"Kalian itu perempuan! Tidak pantas melakukan kekerasan. Pokoknya saya beri kalian berempat sanksi." Mrs. Larry memberikan amplop pada masing-masing siswi yang duduk di hadapannya. "Berikan itu pada orang tua kalian."
Mrs. Larry membenarkan kacamatanya yang melorot, "Kalian berdua, bawa Iren ke ruang kesehatan. Amy... kamu tetap di sini."
Sesuai perintah, si kuncir kuda dan si gelang warna-warni mengantar si bando ungu ke UKS. Sementara Amy bersiap menerima khotbah lanjutan.
"Kenapa kamu menendangnya?"
"Karena saya ingin," jawab Amy datar.
"Amy... ini bukan pertandingan karate. Kamu harus tetap bisa berpikir dengan kepala dingin." Mrs. Larry menggenggam tangan Amy lembut.
"Tapi kulit kepala saya panas karena dia menjambak rambut saya. Oh, pipi saya juga. Saya butuh es untuk mendinginkannya."
Mrs. Larry tersenyum. "Saya tahu kamu pasti punya alasan. Tapi lain kali harus diperhatikan konsekuensi perbuatanmu."
Kali ini Amy tidak menyahut. Dan Mrs. Larry sengaja membiarkan keheningan hinggap sejenak di ruangan itu. Ia berdiri, menghampiri kulkas kecil di samping dispenser air dan mengambil tempat es batu.
"Gara-gara ini, beasiswa kamu terancam dicabut. Kamu juga bisa dipecat sebagai manajer tim basket." Mrs. Larry memberikan balok-balok kecil es batu yang ditaruhnya di sebuah kantong plastik itu pada Amy.
Mata Amy memanas. Ia memang tidak memikirkan hal itu ketika menendang perut kakak kelasnya tadi. Memang tindakannya berlebihan untuk dibenarkan sebagai membela diri. Diterimanya es batu dari Mrs. Larry dan langsung menempelkannya di kepala.
"Ya, sudah... sekarang ambil tasmu. Kamu bisa pulang." Mrs. Larry mengembuskan napas panjang.
"Baik. Terima kasih, Ma'am."
§§§
Jimmi buru-buru menuju ruang konseling setelah mendengar ada ribut-ribut. Katanya ada siswi yang berkelahi dan salah satunya Amy.
Dari jauh Amy terlihat keluar dari ruang konseling dengan wajah tertekuk. Jimmi memutuskan menunggu gadis itu di lorong lab komputer yang terpisah oleh perpustakaan dan ruang administrasi dengan ruang konseling.
"Hei, kau kenapa?" tanya Jimmi ketika jaraknya dan Amy hanya tinggal tiga langkah.
Gadis itu memandang Jimmi dengan tatapan dingin tanpa menjawab pertanyaannya, kemudian melangkah pergi.
Jimmi membeku mendapatkan tatapan sedingin itu dari Amy. Ada sesuatu yang salah. Bukan, tapi dia telah berbuat salah pada gadis itu. Tapi apa?
"Jimmi! Kemari!"
Jimmi menoleh dan mendapati ibunya melambaikan tangan. Meski malas, ia tetap berjalan memasuki ruang konseling menuruti perintah ibunya.
"Kita perlu bicara soal insiden hari ini," ucap Mrs. Larry ketika Jimmi telah duduk di hadapannya.
"Ya? Insiden apa? Aku ga melakukan apa-apa hari ini."
"Tidak melakukan apa-apa saja sudah menggemparkan, apalagi kalau bertingkah?" Mrs. Larry memijat-mijat keningnya.
"Aku tidak mengerti."
"Kamu tahu, Amy menendang Iren sampai anak itu tidak bisa bangun untuk beberapa saat?"
"Oh," ujar Jimmi. Tidak mengherankan buatnya. Waktu di jembatan saja, Amy mampu menghajar dua orang siswa SMA Burhan.