HAYALISM : Antusiasm

Pipo Vernandes
Chapter #7

DAN TERJADILAH

Libur Telah Tiba 

“Ray, gak bosan makan itu terus? Keyboard lu tuh jorok banget.” ucap Julie menegur Ray yang selalu mengunyah ketika mengetik, kebiasaannya itu membuat papan ketiknya berminyak karena sisa bekas makanan pada ujung jarinya. 

“Ini kan gua pakai tisu, abis masukin makanan ke mulut langsung gua lap jarinya. Lagian ini bersih begini.” 

“Mana bersih? Gua udah gak bisa ngetik kalau gak bersih begitu, inspirasi di kepala gua pasti udah bubar pasti.” Julie berkata sambil memegang samping kepala dengan kedua tangannya. 

“Kalian berisik aja, gua lagi gambar jadinya keganggu nih. Ah...” ucap Stella dengan kedua tangan bersedekap. 

“Tahu tuh Julie komen aja dia.” 

“Hei hei, udah udah. Teman-teman, jadi untuk rumusan konsep kita kemarin, kita tetap masukkan untuk penggunaan cloud storage ya? Jadi, tanpa itu pengguna hayalism Mini hanya bisa live streaming,” ucap Dino coba mengalihkan perhatian anggota timnya. 

“Betul, Pak,” jawab semua anggota tim bersamaan. 

“Ray, untuk cloud storage kisaran harganya berapa untuk satu tahun dan berapa kapasitasnya?” tanya Dino pada Ray. 

“Rata-rata untuk 1 Tera sekitar 1300 Dolar per tahun dan 2 Tera sekitar 2000 Dolar, Pak.” 

“2 Tera dibagi 1 video hayal yang ukurannya... anggaplah 50 Giga 1 video dengan durasi 2 Jam resolusi 4K. Berarti... bisa dapat 40 video. Wah... berarti setiap 40 hari mereka akan upgrade kapasitas cloud storage-nya, saya kira angka itu oke juga. Kalau untuk AI berapa ya Ray, kamu tahu gak?” 

“Saya lihat langganan AI untuk buat video itu sekitar 10.000 - 20.000 Dolar per tahun, tapi harganya bisa lebih mahal kalau bayar per bulan, Pak.” 

“Berarti itu oke juga ya, kita bisa kasih yang setahun langsung, misalnya mau di pakai cuma sebulan, gak masalah. Yang penting uang setahun mereka kita tetap dapat, kan mereka juga gak ada pilihan. Atau bisa di bundling dan dibikin skema bulanan, Ray buat hitung-hitungannya.” Dino menatap Ray, yang di jawab dengan anggukkan semangat. Dino membayangkan lonjakan jauh dari konsep yang selama ini ia buat. Dino menatap Julie dan berkata, “Julie, coba tanya estimasi biaya produksi, dengan konsep dan spesifikasi yang sudah kita buat ke tim terkait, ya.” 

“Baik, Pak. Nanti saya coba komunikasikan ke tim terkait.” 

“Dan, kamu Stella..., bantuin Julie.” 

“Iya... Pak,” jawab Stella dengan lesu. 

Dino mengangguk dan berdiam diri setelahnya, ia merasa konsepnya sudah cukup sesuai untuk kepuasan ambisi Rhino pada produk baru ini. Harapan terang mulai muncul meski kondisi hatinya masih gelap. “Gua nanti atur jadwal lagi dengan Pak Rhino, Senin sore semoga bisa. Kita gak ada lembur ya hari ini. Silakan teman-teman istirahat dulu dan selamat libur ya. Sampai jumpa hari Senin!” ucap Dino dengan semangatnya yang telah sedikit bangkit. 

... 

Indah di Kepala 

Heningnya malam Dino rasakan di hari menjelang akhir pekan, meski ramai kondisi di luar gedung apartemennya. Ia sedang memegang ponsel yang sudah terbuka aplikasi chat, tatapannya ragu memandang kontak Danny yang sudah ia pilih sebelumnya. Jarinya bergetar saat ingin menekan tombol panggilan. Dengan menutup mata ia yakinkan dirinya untuk melakukan itu, hingga akhirnya tombol panggilan video yang tertekan. Jempolnya bergeser sedikit dari koordinat awal dan mengkhianatinya. Tak mungkin ia menutup panggilan itu, ia pasrah menanti nada deringnya berhenti, berhenti diangkat atau pun tidak. Dan panggilan itu pun berhenti.  

“Kenapa Din?” suara yang tanpa basa basi itu menyapanya, terlihat wajah Danny di layar ponselnya. 

“Eh, Dan, sorry ganggu. Kalau gua mau kontrakan sekarang, boleh gak ya?” 

“Sini aja, main game sini sama Tommy.” Terlihat wajah Tommy yang sedang memegang controller dan melambaikan tangan padanya. 

“Oke! Gua ke sana sekarang ya.” Sambungan panggilan mati, Dino menatap layar ponselnya. “Mereka gak anggap kemarin itu masalah kali ya? Kok pada biasa aja ya?” Dino bergumam sambil memikirkan sikap Danny dan Tommy yang terlihat biasa saja dengan dirinya, padahal Dino merasa sangat tegang sebelum menghubungi mereka. 

Dino tiba di parkiran mobil gedung kontrakan milik Pak Erick. Dia tatap bangunan yang sepi, tak ada seorang pun di sini. Jam menunjukkan pukul 23.00. Dino berdiam diri, ia masih belum melepaskan sabuk pengamannya, masih berkutat di pikirannya terkait keributan yang ia buat sebelumnya. Ia dongakkan kepala dan tutupkan mata, ia entakkan napas dan membuka sabuk pengamannya lalu berjalan keluar. 

Dino menyusuri ruang panjang dengan pintu yang berbaris. Terdengar suara televisi yang terdengar sayup dari celah bawah pintu yang Dino lewati. Terus berjalan hingga tiba di pojok yang terdengar suara seperti komentator bola dari dalamnya. Dino mematung sejenak, ia kuatkan tangannya untuk mengetuk pintu tersebut lalu memanggil nama penghuninya. 

“Din, masuk aja, gak di kunci!” 

Dino membuka pintu tersebut, langsung terlihat Danny dan Tommy yang bermain game sepakbola dengan fokus menatap televisi di hadapan mereka. 

“Teman-teman, gua mau minta maaf....”  

“Din, masuk dulu. Ayo main bareng sini, masih bisa main gak lu?” Tommy melambaikan tangannya pada Dino tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi. 

Dino tersenyum, segera ia buka sepatunya dan langsung bergabung pada bersama temannya. “Dan, Tom, serius nih. Gua mau minta maaf atas kejadian kemarin.” 

“Udahlah Din, ayo main aja. Orang gak ada masalah kok.” jawab Danny dengan kesibukannya bermain. 

“Seriusan gua, gak enak ini perasaan gua, salah banget ini rasanya.” 

Tommy menjeda game-nya dan melihat ke arah Dino. “Din, gak pernah ada masalah gua sama lu, jadi ngapain minta maaf, gak tau tuh kalau Danny.” Tommy menunjuk Danny dengan mulutnya. 

“Lah Gua?” Danny melongok ke arah Tommy, tak lama ia melihat Dino. “Din, jujur gua ada masalah sama lu, tapi bukan karena lu salah sama gua, tapi gua gak mau lu salah, apa lagi sama orang yang udah nemenin lu dari kecil.”  

Dino terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Ia mencoba tersenyum tapi terasa sangat kecut. Tatapan mendadak kosong menatap ubin dengan napasnya yang agak tersendat. 

“Lu ngapain sih? Nangis?” Danny berkata dengan ketus. 

“Gak kok gak, udah ayo main,” jawab Dino dengan pelan. 

Dino merasa sangat bersalah, tapi mereka tak menganggap itu sebuah masalah. Ketakutan Dino selama ini tidak terbukti, ia hanya bermain dengan rasa takut itu di kepalanya. Andainya ia tidak beranikan diri untuk memulai apa yang telah ia putuskan sebelumnya, ia tak akan tahu, jika semuanya hanya ringan bagi Tommy dan Danny. Otaknya memberatkan apa yang terjadi, ditambah hatinya menambah perasaan ego yang masih belum ia bisa kendalikan. 

Sedikit cerah, Dino melihat atas semua kegelapan yang menyelimutinya selama ini, harapan selalu ada. Tak pasti benar atau tidak. Tanpa mencoba, ia hanya mampu menerka. Di tengah bahagianya, ia masih selalu terbayang sosok JJ. Ia hanya bisa memandanginya dari sosial media dan foto pada halaman depan ponselnya. 

“Dan, Tom, gua masih belum berani nih hubungi JJ.” 

“Nah, ini persis kayak 2 tahun lalu, di mana lu gak berani hubungi JJ duluan. Nanti lu nyesel lagi loh,” ucap Tommy. 

Matanya hanya memandang televisi tanpa fokus dengan apa yang ditampilkan, pikirannya jelas tak ada di sana meskipun mulutnya berbicara. Sesekali ia rapatkan bibirnya dan menutup matanya. Perpisahannya dan JJ saat ini hanya sebentar, tapi ini membuat rindu yang mendalam untuknya, jauh lebih dalam dibandingkan 15 tahun saat mereka tidak berjumpa.  

“Bodoh ya gua, selalu beranggapan gua yang paling benar. Sedangkan di dunia ini bukan gua aktor utamanya.” Dino berkata dengan matanya yang masih kosong. 

Danny menjeda game-nya dan menghadap Dino lalu berucap, “Din, lu pernah bilang, ‘segelap-gelapnya masa lalu masih bisa lu lihat, tapi tidak dengan seterang-terangnya masa depan’ itu kan yang bikin lu terus belajar dan terus usaha, tapi sekarang kenapa lu berhenti belajar dan berusaha buat hubungan lu yang lebih baik?”  

“Gua ragu, perasaan gua ini benar atau gak, Dan. Udah saking dekatnya gua sama JJ, gua udah ngerasa dia itu milik gua, gua cemburu waktu dia keluar panti, gua gak suka waktu dia bilang mau nikah.“ 

“Din, lu sebenarnya salah juga cerita sama kita yang belum punya pasangan ini, rasa yang lu ceritakan itu jujur gua gak relate, tapi gua cuma bisa bilang, lu gak akan tahu makanan itu enak atau gak tanpa lu coba, udah sih Din itu aja,” ucap Danny. 

“Nah, kalau gak enak lu pasti nyesal udah nyoba, tapi itu lebih baik, dibanding lu nyesel karena lu gak mau coba dan ternyata itu enak,” Tommy menimpali dengan wajahnya yang serius. 

Dino memejamkan matanya, dan menghela napasnya. Sejenak ia membuka sosial media yang hanya berisikan JJ di daftar following-nya, JJ bahkan belum mengikutinya sehingga follower-nya masih tidak ada. Ia melihat JJ yang sudah lama tidak menggunakan platform itu, setiap hari ia menantikan sesuatu yang baru ada di sana, tapi setiap hari juga kecewa yang ia rasakan. 

“Dibanding lu nebak-nebak mending lu telepon sekarang,” usul Tommy. 

“Apa gak kemalaman?” 

“Udah hajar, besok libur ini, dibanding lu penasaran,” tambah Danny. 

Dino mengangguk, ia ambil lagi ponselnya dan segera ia buka chat dari JJ tapi ia tak langsung buru-buru menghubungi. Ia pandangi foto profil yang terpasang bulat di depan matanya. “Senyumnya gak pernah berubah, seharusnya ini masih JJ yang dulu.” Tatapannya ragu memandang tombol telepon di bagian atas kanan layar ponselnya. Sedikit gemetar jarinya saat ia coba menekan itu. Bunyi berdering terdengar sayup, ia coba tempelkan ponsel di telinga kanannya. Bunyi terdengar beberapa kali hingga suaranya berganti menjadi suara JJ. 

“Halo...”  

“J...,” Dino berkata lirih sambil berjalan keluar untuk menyendiri menuju teras rumah kontrakan. Ia duduk bersila di atas lantainya dengan memandang tanpa fokus tak tentu arah. 

“Iya,” jawab singkat JJ. 

“J, gua mau minta maaf untuk kesalahan gua kemarin, yang bikin lu marah.” Dino berkata pelan. 

“Gua yang salah, harapan gua terlalu tinggi untuk lu yang masih terjebak rasa indah di kepala lu.” 

“Maaf, J.” Dino berkata lirih. 

“Din, lu gak bisa bedain antara yang nyata dengan mimpi yang bisa lu ubah sedemikian rupa. Lu anggap semua yang ada di dunia ini bisa lu atur sesuai mau lu, bahkan untuk masa lalu orang lain,” JJ berkata dengan lembut. 

“Ini semua salah gua. Maafin gua ya, J,” Dino memohon bibirnya yang bergetar. 

“Din...,” JJ menarik napasnya yang mulai terasa berat. “Asal lu tahu ya, gua gak bisa marah sama lu, benar-benar gua gak bisa, bahkan ketika lu udah begini sama gua. Tadinya gua pikir lu udah dewasa dengan semua yang udah lu jalanin, yang lu rangkai jadi hayal lu yang indah itu. Tapi ternyata gua salah, lu cuma baik di hayal lu itu,” JJ berkata dengan suara yang bergetar dan napas yang sudah tidak teratur.   

Dino diam tidak menanggapi, ia menutup matanya dan membayangkan wajah JJ yang sedang berbicara, terdengar jelas seperti JJ menahan rasa sedihnya. 

Hening tanpa jawaban, JJ terdengar terisak. “Udah ya, Din. Lu pergi aja dari hidup gua, gua takut kecewa lagi, apa lagi sama orang yang benar-benar gua harapin, orang yang setiap hari gua cari untuk gua bisa hubungin, orang yang gua mau dia ada di samping gua, orang yang udah gua anggap rumah, bisa lindungi gua dan bikin gua nyaman kayak waktu kecil dulu, orang yang bisa jadi teman untuk gua, bisa jadi kakak untuk gua, bisa bimbing gua ketika gua bingung, semuanya udah gak ada di lu Din, gua gak kenal sama lu yang sekarang,” ucap JJ terbata-bata dengan sesenggukan. “Gua kecewa sama lu!” 

Sambungan telepon itu terputus membawa sejuta harapan yang sudah Dino buat. Ia menatap layar ponselnya yang perlahan redup dan menghitam.. Ia tertunduk dengan dadanya mengembang dan mengempis. Dunia mendadak hening tanpa ada sedikit pun bising yang terdengar di gendang telinganya. Ia bakar rokoknya dan ia isap sesekali sembari menatap langit yang diterpa lampu kota. Ia usap dahinya dengan tangan kirinya dan memencet beberapa kali bagian glabella dengan kedua bola matanya yang terpejam.  

Pikirannya menerawang membawanya tak tentu arah, membuat rasa bersalahnya semakin dalam. Tawa-tawa yang dulu sering ia dengar sekarang menjadi suara kecewa sarat emosi. Senyum yang dulu ia rasa tenang, sekarang hanya muka datar dan dingin yang ia bayangkan ketika JJ berbicara padanya.  

“Gimana, Din?” tanya Tommy yang menongolkan kepalanya dari dalam rumah. 

Dino menggeleng dengan berat, kepalanya tertahan rasa penyesalan. 

“Udah... mending lu masuk sini, tidur dulu deh, ya meski pun gua tahu itu sulit. Tapi paling gak, lebih aman dari pada lu pulang.” 

Dino mengangguk menanggapi tanpa melihat arah suaranya. Ia melangkah masuk ke dalam rumah. Ia baringkan badannya yang terasa sangat berat untuk ia bisa kendalikan. Di atas karpet merah, ia tutup mukanya dengan lengannya. Ucapan JJ membekas di benaknya. Ia sadar dirinya sudah terlalu jauh dalam menghakimi masa lalu JJ yang sebenarnya tidak bermasalah. Tapi respons yang ia berikan dulu seakan di luar kendalinya, yang terlalu mengikuti ego yang entah berasal dari mana. Ia menutup matanya dengan rasa bersalah, dan ia menutup harinya dengan rasa sesal. 

... 

Kasihan 

Esoknya, Dino terbangun di depan televisi yang sedang mati. Di atas karpet, ia meringkuk dengan matanya yang baru terbuka dari tidurnya. Ia lihat kedua sahabatnya sedang duduk makan bersama.  

“Eh, nyalain TVnya, Tom. Dino udah bangun tuh.” 

“Iya, bentar.” Tommy berjalan menuju Televisi. “Eh, Din makan dulu, galaunya sambung lagi nanti.” Tommy cengengesan sambil menepuk kaki Dino yang mengarah ke televisi. 

Tawa itu membangkitkan dirinya, ia lihat Danny yang sedang lahap menikmati makanan di atas piring yang ia pegang.  

“Nanti deh, gua bakar satu dulu,” ucap Dino sambil mengusap muka kusutnya, lalu ia membakar rokoknya dan duduk bersama temannya. 

“Untung lu nginep di sini, kalau gak kan kita was-was waktu lu pulang,” ucap Danny sambil menyuap makanannya. 

“Kenapa emang?’ tanya Dino heran. 

“Apartemen lu tinggi masalahnya.” 

Dino tersenyum, sambil mengisap rokoknya. “Gua gak mungkin lah begitu, Dan.” 

“Begitu gimana emang?” tanya Danny sambil mengunyah makanannya. 

“Tidur di balkon kan maksud lu?” 

“Ya... betul... udah abisin rokok lu, makan bareng sini!” ucap Danny dengan semangat. 

“Orang galau garing ya, Dan?” ucap Tommy yang sedang memegang piring dan melihat ke arah Danny. 

“Ya, namanya galau Tom, terserah dia aja dah.” 

Dino tertawa, ia bangkit menuju ke depan. Ia hirup udara pagi, di bawah kusen pintu sambil melihat sekeliling. “Tumben Pak Erick gak ada di depan,” batinnya. Tiba-tiba ia melihat seorang wanita yang baru keluar dari rumahnya menuju area parkiran. “Tom, Ella masih tinggal di sini?” 

“Masih, rumahnya masih di depan,” jawab Tommy sambil mengaduk makanannya. 

Mendengar itu Dino segera memakai alas kakinya dan berlari menghampiri. “Ella, Ella.” teriak Dino menuju area parkiran. 

Ella berbalik badan dan sedikit kaget melihat ke arah Dino. “Hei, Dino... apa kabar lu? Lagi tidur di sini?” 

Dino tersenyum pada Ella. Mereka sudah cukup lama tidak berjumpa, dan ada kecanggungan saat pertama kali bersua. Mereka berbincang sebentar dan harus terputus karena Ella berkata jika dirinya hendak pergi untuk membeli makanan.  

“Kalau ada waktu, gua mau ngobrol bentar ya,” ucap Dino. 

“Feli?” tanya Ella dengan wajah serius. 

Dino mengangguk pelan. Ella meminta Dino untuk menunggunya. Dino mengiyakan dan melihat wanita itu berlalu pergi dengan kendaraannya. Dino arahkan kakinya menuju rumah yang menjadi tempatnya tidur semalam, dengan masih rokoknya yang tersisa sedikit di tangannya. 

“Dino....” 

Dino yang hendak masuk rumah menghentikan langkahnya. Ia hafal betul dengan suara yang memanggilnya dan ia arahkan pandangannya menuju ke arah sumber suara. Ia lihat Pak Erick dengan pakaian khasnya sedang memegang segelas kopi dan sebatang rokok yang menyala di tangannya. 

“Sini, ngopi! Udah lama nih kita gak jumpa.” Pak Erick berkata sambil duduk di bangku panjang yang menjadi singgasananya. 

Dino segera menghampiri dan membakar batang rokok keduanya.  

“Din, kayaknya mata lu bengkak, sakit mata ya?” tanya Pak Erick sambil memperhatikan mata Dino. 

“Iya nih, Pak, kelilipan.” 

“Ini sih bengkaknya beda, masa kelilipan bengkaknya dua-duanya.” 

Dino hanya tertawa ringan sembari hidungnya mengeluarkan asap. 

“Masak buaya mau dicicakin, Dino... Dino...” Pak Erick tertawa keras. “Dino, setelah sekian banyak masalah yang lu alamin dari lu kecil sampai saat ini, ternyata masih ada juga ya yang bikin lu nangis?” ucap Pak Erick sembari menyeruput kopinya.  

Dino mengangguk pelan dan tersenyum kecil pada Pak Erick. 

”Tiap masalah bikin lu naik tingkatnya, sabar lu naik, kedewasaan lu naik, terus begitu sampai waktu lu di dunia selesai. Dikasih istirahat sebentar dengan rezeki, terus diuji lagi sampai limit rezeki dan ujian kita habis. Berat ya hidup ini, Din?” 

“Bapak tapi kelihatannya senang terus Pak, kayak gak pernah ada masalah.” 

“Masalah ya ada, cuma yang sekarang gua lewatin gak separah dulu, ya semoga gak ada ya yang parah banget ya, yang bikin gua naik tingkat lagi, kan pusing juga gua nanti. Hahaha.” tawanya renyah sekali pagi ini. 

Tawa Pak Erick begitu menular, sejenak Dino dapat meregangkan otot wajahnya yang kencang dari semalam dengan ikut tertawa. 

“Jadi... yang sekarang terjadi ya sebelumnya sudah bisa gua lewatin, jauh lebih parah dari saat ini. Lagian yang kita hadapi pasti bisa kita lalui kok, gak mungkin lebih dari kemampuan kita. Semua ada jalan keluarnya, lu cukup yakin untuk bisa lewatin semua, lu terus aja berusaha. Dengan modal yakin tadi, semoga semuanya bisa selesai dengan baik. Kalau gak baik gimana? Ya, tetap lu akan dapat sesuatu di balik itu, entah pelajaran, atau tingkat kesabaran, kedewasaan dan lain-lain jadi naik. Gak akan sia-sia kok yang kita usahakan.” 

Dino mencoba mencerna apa yang ia dengarkan, meski terdengar sangat masuk akal, namun nyatanya itu tak akan mudah diimplementasikan. Tak ada yang tidak mungkin, hanya ia perlu tahu untuk menyikapi dengan matang apa yang sedang menghadangnya. Ia isap dalam rokoknya sembari berpikir apa yang akan ia lakukan untuk selanjutnya. 

Dino melihat Ella yang baru pulang, Ella berteriak untuk meminta Dino menunggu kembali, karena dirinya hendak makan dan melakukan kegiatan lainnya di hari libur pagi ini. Dino mengiyakan sambil ia tetap duduk di samping Pak Erick yang terus-terusan mengisap rokoknya. Paru-paru Pak Erick sangat kuat dan selalu meminta asap untuk terus dimasukkan, kadar nikotin yang dibutuhkan oleh tubuhnya cukup tinggi, hingga dia harus terus memasok zat tersebut dalam badannya. 

“Din, lu ingat gak gimana susahnya lu dulu. Berdarah-darah lu mulai semuanya. Gua yakin badan lu sudah ada ribuan luka, dan harusnya lu udah biasa ketika nambah 1 luka kan?’ 

“Iya sih Pak, tapi masalahnya ini hal yang baru pertama kali gua alamin, Pak.” 

“Itulah yang gua bilang, itu jadi ladang lu belajar dan mengembangkan sisi-sisi yang gua bilang tadi. Dengan lu makin sabar dan makin dewasa, gua yakin hidup lu akan jadi jauh lebih tenang dari sekarang.” 

Pengalaman luar biasa yang Dino pernah alami, tak akan sebanding dengan jam terbang yang panjang. Selama ini Dino merasa sudah cukup dewasa dengan pahitnya hidup yang ia alami, tapi ternyata tidak, itu hanya egonya yang sedang meninggikan harga dirinya. Dino terjebak dengan merasa dirinya yang paling benar dan paling besar, ia menutup mata dengan perkataan orang lain yang mengkritiknya, karena merasa yang lain tak lebih tinggi dari dirinya. 

Mata Dino menatap nanar awan yang terlihat sepi dan tak berani mendekati matahari. Cerahnya hari ini, tak terasa di hatinya yang gelap tanpa warna. Hampa rasanya, setelah menyadari dirinya selama ini tidak benar. Perlahan ia mengusir ego dan mempersilahkan sang dewasa datang mengunjunginya.  

Dino izin pamit pada Pak Erick, ia kembali bersama Danny dan Tommy yang sedang berdiam diri membisu memainkan ponsel masing-masing dengan televisi yang sedang menyala dan menonton mereka. Dino memakan apa yang telah kedua sahabatnya suguhkan sebelumnya. Dengan hening sembari berpikir, ia terus mengisi perutnya. Suap demi suap ia masukkan ke dalam mulutnya, matanya hanya fokus ketika memilih makanan dengan sendoknya dan kosong kembali ketika mengunyah.  

Sedikit demi sedikit ia habiskan makanannya. Kunyahannya lebih lama dari biasanya karena terdistraksi rasa bersalah. Suara televisi menambah latar suara ketika ia dengan kontemplasinya kali ini, meski suara itu tidak sejalan dengan apa yang menjadi pokok pikirannya, tapi Dino tak mengacuhkannya.  

Ia pandangi kedua temannya yang sama sekali bergeming, hanya jempol yang mereka gerakkan. Ia sejenak memandang ponselnya, belum ia dapatkan kabar dari Ella. Wanita itu sudah mengerti akan topik yang akan Dino bahas, yang kemungkinan karena JJ sudah cerita tentang apa yang ia rasakan saat ini. 

Hingga Ella datang di aplikasi chat Dino, ia sudah siap untuk bercerita. Dino segera menghabiskan makannya dan bergegas menuju kediaman Ella. Mereka duduk di kursi depan rumah Ella yang membelakangi jendela rumahnya. Dino tanpa ragu membuka perbincangan yang mengarah langsung pada topik utama. 

“Huh.” Ella menghela napasnya dan berkata tanpa menghadap ke Dino, “Kasian Feli, Din.”  

Sebuah kalimat pembuka yang menusuk dalam batin Dino. Ia merasa yang dilakukannya cukup berdampak pada JJ, hingga kata “kasian” itu digunakan oleh Ella. Kata itu berhasil mengubah raut wajahnya menjadi tertekuk dengan bibir yang sedikit melengkung ke bawah. 

Lihat selengkapnya