He Is Not My Brother

Keita Puspa
Chapter #2

2. Tinggal Berdua

Sore hari yang cerah. Matahari masih terik meski telah condong ke barat. Kalau bukan karena pohon ek yang ada di halaman depan, teras rumah bercat biru itu pasti masih terbakar. Sore hari di rumah itu selalu ramai para remaja berkumpul untuk bermain gim konsol atau belajar bersama.

Amy tertawa melihat wajah dua teman sekelasnya, Lewis dan Sifa. Mereka sedang mengerjakan tugas matematika. Lewis mengerutkan kening sambil mengembungkan pipinya sementara Syifa memonyongkan bibirnya sambil bersungut-sungut. Soal yang satu ini cukup sulit. Amy sendiri sudah lima kali mengerjakan dengan cara berbeda-beda, tapi selalu mentok.

"Hey... aku udah pusing, nih," kata Lewis. Ia mencoret-coret hitungannya barusan.

"Aku nyerah, guys!" seru Sifa melemparkan bukunya ke arah bangku yang ada di halaman. Ya, mereka belajar di halaman rumah Amy, di bawah pohon ek yang cukup besar dengan menggelar tikar.

Amy masuk rumah dan mencari kakaknya. Kalau PR mentok, M adalah solusinya. Terdengar alunan musik rock dari kamar M. Kencang sekali. Amy melangkah memasuki kamar itu. Dilihatnya M berbaring di sudut kasur dan... Iiihhh! Amy menutup mata melihat satu cowok lagi yang tertidur di sebelah M. Ia bertelanjang dada dan hanya memakai celana selutut. Bisa-bisanya tidur dengan suara berisik seperti ini. Amy menekan tombol daya speaker untuk mematikan musik itu.

M menggeliat dan bangun. Dilihatnya Amy tengah berdiri di dekat pintu. "Ada apa?" tanyanya.

"Bisakah kau membantuku menyelesaikan tugas matematika?" tanya Amy agak takut. Khawatir M marah karena mengganggu waktu tidurnya.

"Kau beruntung, ada Jimm di sini," kata M seraya melirik Jimmi.

Amy menaikan alis kanan dan memasang ekspresi bingung. Mendesak penjelasan dari kakaknya.

"Jimm ahli ilmu eksak. Bangunkan saja dia." M bangun dan mengambil tangan kiri Jimmi. Melihat jam berapa sekarang, kemudian berlalu keluar. "Aku mau mandi!" teriaknya.

Membangunkan Jimmi? Ish...malas banget aku meminta bantuan padanya.

Amy melangkah menjauhi tempat tidur. Baru sampai di depan pintu kamar, ia berbalik. Amy ingat kata-kata Pak Anton, guru matematikanya. Dia bilang jika nilai tugas kali ini di bawah 70, maka kami diharuskan ikut jam tambahan matematika 10 jam seminggu. Mengingat itu sungguh membuat kebebasan para murid SMA Elang terancam. Lama sekali 10 jam? Amy bergidik. Diliriknya Jimmi yang masih tidur. Perutnya turun-naik teratur seirama embusan napasnya.

Dengan langkah ogah-ogahan Amy mendekatinya. Ia duduk di samping kasur. Di kamar M memang tak ada dipan. Hanya kasur yang beralaskan karpet. "Jimm... bangun!" ucap Amy. Ia mendorong-dorong badan Jimmi dengan lengan kiri sementara tangan kanannya dijadikan tunpuan. Amy berjongkok menjauhi tubuh Jimmi sedikit sambil terus menggoyangkan tubuhnya. "Hei... Jimm, bangun! Bangun, gak?!" kali ini Amy agak berteriak.

Jimmi bergerak. Tubuhnya miring ke kanan, menabrak lengan kanan yang menjadi tumpuan Amy dan sukses mendaratkan tubuh adik M di perutnya.

"Sial!" desis Amy.

"Hei... sedang apa kau? Bangun!" perintah Jimmi padaku.

Amy buru-buru bangun dan berdiri di samping tubuh Jimmi. Sahabat M itu menatap Amy dan nyengir. Ia bangun kemudian memakai kaos hijau army yang ada di dekat kaki Amy.

"Amy... warna hitam itu gak cocok buatmu," kata Jimmi membuat Amy bingung. Amy memperhatikan seluruh tubuhnya. Ia tak memakai baju atau aksesoris hitam.

Apa rambutku?

OMG!!! Sial! Sial! Sial!

Amy baru menyadarinya. Perlahan wajah Amy memanas. Jimmi sudah pasti melihatnya tadi. Amy lupa kalau ia pakai rok.

"Bukan salahku, ya. Salahmu sendiri berdiri seperti itu." Jimmi sudah berdiri di hadapan Amy.

Lihat selengkapnya