Di tengah pikiran kacau, suara gaduh terdengar dari arah luar dinding pembatas. Aku menengadah dan mendapati seorang cowok tampak hendak melompat dari atas tembok.
"Hey ... kamu baru masuk, ya!" aku refleks mengatakan kalimat itu masih dengan posisi berjongkok. Jiwa ingin tahuku memang selalu tak tahu kondisi, untuk apa menanyakan hal tak penting itu di saat keadaan kamu sendiri sedang kacau Ara. Aku merutuki diri sendiri.
"Sst ... diem!" jawab cowok itu sambil menempelkan satu jari telunjuknya ke depan bibir, lalu menengok kanan dan kiri seakan memastikan ada guru atau tidak. Tak butuh waktu lama dia pun melompat dari atas tembok. Aku refleks mundur ke belakang dari pada harus tertimpa tubuh besar cowok itu.
"Hah, akhirnya bisa masuk juga," gumamnya sambil tersenyum puas, lalu bangkit dan menepuk kedua tangannya yang kotor.
Sedangkan aku hanya memperhatikan tingkahnya dari posisi semula. Aku yakin dia pasti junior di sini, dilihat dari seragam batiknya yang berbeda denganku.
"Cih ... baru kelas sepuluh aja udah hobi bolos, mau jadi apa?" cibirku.
"Kamu ngomong sama aku?" Cowok itu menunjuk dirinya sendiri.
"Bukan, sama kucing lewat ... tuh," aku menunjuk seekor kucing oranye yang kebetulan berada di belakang kami.
Cowok itu pun mengikuti arah pandangku lalu berdecak kesal.
"Kalau gitu aku duluan, jangan bilang guru kalau aku lompat lewat sini. Habis pak satpam nggak mau bukain pintu. Oh ya ... jangan melamun di sini sendirian, denger-denger di bekas toilet itu suka ada suara cewek nangis juga. Takutnya nan-"
"Nggak usah ngarang deh!" Aku refleks bangkit dan beringsut ke arah cowok berpotongan rambut under cut ini karena kaget dan takut. Namun, suara tawa tertahan justru keluar dari bibirnya.
"Kamu ngerjain aku? Resek ya dasar!" Aku merajuk dan memukul bahunya dengan keras kala sadar baru saja ditipu olehnya. Tapi cowok dengan hidung mancung di depanku justru semakin kencang tertawa.
"Lagian kamu polos banget ... gampang dibohongi."
Mendengar kalimat itu, aku kembali teringat bagaimana Davin membohongi aku sampai separah ini. Aku pun menundukkan kepala, sedang mataku kembali memanas. Dia benar, aku memang terlalu naif dan mudah diperdaya.
"Hei ... kamu nangis beneran?" Cowok di depanku terdengar panik. Dia pun menunduk seolah hendak memastikan keadaanku.
"Sorry ... sorry ... aku nggak bermaksud un-"
"Naren, ke sini kamu! Kamu pikir kamu bisa kabur dari Bapak!" teriakan marah tersebut berhasil memotong kalimat cowok bernama Naren.