gak ketemu lagi, chat-nya gak pernah gua balas lagi.” 

“Kenapa lu gak bisa terima?” ucap Danny dengan heran. 

“Gua gak ngerti, tapi gua ngerasa dikhianati, Dan.” 

“Maksud lu gimana, Din? 15 tahun lu gak ketemu sama dia, terus lu masalahin dia yang mau nikah tapi gak jadi itu? Lu ngerasa dikhianati karena dia mau nikah sama orang lain? Kok jadi emosi ya gua sama lu,” ucap Danny sedikit meninggi. 

Dino menatap bawah dan mengangguk pelan tanpa berani memandang teman-temannya. 

“Gua pikir lu pintar di semua hal Din, ternyata untuk perasaan lu bodoh ya?” ucap Tommy sambil melepas rangkulannya dan menepuk pundak Dino. 

“Maksudnya apa, Tom?” ujar Dino menatap Tommy. 

Suasana mendadak menegang di antara mereka, saling tatap tajam terjadi. 

“Ngapain lu masalahin masa lalu dia gua tanya?” timpal Danny. 

Dino tak menjawab, ia hanya diam. Dino mengalikan tatapannya dan hanya menatap kosong menghadap bawah. 

“Gua tanya deh, dia jadi nikah gak? Gak kan? Kenapa lu begini? Kenapa lu nyalahin dia? Coba dari dulu lu ngehubungin dia, mungkin dia gak akan dekat dengan orang lain. Kenapa lu gak nyalahin diri lu sendiri?” ucap Tommy dengan raut wajah yang mulai memerah dan nada kesal. 

“Gak ada hak lu berdua nyalahin gua lah, ini yang gua rasa!” jawab Dino dengan suara sedikit meninggi. 

“Karena lu temen kita, kita gak mau berteman dengan orang bodoh kayak lu Din, gua gak kenal sama JJ. Tapi maaf, lu benar-benar gak patut dibela kali ini. Gak sekalian lu salahin Bu Emily yang ngelepas dia dulu?” 

“Maksud lu apa bawa-bawa Ibu gua, Dan?” 

“Din lu bisa sesukses sekarang itu karena kita,” timpal Tommy semakin memojokkan Dino. 

“Kenapa lu jadi bahas masa lalu?” 

“Enak emang masa lalu lu di bahas begitu?” jawab Tommy lagi dengan mata kecilnya yang membesar. 

“Bu Emily pasti bangga lihat lu begini, yang ngejauhin JJ karena kebodohan yang lu pelihara,” ucap Danny dengan menggeleng. 

“Alah, sudahlah!” Dino dengan tangan mengepal dan wajah yang memerah memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan berlalu pergi. Emosinya sudah berada di ujung kepala yang dapat meledak sewaktu-waktu. 

Tak ada penahanan dari kedua temannya, Dino pergi dengan rasa kacau dalam hati. Sepanjang perjalanan ia menatap kesal pada semua yang ia lihat, bahkan bulan pun enggan menemaninya malam itu. Jalanan yang masih ramai membuat dirinya berada di puncak emosi. Ia hentikan mobilnya di tepi jalan dan genggam kuat setir lalu ia pukul berkali-kali dan berteriak untuk menyalurkan rasa kesal yang ada di hatinya. 

Di apartemen, Dino duduk termenung di lantai balkon dengan rokoknya yang menyala di tangan tanpa ia isap. Semilir angin menerpa badannya di ketinggian, pikirannya kosong seolah hanya badan yang tak bertuan. Bara rokok sudah dekat dengan kulit tangannya dan membuat Dino tersadar. Ia merasa di khianati oleh orang-orang di sekitarnya. Tak ada seseorang yang mengerti akan perasaannya saat ini, bahkan sahabatnya pun menjauhinya karena sesuatu yang ia rasakan. 

Kepalanya tersandar di dinding, ia tatap langit malam. “Tanpa salah satunya, gak ada gunanya.” ia teringat ucapan Stella, ia merasa terpukul akan kata-kata itu. Dirinya bukanlah siapa-siapa tanpa orang baik yang pernah ada di masa lalunya. Tapi, ia merasa benar dan lebih mengedepankan egonya yang membuat semuanya berantakan. 

“Bu Emily pasti bangga lihat lu begini”, perkataan Danny amat melekat di otaknya. Tak bisa ia bayangkan, andainya Bu Emily masih ada, apa yang ia sampaikan melihat Dino yang seperti ini. Pencapaian hidupnya mendadak tak berguna saat ini, tak ada bahagia yang ia rasa sekarang. 

... 

Mantan Teman 

Esok hari, di kantor Dino sedang mengatur jadwal untuk bertemu dengan Rhino. Melalui sekretarisnya, Dino mendapatkan jadwal kosongnya di sore hari. 

Sepanjang hari pikirannya sudah tak karuan, berbagai macam masalah ada di otaknya. Ia habiskan waktu seharian untuk mengisap rokoknya, sedangkan timnya yang merasa sedang tidak ada pengawasan, mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Walaupun, nasib mereka berada di ujung tanduk, tapi mereka letakkan kepercayaan yang tinggi di bahu Dino untuk dapat menyelamatkan nasib mereka. 

Dino memasang wajah tertekuk sepanjang hari, sudah menghabiskan hampir sebungkus rokok dari pagi menjelang istirahat tiba. Ia tak ingin melakukan apa pun selain termenung hari ini, bahkan untuk mengisi lambungnya pun ia enggan.  

Menanti dan terus menanti waktunya tiba. Dino merasa gugup kali ini, karena hidup anggota timnya berada di tangannya. Ia hanya bisa pasrah hari ini, jika memang ada hal yang buruk terjadi ia akan menerima semuanya sebagai konsekuensi atas kebodohan yang ia lakukan selama ini. Ia putuskan untuk pasang badan dengan semua hal buruk yang bisa saja terjadi dalam kariernya kali ini. Asal tidak berdampak pada anggotanya, cukup ia saja yang menerima sanksi jika memang pekerjaannya kurang memuaskan. 

Waktu yang di nanti tiba, Dino berjalan dengan tanpa keyakinan menyelimutinya. Berjalan di lorong gedung dengan muka yang tertekuk dan kepalanya yang tak kuat untuk ia angkat. Kembang kempis dadanya selamanya berjalan, napasnya mendadak boros. Jantungnya berdegup kencang, langkahnya semakin pelan. Tangannya terkepal dengan sedikit keringat dan terasa dingin. 

Di depan pintu ruangan bos besarnya yang berwarna cokelat, Dino mematung. Ia angkat tangannya dan coba mengetuk, tapi tangannya terasa berat. Ia terus kumpulkan keyakinan, di tengah jantungnya yang semakin tak karuan. Matanya memandang ragu gagang pintu yang ia pegang, gagang itu terasa jauh lebih hangat dibandingkan tangannya. 

Dino ketuk pelan pintunya dan terdengar suara perintah masuk dari dalam. Dengan pelan Dino membuka pintu. 

“Ayo masuk, Dino!” Senyum hangat Rhino lemparkan pada Dino dari balik meja kerjanya.  

Lihat selengkapnya