“Sayang, kamu katanya sakit?”
Suara bariton itu membuat aku terpaksa mengalihkan perhatian dari tablet yang tengah aku pegang.
Senyumku merekah kala aku mendapati laki-laki tampan dengan tubuh tegap, kini berdiri di ambang pintu kamar disertai napas memburu, seolah dia baru saja berlarian karena dikejar sesuatu. Dia pasti panik karena ibu yang mengabari aku tiba-tiba pingsan.
“Kepalanya sakit lagi? Udah aku bilang, kan, jangan kebanyakan main ponsel,” ujarnya sambil berjalan ke arahku dengan wajah khawatir.
Tak butuh waktu lama dia pun langsung mengambil tablet di tanganku dan meletakkannya di atas nakas, lalu mengecup kening dan duduk tepat di samping aku berbaring.
“Habis aku mau ngapain lagi? Kan kerjaan aku menulis, cuman ini satu-satunya hal yang bisa mengalihkan rasa sepi aku saat kamu nggak ada.”
Mendengar aku mengatakan itu, Naren pun menghela napas. Mata teduhnya menatap aku lama sebelum akhirnya dia ikut naik ke ranjang dan berbaring tepat di sampingku. Tak lupa dia melingkarkan lengannya ke pinggangku yang masih dalam posisi setengah berbaring sambil menyandarkan punggung ke ranjang.
“Jangan over thinking karena ucapan orang. Aku udah sering bilang, kan? Meski pada akhirnya kita hanya akan hidup berdua, perasaan aku ke kamu nggak akan pernah berubah.” Setelah mengatakan itu tanpa menatapku, Naren pun mengeratkan pelukannya di pinggang, seolah ingin meyakinkan bahwa dia akan selalu ada di sisi ku.