He Is Not My Brother

Keita Puspa
Chapter #54

Faith

Hal yang mengganjal hati Jimmi dan M terungkap sudah. Sekarang mereka tahu kenapa Amy dengan mudahnya memaafkan mereka. Juga alasan kenapa gadis itu masih giat belajar. 

Amy bertekad untuk masuk Universitas Cerdas. Sebuah perguruan tinggi swasta yang memiliki jurusan kriminologi. Namun, letaknya di utara kota kecil mereka, sementara Jimmi dan M berada jauh ke selatan kota ini. Jarak kota Zafon dan Xenter kurang lebih tiga ratus kilometer. Lebih jauh 170 km dari jarak kota kecil mereka dengan kota Zafon—tempat Universitas Cendekia berada. 

Kecemasan dua cowok itu jelas tergambar di wajah mereka. Mereka merencanakan rencana B yang menyenangkan bagi mereka tetapi Amy malah menyodorkan plot twist. Yang lebih menyakitkan, mereka tahu kalau Amy tidak bisa dibujuk. 

"Dia seserius itu untuk menjadi kriminolog? Aku tidak percaya," ucap M ketika ia dan Jimmi hendak tidur di kamar bawah. 

Jimmi diam saja, terlentang menatap langit-langit kamar. Ia telah berbicara pada Amy. Membujuknya, bahkan memohon agar ia melanjutkan studi di kota Zafon saja. Akan tetapi, pacarnya itu tetap bergeming dengan keputusannya. Membuat cowok itu frustrasi setengah mati. 

"Kau tahu dari awal kalau aku akan melakukan ini, kan?“

Mata Jimmi membulat mendengar pertanyaan Amy itu. Mengingatkannya pada peristiwa beberapa hari lalu. 

"Ibuku yang memberitahumu, kan?“

"Ba-bagaimana...." Jimmi terlalu terkejut dengan kata-kata itu. Anne memang memberitahunya kalau suatu hari Amy sendiri yang akan memutuskan untuk hidup mandiri. 

"Aku bertemu dengannya, Jimm. Kemarin aku melihat mata cokelatnya yang hangat, rambut hitamnya yang tergerai indah serta bibirnya yang manis meski berwarna pucat. Akhirnya aku melihatnya lagi," kata Amy yang memandang Jimmi dengan mata telah basah. "Dia menceritakan semuanya. Dia memelukku. Benar-benar terasa nyata." Amy tersenyum dengan lelehan air mata yang terus mengalir. 

Jimmi memeluk gadis itu. Tahu kalau rasa rindu Amy tidak akan terbayar dengan satu pelukan Anne. 

"Dia bilang itu yang terakhir. Dia bilang, dia akan pergi selamanya, Jimm." Tubuh Amy mulai bergetar. "Kenapa? Setelah belasan tahun ia muncul hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Harusnya dia tidak usah muncul saja di hadapanku!“ Amy meraung dan mengguncang tubuh Jimmi. Melampiaskan kekecewaan dan kesedihannya pada cowok jangkung itu. 

Jimmi tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dadanya juga ikut merasa sesak melihat Amy yang lagi-lagi kehilangan. Ia hanya mampu terus memeluk tubuh kecil Amy hingga gadis itu perlahan tenang. 

Langit-langit kamar tiba-tiba menjadi gelap. Jimmi baru menyadari kalau M telah berbaring di sampingnya dan mematikan lampu kamar. Jimmi tiba-tiba penasaran apakah M juga telah melihat Anne. Ibu Amy itu pernah bilang kalau ia akan menghilang selamanya setelah menunjukkan diri pada Amy dan M. 

"Marsh, kau sudah tidur?" tanya Jimmi. 

"Belum. Kenapa?“ jawab M dengan mata terpejam. 

"Apa kau pernah melihat ibumu? Maksudku baru-baru ini."

Tidak ada jawaban dari M. Waktu terasa berhenti dan Jimmi menoleh menatap sahabatnya. 

"Aku melihatnya ketika kita berangkat ke Zafon pertama kali," ucap M akhirnya. "Apa kau melihatnya lagi?" 

Jimmi tahu pasti Anne juga telah menceritakan semuanya. "Tidak," jawabnya. 

"Dia bilang akan pergi selamanya."

"Ya."

Kemudian keheningan kembali tercipta. Tidak ada lagi yang berbicara hingga akhirnya keduanya terlelap di bawah cahaya lampu tidur. 


§§§

Lihat selengkapnya