"Amy, aku boleh minta tolong?" Opheria meraih tangan Amy dan menggenggamnya. "Tolong foto kami berdua, ya?"
Sekonyong-konyong, ada kilat yang menyambar hati Amy. Gemuruh badai pun mengamuk meluluhlantakkan perasaannya. Namun, Amy berusaha tetap berdiri tegak dan tersenyum. "Baiklah," katanya seraya tersenyum simpul.
Amy pikir akan sesederhana menekan tombol shutter kemudian selesai sudah. Ia hanya perlu menutup mata ketika memotret mereka berdua. Nyatanya tidak.
Opheria ingin background hati yang ada di booth peramal. Maka mereka bertiga pergi ke sana dan menggunakan jasa si peramal lebih dulu sebelum bisa berfoto di rangkaian bunga segar yang membentuk hati raksasa.
"Kau harus jujur padanya, pada dirimu sendiri." Kata si peramal yang berpakaian gypsi itu setelah membuka beberapa kartu tarot yang Amy pilih. "Kau beruntung karena orang-orang di sekelilingmu menyayangimu. Tapi kau harus ingat bahwa apa yang kau lihat bukan berarti itu kebenaran."
Selesai meramal Amy, si wanita gypsi itu merapikan kembali kartu-kartunya. Ia menatap Amy lekat-lekat dari ujung sepatu sneakers putih sampai topi army yang Amy kenakan, membuat Amy sedikit risih. Kemudian ucapan selanjutnya si peramal beranting-anting besar itu membuat Amy terbengong-bengong.
"Kau harus bersabar sedikit, kusarankan kau mengatakan perasaanmu pada gadis itu. Kalian akan bahagia."
Ha? Gadis?!
Rupanya si peramal mengira Amy seorang anak lelaki. Damn it! Bagaimana bisa ia percaya kata-kata si peramal jika menebak jenis kelamin saja orang itu tak bisa. Hampir saja Amy mempercayai kata demi kata si peramal gypsy itu.
Usai sesi penerawangan itu, Amy keluar dari bilik si peramal yang dihiasi lampu dan tirai yang kelap-kelip. Di luar, Jimmi dan Opheria telah menantinya. Sungguh dobel tidak menyenangkan!
"Ayo, Amy... foto kami di sini!“ seru Opheria. Tangannya tidak lepas menggaet lengan Jimmi, membuat Amy diam-diam merengut tak suka.
"Sekali saja," ucap Jimmi. "Kau hanya perlu memoto kami satu kali."
Terserah! batin Amy. Ia melihat keengganan di wajah Jimmi. Tetapi Amy tidak cukup peka untuk mengetahui bahwa cowok itu tidak suka melakukan hal ini.
"Oke. Siap... tiga... dua... satu...."
Klik!
Dan hati Amy mencelos melihat Opheria berjinjit mencium pipi sahabat kakaknya yang keren itu tertangkap kameranya.
"Ah... gambarnya...." Amy melihat gambar di layar kameranya dengan enggan. Sungguh ia ingin menghapus saja gambar itu saat itu juga dan membanting kamera dengan sekuat tenaga ke lantai.
"Apa yang kau lakukan, Op?" Jimmi menjauhkan diri dari gadis bermata sipit yang sedari tadi bersamanya itu.
"Hei, aku cuma... ingin kau tahu kalau aku masih menyukaimu, Jimm!" ujar Opheria berusaha mendekati Jimmi tapi cowok itu menghindar.
"Satu—kali saja, kan? Hasilnya... bagus," ucap Amy, berusaha untuk segera berpamitan pada sepasang kekasih yang tampaknya ribut itu. "Aku... ada kerjaan lain, oke? Sampai nanti."
Amy berlalu dari hadapan Jimmi dan Opheria. Sebisa mungkin ia menahan genangan di matanya agar tak keluar.
“Apaan, sih, ini semua? Bikin kesal saja!“ Amy menyeka ujung matanya kemudian berkedip berkali-kali demi menghilangkan kelebihan air di matanya.
Setelah yakin sudah berada cukup jauh dari Jimmi, Amy berhenti. Ia melihat sekitar lapangan yang sudah sangat ramai. Ia melirik gedung pertunjukan milik SMA Nuri cukup sepi, maka Amy melangkah ke sana dan duduk di anak tangga tersembunyi menuju lantai atas gedung.
"Katanya cinta, tapi malah gandengan sama cewek lain. Katanya gak mau ganggu lagi tapi selalu muncul di depanku! Bikin kesal saja!“ Amy menenggelamkan wajahnya di antara lutut. Ia tidak boleh menangis sekarang atau orang-orang bakal bertanya apa musabab matanya bengkak.
"Lho, Am, makan dulu!“ Lewis mengguncang tubuh Amy pelan.
Amy mengangkat kepala. "Sudah waktunya makan?"
"Ya. Ini aku mau makan," jawab Lewis mengangkat sebuah wadah plastik kotak mirip dengan kotak bekal anak TK. Hanya lebih besar.
"Bisa kau ambilkan untukku?"