Malam itu Amy belum juga tidur padahal sudah lewat pukul sebelas. Gadis itu malah senyum-senyum sendiri menatap langit-langit kamar. Rupanya Amy tengah mengingat-ingat pembicarannya dengan Jimmi tadi siang.
Sudah lama ia tidak bisa mengobrol sesantai dan sebebas itu dengan sahabat kakaknya itu. Hari ini mereka berdua berbicara dengan santai dan jujur seperti dulu, sebelum Amy tahu perasaan Jimmi. Gadis itu bisa membicarakan apapun sama seperti ketika ia berbicara dengan kakaknya.
"Kau mau jadi apa sebenarnya, Am?“
"Nanti juga kau tahu."
"Ck! Memang apa bedanya kalau aku tahu sekarang dan nanti?“
"Tidak ada." Amy menaikkan sebelah alis. "Tapi... akan kuberitahu kalau kau memberitahuku satu hal."
"Apa?" Jimmi mendekatkan wajahnya pada Amy yang langsung didorong kuat dengan tangan si gadis.
"Kau masuk jurusan apa? Di Universitas Cendekia banyak jurusan langka. M jelas akan mengambil jurusan astronomi. Kau?“ tanya Amy setelah memastikan jarak aman antara wajah Jimmi dengannya.
"Teknik...."
"Apa? Aku gak percaya. Paling tidak kau harus bilang kedokteran. Ibumu ingin kau seperti kakakmu, kan? Apa benar kau mau masuk teknik? Maksudku, harusnya kau pilih yang berbau sains... kan?“
"Biomedik."
"Eh?“
"Makanya kalau orang belum selesai ngomong jangan dipotong!“ Jimmi menjentikkan jarinya pada dahi Amy.
"Awww!“ Amy mengelus dahinya yang terasa panas. "Teknik biomedik?" Amy berpikir sejenak. "Semacam bikin lengan robot atau kaki robot yang bisa dipasang pada orang berkebutuhan khusus?“
"Itu salah satu pekerjaan orang-orang teknobiomedik. Keren, kan?“ Jimmi nyengir sembari membenarkan kerah kemejanya.
"Dih, sok keren!" cibir Amy. "Bukannya perlu banyak menguasai berbagai disiplin ilmu untuk jurusan itu?“
Jimmi mengangguk. "Kau sendiri mau jadi apa? Perawat? Kasihan nanti pasienmu malah tambah sakit dirawat orang macam ini!“ Jimmi tertawa puas.
"Ugh!“ Amy tak ragu memukul punggung Jimmi hingga cowok itu mengaduh kesakitan. "Aku mau masuk jurusan kriminologi."
Jimmi menoleh pada Amy. "It's suit you."
Sebuah reaksi yang tidak pernah Amy bayangkan. Gadis itu pikir Jimmi akan menertawakannya atau meledeknya atau semacamnya. Cowok itu malah hanya mengatakan satu kalimat dengan sebuah anggukan yang tiba-tiba membuat Amy yakin kalau ia juga harus bisa masuk jalur khusus.
"Tunggu! Kau mau masuk Universitas Cendekia juga?“ Jimmi berhenti melangkah dan menatap adik sahabatnya itu tidak percaya. Ia baru menyadari kalau jurusan itu juga ada di universitas tempatnya dan M akan belajar nanti.
"Oh? Kau peka kalau urusan begini, ya?“ Entah kenapa Amy mengingat lagi peristiwa di gedung pertunjukan SMA Nuri. Apakah cowok ini sudah mengerti dengan ucapan Amy saat itu? Tiba-tiba saja perasaannya menjadi tak karuan.
"Maksudnya gimana?“
Amy sedikit gelagapan. "Ya... m-maksudku... kau tahu hal-hal kecil seperti itu."
"Tentu saja. Aku sudah membaca hampir semua hal tentang Universitas Cendekia. Tapi... kau punya rencana cadangan, kan?“
Amy diam saja menatap Jimmi dengan sedikit kerutan di dahi.
"Kau harus punya itu. Untuk berjaga-jaga agar tidak depresi."
"Memangnya kau dan M punya rencana cadangan?" tanya Amy tak percaya. Sejak Jimmi dan kakaknya masuk SMA, Amy tidak terlalu peduli dengan hal-hal berbau pelajaran yang seringkali mereka bahas di kamar M.
"Tentu saja. M hampir menggunakannya. Padahal dia lolos seleksi."
Amy cemberut menyadari kalau rencana cadangan M berkaitan dengan dirinya. Tepatnya, rencana itu berpusat padanya. "M bodoh!" gumam Amy.