"Awas aja kamu, ya, kalau sampai bolos pelajaran lagi, ingat ... kamu itu udah mau ujian. Wali kelas juga tadi bilang kalau nilai pelajaran kamu turun drastis, makanya ibu disuruh ke sini. Ibu benar-benar akan potong uang jajan kamu kalau diulangi!" Ibu kembali mengomeli aku usai kami keluar dari ruang BK.
"Iya, Ibu ... udah dibilang Pak Ega itu salah paham. Cerita sebenernya nggak gitu, Ara bolos bukan karena mau pa-" kalimatku terhenti, ketika melihat beberapa anak kelas sebelas yang kemarin ikut rusuh dengan anak sekolah lain kini tengah diberi arahan, mereka juga didampingi orang tua masing-masing.
Aku memindai semua murid di sana untuk mencari keberadaan Naren, tapi bocah itu tak terlihat batang hidungnya. Sangking fokusnya aku, sampai abai dengan kemarahan ibu sedari tadi. Tak berapa lama aku menemukan Naren tengah berlari mengitari lapangan basket sendirian. Aku memusatkan perhatian padanya yang beberapa kali tampak mengusap peluh di dahi.
"Ara, kamu dengerin Ibu ngomong nggak, sih?”
Suara ibu kembali menyadarkan aku dari lamunan. "I-iya ... Ara dengar, Bu, Ara janji nggak akan bolos pelajaran lagi. Kalau gitu Ara ke kelas dulu, ibu pulang sana!" aku berkata sambil mendorong bahu ibu agar lekas beranjak.
"Ya udah, Ibu pulang ... tapi ingat nasihat tadi, jangan ulangi lagi kesalahan yang sama, atau Ibu nggak akan mengizinkan kamu lanjut kuliah," ancam Ibu tak main-main.
Wanita paling aku sayangi ini memang sangat protektif dan tegas pada anak-anaknya, bahkan dari Bapak sekalipun. Terkadang aku merasa sedikit terkekang dengan perlakuan Ibu dan aturan-aturannya untukku. Aku ingin protes tapi belum memiliki keberanian. Mungkin kapan-kapan akan aku bicarakan baik-baik.
"Iya ... iya, bawel ... Ara janji!" Aku kembali mendorong pelan Ibu agar lekas pergi, karena ingin cepat-cepat menemui Naren.
Entah kenapa melihat hanya Naren yang orang tuanya tak datang, aku kembali dibuat penasaran. Langkah kaki ini tanpa sadar membawaku mendekat ke arah bocah itu. Di mana dia masih berlari mengelilingi lapangan.
"Kamu ngapain berdiri di situ liatin aku? Nanti dikira Pak Ega kita lagi pacaran." Tiba-tiba Naren berkata tanpa menghentikan larinya.
"Hah ... aku ... itu," Tanpa sadar aku meracau karena gugup, ternyata dari tadi Naren menyadari keberadaan ku. Aku pun memutar pandangan ke arah ruang BK untuk memastikan Pak Ega melihat kami atau tidak.
"Kenapa kamu nggak ikut ke sana? Terus orang tua kamu mana?" Akhirnya aku menyuarakan rasa penasaran di hati.
Naren tak langsung menjawab, cowok dengan kulit kuning langsat itu memutar arah larinya lalu berhenti tepat di depanku. Mata kami kembali saling beradu.
"Kamu kenapa suka banget ikut campur urusan orang? Penting gitu kamu tahu?" ujarnya sambil berlalu melewati aku, kemudian menjatuhkan diri di bangku, dekat lapangan basket. Naren tampak lelah dan kepanasan, bajunya pun sudah basah terkena keringat.
Aku berdecak dan mengikutinya dari belakang. "Ck, tinggal jawab aja apa susahnya, sih."
"Emang kita seakrab itu sampai aku harus menceritakan masalah pribadi sama kamu? Kita ini cuman orang asing." Ada jeda sejenak setelah Naren mengatakan itu. Tanpa membiarkan aku membalas ucapannya, tiba-tiba cowok itu bangkit dan berdiri tepat di depanku, karena posisiku memang masih berdiri saat bicara dengannya.
"Atau jangan-jangan kamu tertarik mau jadi pacar aku beneran?" sambungnya sambil menatap lurus ke mataku.
Jarak kami yang terlalu dekat lagi-lagi menimbulkan sensasi aneh dalam hati. Aku tanpa sadar meremas tangan yang ada di sisi tubuh, karena mendadak merasa sangat gugup.
"Nggak usah kepedean, deh!" Aku menjawab lantang, bahkan nyaris seperti berteriak karena suaraku memang cempreng dan kencang.
Alhasil aku pun langsung membekap mulut karena mendapati beberapa murid yang lewat, bahkan Pak Ega dan semua yang ada di depan ruang BK ikut menengok ke arah kami. Saat itu lah aku melihat Naren menahan tawanya.