He Is Not My Brother

Keita Puspa
Chapter #53

Too Easy To Forgive

Di lapangan sepak bola yang hijau itu terlihat anak-anak lelaki bermain bola. Usia mereka sekitar 9 sampai 12 tahun. Anak-anak itu berlarian mengejar si kulit bundar kemudian berlomba memasukkan bola ke gawang lawan. 

Amy duduk di pinggir lapangan. Menyaksikan anak-anak lelaki itu di bawah terik matahari dengan mata yang masih sembab. Jumper-nya telah tersampir di bahu. Tangannya lecet akibat bergesekan langsung dengan rumput liar di rumahnya. 

Gadis itu berpikir mungkin lebih baik jika ia tinggal lagi di rumahnya selepas SMA nanti. Ia bisa bekerja sebagai pegawai toko atau mengurus ladang orang. Ia cukup ahli berkebun. 

Setelah rencana utamanya gagal total, ribuan ide menghadapi masa depan menyerbunya. Amy memang kecewa karena telah gagal tetapi bukan berarti ia tidak bisa menjalani hidup lagi. Ia telah melalui satu setengah tahun hidup paling mengerikan sepanjang hidupnya. Menjalani hari-hari tanpa kakak laki-lakinya. 

Jika ia bisa bertahan selama satu setengah tahun, ia bisa saja menjalaninya selamanya. Amy sudah siap dengan hal itu, hanya saja ia belum mau. Masa-masa bersama M terlalu berarti sehingga ia masih berharap bisa kembali bersama kakaknya. 

"Kak, maaf... bisakah bolanya kautendang kemari?“ teriak salah seorang anak lelaki yang tengah bermain bola. 

"Ya?" Amy memperhatikan sekeliling dan baru menyadari kalau ada sebuah benda bulat menggelinding lambat kemudian berhenti tepat di depannya. 

Amy mengambil bola itu kemudian hendak dilemparnya keras-keras. 

"Kak, kau mau bermain bersama kami? Tim kami kurang dua orang."

"Eh?" Amy menatap anak lelaki dengan pakaian yang telah dipenuhi debu dan noda itu. "Bukankah kalian bermain enam orang enam orang?" katanya. Amy memang sempat menghitung jumlah anak-anak itu. 

"Tidak. Kami hanya berlima. Dua teman kami tidak datang," jawab anak lelaki berkulit sawo matang itu. "Kalau kami kalah, kami tidak boleh bermain lagi di sini satu bulan."

"Kalau aku tidak mau main, bagaimana?" tanya Amy. Ditahannya tangan untuk melemparkan bola yang sedari tadi ia pegang. 

"Tidak apa-apa. Kami tidak memaksa. Lagipula, kami punya rencana cadangan." Anak itu merebut bola dari tangan Amy kemudian berlari segera ke tengah lapangan. 

Rencana cadangan? Plan B? 

Amy merebahkan diri di rerumputan. Direntangkan tangannya kemudian ia menatap langit biru yang luas berhiaskan serabut awan tipis. Ia selalu merasakan sensasi terbang ketika melakukan hal itu. Seolah tubuhnya terangkat dari tanah kemudian terapung di antara langit dan bumi. 

Tiba-tiba Amy mendengar suara langkah kaki cepat menuju ke arahnya. Paling anak-anak itu lagi, pikirnya. 

"Kau di situ?" Wajah khawatir itu menatap Amy dengan napas pendek-pendek.

Amy meliriknya kemudian kembali menatap langit yang cerah. Matahari bersinar tepat di atas kepala. Jika bukan karena topinya, mata Amy mungkin sudah terbakar. 

"Kami mencarimu di rumahmu tetapi tidak ada siapa-siapa," kata orang yang tidak lain adalah Jimmi itu. 

Tidak ada sahutan dari gadis itu. Maka Jimmi membaringkan diri di samping Amy. Ia tahu gadis itu masih marah padanya. 

"Aku minta maaf," kata Jimmi. Diliriknya Amy yang masih memandang langit. "Harusnya aku pulang semester lalu. Harusnya—" 

"Tidak apa. Itu semua sudah lewat," potong Amy. Wajahnya masih lurus memandangi gerakan halus awan di udara. 

"Kau memaafkanku?“

Wajah Amy bergerak. Ia memandang Jimmi dan sedikit terkejut mendapati mata cokelat itu tengah memperhatikannya. "Ya," ujarnya setelah bisa menguasai diri dari hipnotis mata itu. "Aku memaafkan kalian. Kau dan M." Senyum merekah dari bibir Amy yang kering. 

Angin sepoi meniup rambut keduanya yang tengah berbaring, juga di hati Jimmi. Sudah lama sekali ia tidak melihat senyuman itu dari wajah Amy. Senyum yang bahkan lebih mempesona dari yang Jimmi ingat. 

"Jimm...."

Lihat selengkapnya