Sudah pukul 5 di jam tangan G-Shock hitam Jeje, tetapi kini dia masih betah di warung Titi. Lelaki yang selalu memakai gelang rajutan asli dari Lombok itu, cukup nyaman membaca tugas rangkuman Fisika kemudian menyalin ke buku catatan nya sambil memandangi Titi yang sibuk melayani pelanggan yang datang silih berganti.
Lain hal dengan Ijal, kini dia disibukkan dengan menyusun keranjang berisi potongan-potongan ayam kemudian memasukkannya ke dalam mobil untuk diantar ke pelanggan Ibu Lani. Adik bungsu mama. Bisa dibilang Ibu Lani adalah ibu kedua untuk Ijal. Sedari kecil dia sudah diasuh oleh wanita yang sudah berumur 37 tahun itu, saat ibunya pergi bekerja.
Kedua orangtua Ijal memang bekerja keras sejak mereka masih muda. Keduanya tidak memasuki perguruan tinggi, tetapi mereka sudah memulai bekerja setelah mereka lulus SMA. Lalu mereka menikah dan Ijal lahir, mereka masih bekerja. Terutama bundi Ijal. Panggilan spesial Ijal untuk Ibunya. Saat itu bundi masih menyusui Ijal yang masih berusia dua bulan. Bundi harus menitipkannya pada Bu Lani yang masih berstatus mahasiswa semester dua. Bundi bekerja sebagai staf di salah satu perusahaan swasta. Begitu juga Ayah.
Waktu itu Ijal tumbuh lebih banyak bersama Ibu Lani. Kini wanita cantik itu sudah ditinggal meninggal oleh suaminya. Dia tidak memiliki anak tetapi, dia menyembuhkan diri untuk berbisnis daripada bekerja untuk orang lain. Ibu memiliki rumah yang bertingkat 3 dengan pilar tuscan dilengkapi kolam ikan 60 ekor, kolam renang dan kebun sayuran di belakang rumah dari hasil bisnis kuliner yang dia jalani selama 12 tahun.
Bener banget, tidak hanya supplier ayam untuk warung makan, wanita berambut sebahu itu juga membuka warung ayam geprek yang sudah buka belasan cabang di setiap sudut kota. Alhasil dia juga memiliki beberapa mobil di garasinya. Tak heran Ijal sudah mahir menyetir Pajero Sport berwarna putih disaat usianya masih 16 tahun. Ibu Lani sendiri lebih suka mengendarai Toyota Hilux. Iya, mobilnya om-om macho. Hihi. Bukan nggak mampu beli mobil sport coupe 2 pintu. Tetapi emang bukan style ibu.
Kini sudah pukul 5.10 sore. Ijal harus bergegas mengantarkan pesanan calon mertua alias Mama Titi. Ibu Lani juga sudah mengomel dari tadi.
"Mana Ijal, Ron?" tanya Ibu Lani pada Roni, salah satu karyawan yang bertubuh besar.
"Sepertinya sedang mempersiapkan pesanan Ibu Pipi, Bu." Roni menyahut dengan medoknya.
"Belum siap juga?!" Ibu Lani mengerutkan dahi.
"Lama amat dandannya, mau nganter ayam doang, kayak mau ketemu calon mertua." Ibu Lani nyeleneh melihat Ijal yang akhirnya muncul dengan kemeja tangan panjang dan sendal yang baru dia beli Sabtu lalu.
"Bukan ketemu calon mertua Bu, tapi mau ketemu mertua." Ijal menjawab dengan percaya diri.
"Amiiin. Semoga cepat bisa dibawa kerumah ya, mantu Ibu."
"Doain aja, Bu."
Ijal segera memasuki mobil pick up putih itu dan berangkat. Selama perjalanan dia sudah memikirkan hal-hal yang akan dilakukannya bersama Titi di warung. Hal yang paling utama adalah mendapatkan informasi kenapa Titi dan Jeje selalu berurusan pada hal yang sama? Apa sebenarnya yang sedang mereka kerjakan?
Rumah Ibu Lani dan rumah Titi hanya berjarak 300 meter. Sampai tepat di depan warung hanya butuh waktu lima menit. Dengan semangat berapi-api, lelaki yang memakai wewangian semerbak itu menurunkan ayam dari mobilnya dan menaruh pada troli.
"Assalamualaikum," salam Ijal sambil mendorong troli itu.
"Wa'alaikumussalam." Jeje yang sedang membungkus pesanan online, menyahut.
"Elu lagi.. elu lagi..!" Mereka berdua serentak mengucapkan kekesalan.
Titi yang datang dari belakang langsung menyambut Ijal dan mengambil alih troli itu membawanya ke dalam.
"Kenapa, sih, lu selalu berusaha muncul di depan muka gue!?" gerutu Ijal.
"Lo aja tuh yang nggak bisa hidup tanpa gue!" seru Jeje masih menyiapkan bungkusan.
"Udah pulang sana!! .Ntar Mami nyariin intan payong!" balas Ijal lagi.
"Bukan urusan lo! Lagian temenan sama ayam, percuma pake parfum sekardus juga tetep aja bau ketek ayam!" Jeje mulai berasap.
"Daripada lo berteman sama sampah! Semua isi yang keluar dari mulut lo nggak ada gunanya!" Balas Ijal dengan mata berapi-api.
Kedua mata mereka saling bertatap tak berkedip dengan api yang menyala dan segera membakar warung Titi.