Laki-laki yang rambutnya sebagian sudah memutih itu menatap seorang perempuan muda yang cukup cantik di depannya dengan tatapan sayu. Meski begitu, gadis di depannya sama sekali tidak goyah. Ia tetap berdiri dengan tangan menyilang di depan dada. Sementara wajahnya menatap dengan angkuh.
"Ayah mohon Anjani, umur Ayah sudah tua." Lelaki tua itu kembali memohon, entah untuk kesekian kali.
"Tapi Ayah, aku tidak suka padanya," ucap Anjani dengan lantang. "Dia kolot, lihat saja cara berpakaiannya. Aku tidak akan pernah mau menikah dengannya." Tegas si perempuan muda.
Prang
Bunyi gelas pecah membuat Ayah dengan anak itu terdiam seketika. Keduanya menoleh ke asal suara.
"Ma..maaf, akan aku bereskan." Arfan membenarkan letak kacamatanya kemudian menunduk dan mulai membersihkan gelas kaca yang berserakan. Namun dua kaki mulus berbalut sendal rumahan yang berdiri tepat di depannya membuat Arfan seketika mendongak untuk melihat sosok si pemilik kaki itu.
"Dengar Arfan! Meski kamu anak didik kesayangan Ayah. Sampai kapanpun, AKU TIDAK AKAN MAU MENIKAH DENGANMU."
"ANJANI!"
Anjani melangkah keluar rumah dengan menghentakkan kaki tanpa menoleh lagi pada Ayahnya. Arfan yang melihat hal itu hanya bisa menundukkan kepala sembari tetap membereskan pecahan kaca yang berserakan di lantai.
Bukan sekali dua kali Anjani menolaknya dengan keras seperti itu. Bahkan sudah berpuluh-puluh kali semenjak Ayahnya meminta Anjani untuk menikah dengan Arfan.
Arfan tidak bisa memungkiri, dari dulu Anjani selalu cantik dimatanya. Dan dia jatuh cinta. Entah sejak kapan tepatnya. Mungkin sejak pertama kali ia mengenal Pak Haris, Ayah Anjani. Yang jelas rasa itu masih ada walau Anjani memperlakukannya dengan sangat kasar.
"Maafkan Anjani Arfan. Dia...dia sebenarnya gadis yang baik. Hanya saja, sedikit keras kepala dan hahh... hahh." Pak Haris memegangi dadanya, ada rasa sesak disana. Arfan yang melihat itu segera menopang tubuh Pak Haris yang limbung.
"Bapak tenanglah, jangan berbicara dahulu. Duduklah, Arfan akan ambilkan minum buat Bapak." Arfan tergesa kembali ke dapur untuk mengambil segelas air lagi setelah mendudukkan Pak Haris. Karena air yang dibawanya tadi tidak sengaja dia jatuhkan.
Ayah Anjani berulangkali mengurut dadanya. Rasanya sangat sesak, hingga nafasnya hanya tinggal satu-satu.
"Minum Pak!" Arfan menyodorkan segelas air ke hadapan Ayah Anjani.
"Arfan, jika nanti Bapak tiada tolong jaga Anjani."
"Bapak bicara apa? Sudah, sekarang istirahat dulu."
"Kamu orang baik Nak, Bapak merasa waktu yang Bapak punya tinggal sedikit. Membesarkan anak seperti Anjani butuh kesabaran yang tinggi. Dan Bapak tahu hanya Arfan yang bisa." Ayah Anjani menggenggam erat kedua tangan Arfan, "kamu mau jagain dia buat Bapak kan?"