HEAD OVER HEELS

Raa Kartika
Chapter #7

MARTABAK MINI #6

Titi berbelanja bahan kue yang akan menjadi 'nominasi' untuk diajukan saat festival nanti. Gadis itu sempat memikirkan beberapa dessert. Soft cookies, dessert box, kue tradisional seperti pukis keju kesukaan Ijal, klepon ubi ungu kesukaan om Riko dan satu menu yang paling menyentuh hatinya. Martabak mini.

Oh, iya. Om Riko. Adik paling kecil ayahnya. Lelaki yang sudah berusia 27 tahun itu tetapi, masih bergaya ala anak muda usia 17 tahun. Wajahnya memang tampan. Hidung mancung, alis tebal, kulit putih, tubuh tinggi dan berisi. Suaranya yang berat bikin perempuan klepek-klepek. Selalu memakai kaos, berbalut jaket dan celana jeans. Sepatu cats, motor gede dan helm yang menutupi wajah tapi tidak matanya yang tajam, menjadi andalannya setiap hari.

Riko Haryono. Tertera di atas meja kantornya. Tetapi, dia sendiri hanya beberapa menit saja duduk di sana setiap harinya. Riko lebih senang aktif langsung di bengkel. Mengotak-atik mobil, tangan berlumur oli dan menggenggam perkakas adalah kesukaan sesungguhnya. Hanya saja, ayahnya tidak menginginkan itu. Tanpa sepengetahuan Haryono, Riko sering memperbaiki mobil atau motor pelanggan. Jika tidak terlalu sibuk, dia akan mampir ke rumah Titi. Lebih tepatnya ketika perutnya sudah keroncongan.

Tanpa Titi sadari, selama membuat adonan, Riko sudah berdiri di ambang pintu dapur. Percobaan pertama, kue yang harusnya berbentuk bulat mini itu tidak lagi berbentuk. Percobaan kedua, bentuknya lumayan bulat tetapi hanya matang bagian pinggirnya saja.

"HADUH!!! HARUS GIMANA SEEH!! AKKKH!!" teriak Titi sambil mencari referensi video dari aplikasi wutub. Wajahnya sudah memerah. Rambut yang terikat mulai berantakan. Pesan dari Jeje sudah tak lagi dia gubris.

"TOK! TOK!" Riko akhirnya mengetuk pintu berwarna cokelat itu. Wajah Titi yang mengerut seketika berubah menjadi anak SD yang mengusir teman badungnya dengan manja. Dia menghela napas panjang.

"Plissssss, ya, Om jangan ganggu dulu!" Titi menaikkan pipi tembemnya, hingga matanya menyipit. Senyuman selebar mungkin untuk mengusir Riko yang sibuk memperhatikan meja dapur yang amburadul.

"Ya, ampun, Ti..., gue belum ngapa-ngapain kali!" cetus Riko. Tangannya meraih garpu di atas piring martabak yang tak berbentuk itu.

"Ngapain sih lo bikin beginian!" seru Riko. Dia seketika membanting teflon yang masih berada di atas kompor. Bahu Titi langsung naik turun sekejap jantungnya berdebar cepat mendengar hentakan teflon itu. Titi tidak bisa berkata-kata.

"Kayak nggak ada makanan lain aja yang bisa lo buat, klepon kayak kemarin enak, kok, kue dadar kek, kue bolu kek, apa kek nggak usah beginian!" Rahang besar itu mulai nampak berderik.

"Cuma nyoba, doang, kok." Suara Titi begitu pelan, hingga tak lagi terdengar di telinga Riko. Melihat wajah Titi yang tiba-tiba sendu, Riko mendekatinya.

"Jangan pernah lo lakuin hal-hal yang bersangkutan sama masa lalu Ti, nggak perlu, lo harus menatap ke depan. Lo nggak butuh ini." Riko membisikan kalimat itu tepat di telinga Titi. Mata Titi mulai berkaca. Lalu Riko segera menepuk-nepuk pundaknya pelan.

"Assalamualaikum! Ti!" teriak Jeje dari balik pintu membawa beberapa bahan yang sudah Titi pesan. Mendengar suara seorang pria di balik pintu, Riko bergegas menuju ke depan. Perlahan pintu berwarna putih itu terbuka. Jeje langsung mengernyitkan dahi.

"Siapa lagi, nih? Saingan nyu coohmer?" Jeje berbicara dengan pikirannya.

"Ada perlu apa?" ucap lelaki bertubuh tegap itu, menancapkan tatapan begitu tajam pada Jeje.

"Gue bawa titipan Titi, nih," balas Jeje yang berusaha untuk masuk.

"Siapa bilang lo boleh masuk?!" tegas lelaki itu lagi. Matanya mulai melebar. Tangannya segera menahan bahu Jeje karena seenaknya masuk tanpa izin Riko.

Lihat selengkapnya