He Is Not My Brother

Keita Puspa
Chapter #27

Pamer Bakat

Bel istirahat berdering, Amy langsung diserbu kawan-kawannya. Sifa, Val dan Lewis duduk mengitarinya dengan menggeser kursi orang. 

"Kau... badass!" seru Lewis. Antara percaya atau tidak kalau temannya itu memangkas habis rambutnya. 

"Bagaimana kalau wawancaranya kita tunda. Aku lapar," ucap Amy sambil memegangi perutnya yang berbunyi. 

"Okey, ayo kita ngobrol di kantin." Val menarik tiga temannya menuju pintu kelas. "Hari ini, Lewis yang traktir!" 

"Yayyy!!!" sorak Sifa dan Amy. 

"Hei, kenapa aku?" protes Lewis. 

"Jangan pelit, Lew!" rayu Val. "Kau, kan, yang terganteng di antara kami."

"Itu sudah pasti," sombong Lewis. Yang lainnya cewek! Kendati begitu, Lewis tidak menolak untuk mentraktir mereka. 

"Hei, lihat...! Kasihan, ya. Rambutnya sampai seperti itu."

"Kenapa gak pakai wig aja, sih?"

"... gara-gara cowok jadi begitu...."

Bisik-bisik keras terdengar dari kiri dan kanan, juga belakang. Amy mulai terbiasa dengan keadaan itu—dibicarakan di belakang. Lagipula, soal penampilannya kali ini, ia sendiri yang mau. 

"Jangan dengarkan mereka, Am!" Sifa merangkul bahu temannya itu. 

"Mereka emang hobi bergosip," cibir Val. 

"Mereka hanya iri padamu, Am. Sedari awal hanya itu masalahnya," tambah Lewis yang disambut anggukan dari yang lain. "Aku akan mengamankan tempat!" seru Lewis sambil berlari ke arah kantin yang jaraknya tinggal beberapa meter lagi. 

"Amy! Kau adalah cewek terkuat di sekolah ini. Ya, kan, Sif?" ucap Val. Digenggamnya jemari Amy kuat. 

"Ya! Dan aku bangga jadi teman si cewek terkuat!" Sifa dan Val tertawa, begitu pun Amy. 

"Trim's. Kalian semua adalah sahabatku yang paling berharga." Amy memeluk kedua temannya dengan erat. 

"Hei, di sini!" teriak Lewis. Cowok itu melambaikan tangan di sebuah meja kosong dengan beberapa bangku kosong menglilinginya. 

"Urusan begini emang kau jago, ya!" ujar Val. Entah memuji atau menyindir. 

"Ini strategis, tahu!"

Lewis memang benar. Meja itu berada di pojok dimana itu adalah tempat favorit para murid karena dekat dengan speaker dan juga dekat dengan taman. 

"Mau pesan apa?" tanya Sifa. "Biar aku yang pesankan."

"Bola daging!" seru yang lain. 

"Ah, uang jajanku...." Lewis melirik kantongnya. Bola daging adalah menu favorit termahal di kantin. Harganya setara dengan tiga gelas jus jeruk. 

"Sabar, yah," ucap Val mengelus punggung Lewis sementara Sifa menuju dapur kantin. 

"Eh, kudengar Iren dikeluarkan," celetuk Lewis sembari melirik Amy. 

"Itu memang pantas! Sukurin!" ucap Val emosi. Bibirnya bahkan memanjang selama mengucapkan kata terakhir. 

Amy membenarkan topinya dan melirik sekeliling. Tampak murid-murid berkerumun di beberapa titik dekat speaker sepanjang lorong kelas. Di kantin ini pun semua bangku penuh. 

"Hei, Am. Kau ga mau membicarakan Iren?" tanya Val menyelidik. 

"Ah, bukan gitu. Dia memang pantas di-DO. Meskipun sebenarnya aku kasihan padanya." Jemari Amy menyusuri ujung lengan jumper-nya. Sejujurnya ia senang jika orang itu tak ada lagi di sekitarnya. Tentu saja, karena yang Iren lakukan padanya sangat jahat. 

"Kasihan? Ayolah..., kita tidak perlu mengasihani orang seperti itu. Bahkan kak Jimmi itu, kan, bukan siapa-siapanya. Masa posesif sama sesuatu yang memang bukan haknya, sih?" ujar Val kesal. 

"Aku baru tahu, lho. Cewek bisa seseram itu jika sudah bucin."

"Bucin?" Amy mengernyit pada Lewis, meminta penjelasan tentang arti kata itu. 

"Budak cinta."

"Oooh...."

"Gitu aja enggak tahu. Kalian ini kuper, ya?" ledek Lewis yang langsung dilempari sendok garpu oleh Amy dan Val. 


Bukannya berhati malaikat atau terlalu baik, tapi Amy memang mengasihani Iren. M bilang, kemarin Jimmi memarahi Iren di depan umum. Bahkan Jimmi bersikap kasar padanya. Padahal, Iren sangat menyukai sahabat kakaknya itu. Sudah pasti hati Iren terluka. Bagusnya, kakak kelasnya itu tak perlu menemui Jimmi atau dirinya lagi. Amy pikir itu akan mengurangi rasa malu dan sakit hati Iren. 

"Ini pesanan kita!" seru Sifa yang datang dengan sebuah nampan di tangannya. Empat mangkok bola daging panas tersaji di atasnya. 

"Minumnya?" tanya Amy. "Oh, biar aku yang ambil. Es teh, kan?" Ketiga temannya mengangguk mantap. 

"Hai...! Hai!!! Balik lagi dengan Shauwn di sini, di rabu yang spesial dalam acara Pamer Bakat! Kalian harus lihat betapa studio yang biasanya seperti kuburan ini menjadi seperti lapangan konser!"

Terdengar siaran radio sekolah dimulai. Oh, ini rabu! Amy baru ingat jika setiap hari rabu ada acara penampilan bakat di radio sekolah. Jam istirahat bahkan lima belas menit lebih lama dari hari biasa setiap rabu. 

"Yah, tentu saja karena aku kedatangan dua bintang sekolah. M dan Jimmi!!! Hai, apa kabar?"

"Baik...."

Lihat selengkapnya