"Dasar cowok brengsek! Aku bilang juga apa, dia pasti cuman mau manfaatin kamu doang, Ra." Gea berbicara dengan menggebu-gebu setelah aku menceritakan tentang Davin. Saat ini aku, Gea dan dua sahabatku yang lain masih berada di sekolah walau keadaan sudah sepi karena murid lain sudah pulang.
"Sudahlah jangan marahin Ara terus, Ge, maklum aja, sahabat kita yang satu ini, kan, emang masih terlalu naif, beda sama kita yang udah makan asam garam percintaan," timpal Fany.
"Betul!" Gea menyetujui dengan bangga, keduanya pun saling bertos ria.
"Halah, orang kamu aja masih setia nunggu mantan kamu, kan? si Arya ... pake sok-sokan bilang pengalaman, padahal pacarmu dari dulu cuman mentok dia-dia mulu."
Kali ini aku tak bisa menyembunyikan tawa setelah mendengar ucapan Syifa yang begitu menohok.
"Bener banget, putus berkali-kali aku pikir bakalan dapat cowok baru, tahunya balik lagi sama Arya," timpal ku lalu tertawa lagi. Aku dan Syifa merasa sangat puas. Bahkan Fany pun akhirnya ikut tertawa, sedang Gea semakin menekuk wajahnya.
"Iya deh iya ... aku mengaku kalau aku memang bucin sama Arya, puas kalian pada!" seru Gea dengan bibir maju ke depan. Kalimat yang dia lontarkan tak ayal membuat aku dan yang lain kembali tertawa.
"Gea, aku ambil motor dulu!" Suara panggilan itu menghentikan obrolan kami. Dari jauh aku melihat sosok Arya tengah melambai pada Gea. Lalu tak berapa lama cowok dengan mata sipit itu benar-benar terlihat berjalan mendekati motornya yang terparkir di depan kantor guru.
Dari yang aku tahu, Gea dan Arya memang sudah berpacaran sejak mereka duduk di bangku kelas sembilan sekolah menengah pertama. Kadang terbesit rasa iri di hatiku pada hubungan mereka. Meski sering putus-nyambung, aku tahu baik Gea atau Arya mereka sama-sama saling menjaga dan setia. Padahal kalau orang bilang keduanya hanya tengah berada di fase cinta monyet. Tidak ada yang tahu kedepannya mereka akan berjodoh atau tidak, mengingat masa depan kami masih panjang dan belum pasti.
"Eh ... beneran balikan?"
Mendengar pertanyaan Syifa, Gea tak bisa menyembunyikan rasa bahagia. Gadis berwajah manis itu mengangguk dengan senyum tak lepas dari bibir.
"Kamu pulang bareng dia? terus aku gimana?" aku sedikit merajuk karena biasanya kami selalu pulang bersama.
"Belajar mandiri, jangan ngikutin aku mulu. Kemarin juga kamu ninggalin aku, anggap aja kita impas."
Mendengar ucapan Gea, aku memajukan bibir kesal. Pasalnya Syifa dan Fany berbeda arah pulang denganku. "Tapi janji, ya, bantuin aku ngomong sama ibu soal masalah sama guru BK." Aku sedikit memaksa, karena memang Gea satu-satunya orang yang bisa membantuku bicara dengan ibu tanpa perlu dimarahi panjang lebar.
"Iya bawel ... udah, ya, aku duluan," pamit Gea, lalu dia berlari kecil menghampiri Arya yang sudah menunggunya di depan gerbang.
Tak berapa lama setelah Gea pergi, dari jauh aku melihat Naren berjalan keluar dari arah kelasnya. "Hah ... itu bukanya dia?" gumamku tanpa sadar.
"Siapa?" tanya Syifa dan Fany sambil mengikuti arah pandangku.