He Is Not My Brother

Keita Puspa
Chapter #51

Dissapointed

Hari-hari begitu cepat berlalu bagi orang-orang yang tidak menantikan apapun di masa depan. Musim kemarau tahun ini Amy telah duduk di kelas XII. Hari-hari tidak pernah begitu singkat untuk gadis itu. Amy terus berjuang untuk mendapatkan nilai-nilai bagus di setiap mata pelajaran. Ia ingin menjadi seorang kriminolog dan tekadnya sudah bulat. 

Amy menantikan hari-harinya kembali bersama kakaknya, juga bersama Jimmi. Sebenarnya itu bukan tujuan utamanya. Ia memang ingin kembali bersama dua orang yang disayanginya tetapi Amy cukup dewasa untuk menentukan prioritasnya. Gadis itu telah berjuang keras sepanjang semester untuk mencapai cita-citanya. Amy menantikan hari dimana ia bisa menebak motif seorang penjahat dengan tepat, atau menyusun kronologi sebuah kejahatan. Paling jelek ia bisa jadi seorang jurnalis yang meliput kejahatan. 

"Am, kita belajar bersama lagi hari ini?“ tanya Lewis yang mendadak rajin belajar sejak naik kelas XII. 

"Kayaknya gak bisa. Aku mau latihan karate," jawab Amy yang serius membaca buku sambil mengunyah keripik kentang dengan berisik. 

"Kenapa kau gak berhenti aja? Kita sebentar lagi tidak diperbolehkan ikut klub apapun," ujar Lewis sembari mengambil keripik kentang Amy. 

"Itu masalahnya. Sebelum kegiatan klub tidak diperbolehkan, aku mau ganti sabuk." 

"Lagi?“ tanya Lewis heran. 

Amy menutup buku dan menatap Lewis, kemudian ia mengangguk. "Ya. Aku mau sabuk hitam," ujarnya mantap. 

"Kau jadi ambisius sekali, sih...."

"Tidak ada yang salah dengan itu, kan?“ Amy meraba kantong keripiknya. Kosong. Ia menoleh pada Lewis yang kedua tangannya telah dipenuhi keripik kentang. "Ck! Beli sendiri, dong, Lew!“ Kemudian ia merogoh tasnya dan mengeluarkan sebatang cokelat yang didapatkannya dari Zack. Cowok itu masih menjadi gudang tempat Amy mendapatkan cokelat-cokelat lezat. 

Lewis hanya terkekeh kemudian ia melambaikan tangan dan pergi ke luar kelas.  

"Am!“ 

Amy sudah tahu benar suara siapa itu. Ia melihat Zack yang sudah pasti duduk di bangku depan, tengah melihatnya dan sebentar lagi pasti meminta tolong. 

"Tolong aku. Bantu bikin pidato akhir masa jabatan, ya?"

Nah, kan! 

Amy memasukkan satu bar cokelat yang tersisa ke dalam mulutnya. Gadis itu menaikkan sebelah alis. 

"Kau mau berapa cokelat?“ tanya Zack. Cowok itu paham kalau Amy lebih mudah disogok makanan manis. 

Amy tidak menjawab. Ia mengunyah cokelatnya santai. 

"Lima batang cokelat Silverking big size?“ Zack tidak melihat perubahan ekspresi dari teman sekelasnya itu. "Plus dua liter jus jambu."

Amy buru-buru menyalami Zack. "Deal," katanya. 

Zack mengembuskan napas pelan. "Di perpustakaan umum, jam tiga?“

"Ah!" Amy menepuk jidat. "Hari ini gak bisa. Besok saja di rumahk—Larry." Amy hampir mengakui kalau rumah yang ditinggalinya sekarang itu adalah rumahnya. 

"Oke." Zack berbalik kemudian ia merogoh sesuatu di tasnya. Dua batang cokelat ukuran besar diraihnya kemudian diserahkan pada Amy. "Itu uang mukanya," ujar Zack. Kemudian cowok itu pergi meninggalkan Amy. 

"Trims." Amy menyeringai. Ia merapikan cokelat itu ke dalam tas kemudian kembali membaca buku seolah tidak ada yang terjadi. 


§§§


Am, aku minta maaf. Aku dan M tidak bisa pulang liburan semester ini. Kami sedang mengerjakan proyek sains kampus dan itu tidak bisa kami tinggalkan begitu saja. Aku sangat menyesal. Semoga kau mengerti. 


Yang merindukanmu, 

Jimmi


Amy melempar ponselnya ke kasur kemudian ia ikut melompat ke sana. Diraihnya guling yang tergeletak kemudian dipukulnya berkali-kali sampai isinya bertebaran. Gadis itu terengah-engah. Sekarang rasa kesalnya mulai mereda. 

Di lemari belajarnya terpajang foto Amy bersama M dan Jimmi yang tengah mencium pipinya. Ia meraih foto itu dengan gusar. 

"Jadi, proyek sains kalian lebih penting, he?" gumam Amy seraya mengguncang-guncang foto dengan bingkai kayu cokelat muda itu. "Kalian sudah janji akan pulang, kan?" 

Amy melempar foto itu, lagi-lagi ke kasur. Ia tak sampai hati nemecahkan foto kenangan saat M dan Jimmi lulus itu. 

"Aaarrrggghhh!!!“

Amy terduduk lemas di lantai yang beralaskan karpet. Kemudian perlahan ia memerosotkan diri untuk berbaring. 

"Amy?! Kau tak apa?“ terdengar teriakan ibu Jimmi dari luar. 

Amy refleks bangkit. Ia menyingkirkan guling beserta isinya yang amburadul ke samping ranjang. Tak lama terdengar ketukan di pintu. 

"Amy, kau baik-baik saja?"

Amy merapikan rambut dan bajunya sebelum membuka pintu kamar. "Ya, kenapa, Bi?" 

Mrs. Larry menatap Amy kemudian mengedarkan pandangan ke seantero kamar. "Kenapa kau berteriak?" 

"Ah... tadi kupikir ada kecoa di bawah meja belajar, ternyata bukan," jawab Amy dengan karangan fiksi buatannya. 

"Oh, begitu. Bikin kaget saja."

"Maaf, Bi."

"Ya, sudah. Ayo lekas sarapan!“ ajak Mrs. Larry. 

"Sebentar lagi, Bi. Aku belum membereskan buku-buku."

Lihat selengkapnya