Iren menghela napas kasar. Ia masih tidak terima karena diskors. Padahal, harusnya hanya satu orang saja yang perlu dihukum. Kedongkolannya pada Amy bertambah ketika mendengar kabar dari temannya yang merupakan salah satu anggota cheerleader.
Teman Iren mengatakan bahwa sepanjang perjalanan menuju tempat pertandingan basket, Amy duduk berdua dengan Jimmi. Bisa-bisanya ketika diskors pun gadis itu masih menempel pada Jimmi. Bahkan, ketika acara makan, Pelatih Emil mengundang Amy. Hati Iren pun memanas. Ia tidak bisa menerima jika Amy masih lengket dengan Jimmi.
Maka hari pertama ia masuk sekolah lagi, Iren bersama Martha, temannya yang selalu dikuncir kuda, menunggu dengan sabar di toilet sekolah. Mereka tengah merencanakan sesuatu.
Ketika orang yang mereka tunggu datang dan menggunakan salah satu bilik toilet, Martha menumpahkan ember yang berisi air kotor dan beberapa benda lengket. Mereka terkikik diam-diam dan langsung terbirit-birit meninggalkan toilet.
§§§
Amy tidak percaya kalau kemarin adalah hari terakhirnya bersama tim basket sekolah. Ia telah dipecat. Ya, gara-gara ditendangnya perut Iren tempo hari.
Sekarang, beasiswanya pun terancam dicabut. Padahal, itu salah satu pencapaiannya yang paling baik. Hal yang bisa ia banggakan pada ayahnya. Jika beasiswa itu benar-benar dicabut, maka Amy sepertinya tidak akan punya muka untuk bertemu ayah. Dan berita buruk pun datang kemarin. M bilang ayah mereka akan pulang sabtu ini.
Amy mengatupkan kedua tangan ke wajahnya. Entah harus bagaimana. Ia harus bersiap menerima konsekuensi perbuatannya. Karena sungguh, Amy tidak menyesal telah melesatkan tendangannya.
"Are you okey?" tanya Sifa seraya duduk di samping Amy.
Hari ini adalah hari setelah tiga hari skors Amy berakhir. Setiap murid yang bertemu dengannya melihatnya dengan pandangan tidak biasa. Ini lebih kacau dari yang Amy kira. Ia merasa seperti seorang narapidana yang baru saja lepas dari sel tahanan.
"Ya, aku baik, Sif. Aku hanya perlu mencuci muka. Aku hanya mengantuk," ucap Amy seraya berdiri menuju toilet.
Ditinggalkannya Sifa yang masih duduk. Ia yakin temannya itu masih memperhatikannya sampai ia keluar pintu kelas.
Di luar, banyak murid yang lagi-lagi meliriknya, mencuri pandang padanya, kemudian membicarakannya dengan suara yang hampir menyerupai bisikan.
Amy berusaha berjalan setenang mungkin, tidak terburu-buru. Ia tak mau menghindari hal-hal yang seperti itu—dibicarakan, diperhatikan dengan tatapan aneh.
Ketika akhirnya tiba di toilet, Amy langsung masuk ke salah satu bilik yang terbuka. Ia tidak ingin menggunakan toilet, ia hanya mau duduk dan merenung saja. Sepertinya, bilik toilet adalah satu-satunya tempat yang aman di sekolah ini. Ia bisa mengeluarkan ekspresi frustrasinya dengan bebas tanpa takut dilihat oleh siapa pun.
Namun, tiba-tiba sesuatu jatuh dari atas. Sebuah ember berisi air kotor dengan beberapa permen karet bekas dikunyah.
"Ugh!!!" erang Amy. Ia segera keluar bilik untuk melihat pekerjaan siapa itu. Sayangnya, tidak ada siapa pun. Ia hanya mendengar bunyi sepatu yang beradu dengan lantai. Ketika ia keluar pun, tidak ada orang yang terlihat.