"Kau yakin tidak mau kuliah di sana? Semua orang ingin pergi ke Universitas Cendekia, Marsh." Terdengar suara Jerome di sela ketukan palu.
"Aku tidak ingin meninggalkan Amy sendirian, Yah," jawab M yang memegangi papan agar ayahnya lebih mudah memalu.
"Apa kau yakin?" Jerome menghentikan ketukan palunya dan menatap wajah M lekat-lekat.
M memandangi halaman belakang rumah mereka yang ditumbuhi rumput panjang. Ditariknya napas sebelum menjawab, "Ya. Tidak apa kalau aku kuliah di kota sebelah saja. Kecuali...." M tak meneruskan kata-katanya. Ia tidak mau mengucapkan hal yang mungkin membuat Jerome marah.
"Kecuali apa, Marsh?“
M menelan ludah. Antara ingin dan tidak mengatakan hal yang sebenarnya ia sendiri mau. "Kecuali Ayah mau tetap tinggal di sini dan menjaga Amy."
Jerome meletakkan palunya dan duduk di tangga menuju halaman belakang rumah yang tampak tak terurus. Matanya melihat langit luas yang berhias awan-awan tipis. "Kau tahu itu tidak mungkin."
"Karena itu aku harus di sini menjaga adikku," kata M yakin.
"Marsh... kau tahu? Ayah tidak pernah berharap kau menjaga adikmu. Ayah justru berharap kalian berdua bisa menjaga diri masing-masing." Jerome menggosok-gosok tangannya. "Ayah tahu kalau ayah bukanlah ayah yang baik. Ayah meninggalkan kalian, lalu berharap semua akan baik saja. Ajaibnya semua baik-baik saja. Kau dan adikmu tumbuh dengan baik, bahkan terlalu baik. Tanpa ayah sadari, ayah menelantarkan kalian."
"Tidak. Ayah tidak begitu," ujar M. Diraihnya bahu ayahnya lembut. "Ayah adalah ayah terbaik."
"Jangan bilang begitu. Ayah akan merasa sangat bersalah. Apalagi jika ternyata gara-gara ayah, anak ayah tidak bisa meraih apa yang diinginkannya."
"Tidak. Bukan begitu. Aku tidak apa-apa jika tak kuliah di Universitas Cendekia, Ayah!“
"Marshall... meski kita hanya bertemu beberapa hari dalam setahun, tapi bukan berarti ayah tak memperhatikanmu. Kau pernah bilang ingin jadi ahli astronomi, kan?"
M tersentak dengan pertanyaan ayahnya. Ia memang menyukai langit malam. Ia punya buku-buku sains populer tentang jagad raya. M juga diam-diam menyisihkan uang saku untuk membeli sebuah kamera long exposure untuk memotret bintang-bintang. Hanya Amy dan Jimmi yang tahu hobinya yang ia jalankan diam-diam itu.
"Kuliah di sana akan mewujudkan mimpimu." Jerome menepuk pundak anak lelakinya. "Jangan khawatirkan adikmu. Mrs. Larry bilang tidak keberatan jika Amy tinggal di rumahnya selama kita pergi."
M menatap ayahnya tak percaya. "Apa Amy mau? Dia gak akan mau serumah dengan Jimmi."
"Siapa bilang?" Jerome mengerutkan kening. "Jimmi akan pergi ke Universitas Cendekia juga. Apa dia tidak bilang padamu?"
M menggeleng pelan. "Dia belum bilang apa-apa."
"Marsh, ini masa depanmu. Kau berhak untuk meraih cita-citamu." Sekali lagi Jerome menepuk pundak M dan kembali meneruskan pekerjaannya memperbaiki meja. Sementara M menatap langit yang mulai gelap.
Tanpa ayah-anak itu sadari, Amy mendengar hampir seluruh percakapan mereka dari balik pintu.