Sinar mentari pagi menyusup dari balik jendela kamar Anjani. Karena silaunya membuat Anjani terbangun. Ia membuka mata dan melihat sekelilingnya. Masih sama, padahal ia berharap kedatangannya kerumah ini adalah mimpi.
Untuk pertama kalinya semenjak ia menginjakkan kaki ke rumah ini. Anjani membuka pintu kamarnya. Selain karena perutnya yang sudah keroncongan. Anjani juga harus buang hajat. Karena kamar mandi tidak terletak di kamarnya. Melainkan di kamar belakang.
Begitu keluar dari kamar, aroma pewangi lantai menyerbu masuk ke indra penciumannya. Apalagi saat ia beranjak pergi ke dapur. Sepiring nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi terhidang dengan rapi di atas meja. Di sampingnya sebuah memo tergeletak ditumpuk dengan sendok.
Penasaran Anjani mengambilnya.
Aku sudah memasak makanan untukmu, makanlah Anjani! Dari kemarin kamu belum makan.
Srak... srak...
Penuh emosi Anjani mengoyak kertas memo tersebut. Ia jatuh terduduk dengan kepala tertangkup di atas lutut.
"Bersikaplah tidak baik padaku Arfan. Aku benci dengan sifatmu yang sok peduli." Tangis Anjani tumpah, matanya telah basah oleh bulir-bulir air mata.
Ting... tong...
Bel rumahnya berbunyi. Anjani mendongak, mengusap kedua belah matanya. Ia bangkit, beranjak pergi ke ruang depan meski air matanya masih mengalir.
"Siapa?"
"Anjani? Apa yang terjadi?"
Sosok di depan Anjani merangsek masuk ke dalam rumah begitu sang empunya membuka pintu. Mengusap kedua belah pipi gadis itu dengan lembut.
"Ri," lirih Anjani sembari menatap sahabatnya itu. Matanya berkaca-kaca, menahan tangis yang hendak tumpah.
"Kamu habis nangis?" Tanya Riri khawatir.
"Ri." Anjani menghambur ke pelukan sahabatnya. Ia menangis hingga terisak. Membuat dahi Riri berkerut. Namun ia tidak bertanya apa-apa. Hanya membalas pelukan Anjani lebih erat lagi.
"Tenanglah."
"Bawa aku pergi Ri, kemana saja. Asal tidak di sini."
"Tenanglah Anjani, ayo kita duduk dulu."
"Tidak Ri, tolong bawalah aku pergi. Aku tidak bisa hidup dengan orang yang tidak kucintai."
"Jadi berita itu benar? Kamu sudah menikah." Riri melepas pelukannya. Menatap wajah Anjani yang memerah.
"Iya." Anjani mengangguk.
"Ayo, kita duduk dulu! Tidak baik memutuskan sesuatu kala sedang sedih atau emosi." Gadis berjilbab itu menuntun Anjani duduk di ruang tamu.
"Tenanglah, tarik nafasmu. Ceritakan kalau kamu sudah siap." Riri mengusap-usap punggung sahabatnya itu.