Pelajaran sudah kembali dimulai sejak satu jam lalu tetapi Amy sama sekali tidak memperhatikan guru. Ia memang melihat ke depan, ke coretan-coretan di papan tulis. Namun pikirannya terbang entah kemana sejak siaran radio sekolah usai.
"... aku sudah menganggap Amy sebagai adikku sendiri. Kami bertiga sudah seperti saudara."
Ada denyut menyakitkan di dada ketika mendengar kata-kata itu. Sialnya lagi, kata-kata itu terus terngiang di kepalanya yang kini berambut tipis.
Amy tidak mengerti situasi terkini. Yang ia tahu Jimmi mengatakan jatuh hati padanya, tetapi di depan semua orang dia bilang kalau hubungan mereka seperti saudara. Jadi, selama ini memang Jimmi hanya menggodanya.
Sebenarnya itu adalah hal yang Amy inginkan agar hubungan keduanya seperti dulu. Namun sekarang ketika hal itu terjadi—seperti keinginannya—ia justru merasa sakit. Rasa-rasanya menarik napas sedalam apapun, paru-parunya tak akan penuh. Sekonyong-konyong ia juga kehilangan tenaga. Untuk sekadar membuka halaman buku pun Amy tak sanggup.
"Am-Amy! Kau tidak pulang?" tanya Val mengetahui Amy tidak membereskan buku-bukunya setelah bel pulang berdering.
"Sebentar lagi. Aku mau di sini sebentar lagi." Amy malah menenggelamkan kepalanya di tangan yang terlipat di meja.
Val yang telah berdiri kembali duduk. "Ada apa?“
"Tidak ada. Hanya malas pulang saja."
"Baiklah aku mengerti. Aku akan pulang bersamamu, menunggu sekolah sepi," kata Val. Gadis itu mengira kalau Amy belum percaya diri dengan penampilan barunya di depan banyak orang.
"Tidak perlu, Val. Lagipula aku mau nengok klub karate. Sepertinya aku mau latihan karate lagi," bohong Amy. Ia memang berniat aktif lagi di klub karate tapi bukan hari ini.
"Ah, aku mengerti. Aku mendukungmu! Kau memang harus banyak kegiatan agar tidak ada waktu mendengar gosip orang-orang." Val tersenyum kemudian gadis itu berdiri dan meninggalkan Amy sendiri di kelas. "Sampai besok!" katanya sebelum menghilang di balik pintu.
Sepeninggal Val, Amy merasa kepalanya pusing. Namun, ia juga seperti kehabisan tenaga untuk beranjak dari kursinya. Perlahan-lahan mata Amy tertutup dan kesadarannya memudar.
"Hei, kau di situ rupanya. Bangun!"
Tubuh Amy terguncang. Kesadarannya kembali perlahan. Dibukanya matanya pelan. Kemudian segera saja kepala itu terangkat.
"Apa? Ada apa?" tanya gadis itu kaget. Topi yang dipakainya sampai terjatuh ke lantai.
"Kau kaget? M mencarimu," ucap cowok tinggi itu.
Dengan gerakan malas, Amy bangkit. Kenapa orang yang pertama ia lihat malah Jimmi? Ah, ia tidak mengerti dengan permainan apa yang tengah diberikan takdir untuknya. Ia sedang tidak mau bertemu orang itu.
Amy mengucek mata dan memungut topi hitamnya. Kemudian diliriknya Jimmi yang tiba-tiba saja mematung. Mata cowok itu melebar seperti baru saja melihat makhluk astral.
"I-itu... itu...!" Jimmi menunjuk kursi Amy.
"Ha? Ada apa?" Jantung Amy tiba-tiba berdetak semakin cepat. Dari ekspresi Jimmi yang tidak dibuat-buat, Amy tahu ada sesuatu yang janggal. Apakah benar-benar ada makhluk astral di dekatnya? Atau hewan liar? King cobra?!
"Itu!" seru Jimmi kemudian memalingkan wajah.
"Apa?" tanya Amy penasaran tapi masih ragu untuk menoleh. "Apaan, Jimm?!"
Amy semakin khawatir. Wajahnya bahkan memucat. Dengan berat hati diberanikan kepalanya untuk menengok kursi meski jantungnya tak mau menurunkan kecepatan pompaan.
"What the?!!!" Mata Amy membelalak. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Arghhh! Bagaimana ini? Bagaimana, Jimm?" tanya Amy panik. Suaranya bahkan terdengar sangat nyaring. Ia bahkan lupa kalau ia tak ingin melihat Jimmi sekarang.