"Kalian belum lihat mading, ya? tertulis jelas di sana, kok." Olie menunjuk sebuah papan pengumuman besar yang dilapisi kaca di sebelah barat. beberapa murid terlihat mengerumuni benda itu.
Penasaran dengan apa yang Olie katakan, Amy langsung berlari menuju mading yang disusul oleh Jimmi di belakangnya.
Saat beberapa langkah lagi menuju mading, Amy merasakan tatapan orag-orang itu. tatapan yang bermacam-macam. Diterobosnya kerumunan itu hingga ia sampai di depan kaca dan ia mulai membaca berita yang tertulis satu persatu.
"Hey..., itu kita!" seru Jimmi.
Amy buru-buru melihat sebuah foto yang Jimmi tunjuk. Fotonya dan Jimi yang sedang berdansa di restoran tempo hari, beserta satu paragraf, narasi yang menurut Amy adalah omong kosong.
Kring!
Bel tanda masuk berbunyi. Amy perlahan meninggalkan papan berkaca itu menuju kelasnya. sekilas ia melihat Jimmi memandangi foto itu dengan senyum penuh.
"Menyebalkan!" gerutu Amy.
§§§
"Haduh! Aku harus bagaimana ini, kak?" Amy menarik-narik ujung kemeja M yang sedang bercermin.
"Ya, sudah... terima saja dia. Jadi gosip itu akan jadi kebenaran dan bukan gosip lagi, kan?" M membuka kancing terakhir kemejanya lalu membiarkan Amy menarik kemeja itu lepas dari tubuhnya.
"Apa?" Amy mengucek kemeja M, "I... itu... bukan begitu maksudku!"
"Lalu maumu seperti apa Am? Kembali ke masa lalu dan mencegah seseorang menulis itu?"
Amy diam mendengar ucapan kakaknya. Ia tahu benar itu tak mungkin. Lalu ia harus apa? Membiarkan teman-teman sekolahnya tetap memandang sinis padanya? Rasanya ia tak tahan berhadapan dengan para pengagum Jimmi yang selalu memberi cowok itu coklat.
"Kenapa?" Amy menjambak rambutnya sendiri, "Kenapa Jimmi suka padaku? Jelas-jelas banyak yang lebih cantik dan pintar di sekolah. Cindy dan Norah jelas-jelas menyukainya."
"Amy... kita tak bisa memilih dengan siapa kita jatuh cinta. Seperti kau menyukai Olie. Apa kau memilihnya?" tanya M yang tengah memakai kaus oblong.
Amy terdiam.
"Nggak, kan? Ini bukan salah Jimmi. Lagipula...," M mendekatkan wajahnya nyaris menempel pada wajah Amy, "... apa benar kau gak menyukai Jimmi?"
Amy merasakan panas di kulit wajahnya. Menyadari kemungkinan wajahnya memerah, Amy membuang muka. "Tiiiidak."
"Em... entah kenapa aku gak percaya ucapanmu barusan." M melangkah dengan handuk di bahu meninggalkan Amy yang masih tidak menyadari kakaknya sudah tak ada di situ.
Setelah lama memalingkan wajah, Amy berbalik dan bernapas lega karena ia tak melihat M di sana.
"Ke-kenapa...?" gumam Amy terbata menyadari ada perasaan aneh yang timbul ketika M bertanya tadi. Harusnya ia bersikap normal, kan? Kenapa tiba-tiba perasaannya memuai dan pipinya terasa terus menghangat hingga panas. Diembuskan napasnya kemudian dihirupnya kembali dalam-dalam sebelum ia masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri.
"Jimm...." Amy menatap sepasang sepatu yang berada di sudut kamar. "Bagaimana jika aku tidak menyukaimu? Apakah perasaanmu akan sama sepertiku ketika Olie mencium tunangannya?"
Amy memejamkan matanya. Di kepalanya kembali berputar semua kenangan masa kecilnya.
Ketika M pergi mengikuti berbagai lomba, Jimmi selalu menemaninya. Bermain ular tangga atau hanya sekadar memutarkan film-film kartun superhero yang Jimmi bawa dari rumah. Ketika hari ibu, hanya dia yang tidak membicarakan sosok ibu. Bahkan hari itu M selalu menceritakan padanya betapa baiknya ibu mereka.
Kemudian peristiwa demi peristiwa berputar. Saat Amy hampir dikeroyok murid sekolah lain, saat menemukan soal kimia dan matematika yang sulit dan ketika ia menangis di pesta Olie, Jimmi lah yang ada didekatnya selain M. Dia selalu ada.