"Chen Ai, kau yakin tidak ingin mengambil pelatihan militer tahun ini? Katanya tahun 2012 nanti Bumi akan kiamat. Itu sekitar tiga tahun lagi. Kau tidak mau menyiapkan diri dari sekarang?"
Chen Ai yang baru saja meminum yoghurt tersedak dan memuntahkan sebagian minumannya. Ia segera mencari tissue di tas, lalu mengelap mejanya yang ternodai yoghurt. Ia memelotot ke arah laki-laki yang memulai pembicaraan tak bermutu itu. "Zhao Nan, itu pertanyaan macam apa? Konyol sekali!"
"Eh, aku serius. Aku sering mendengarnya di radio. Menurutmu, ikut pelatihan militer saat di universitas apa tidak terlalu terlambat?"
"Kalau kau tidak yakin, kau ikuti kemauanmu sendiri saja. Tidak perlu memengaruhiku. Aku sudah memutuskan untuk tidak mengambil pelatihan militer tahun ini," jawab Chen Ai santai, "lagi pula, siapa yang masih percaya ramalan seperti itu?"
Zhao Nan berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Benar juga. Kalaupun memang benar-benar ada kiamat, kita mungkin hanya akan berakhir dengan reinkarnasi. Itu bukan masalah besar juga," gumam Zhao Nan.
Ketika itu, Xiao Qing datang memasuki kelas. Ia berdecak sebal ketika bangkunya ditempati oleh Zhao Nan. Chen Ai yang melihat gestur itu segera mengambil tindakan.
"Zhao Nan, kau menyingkir dulu. Aku ingin mengobrol dengan Xiao Qing. Bye," ujar Chen Ai sambil mendorong lengan Zhao Nan hingga laki-laki itu hampir terjatuh dari kursi. Seolah-olah tidak memedulikan nasib Zhao Nan, Chen Ai segera menarik tangan Xiao Qing untuk duduk di sebelahnya.
Zhao Nan yang tersingkirkan hanya bisa menghela napas sambil menggeleng pelan. Ia pun kembali ke bangkunya di belakang Chen Ai.
***
Waktu berjalan begitu cepat hingga tak terasa musim dingin tiba. Meja-meja dan kursi di kelas menjadi lembab. Angin musim dingin menggugurkan bunga-bunga di lapangan sekolah. Lapangan basket semakin sering basah hingga Para murid semakin sering menjalankan aktivitas di dalam ruangan sambil mengenakan jaket biru khas siswa SMA. Di samping itu, pelajaran juga semakin rumit dan menimbulkan tekanan.
Mata pelajaran ekonomi adalah salah satu hal yang membuat Chen Ai pusing. Meskipun pada akhirnya siswa seperti Chen Ai akan memahami penjelasan guru, tetapi kali ini ia memerlukan waktu sangat panjang. Ia harus benar-benar fokus di kelas, mengulang pelajaran di rumah, dan sesekali meminta penjelasan ulang pada guru. Namun, ketika Chen Ai berada di fase itu, laki-laki ribut yang duduk di belakangnya malah terlihat santai dan lihai di kelas ekonomi.
"Apa kalian tahu mengapa ada selisih nominal di hasil pembukuan ini? Bagian mana yang keliru? Siapa yang dapat menjelaskan letak kesalahan selama proses pembukuan dan menuliskan ralatnya?" tanya Gao Lao Shi sambil mengacungkan spidol.
Semua murid langsung berdiskusi sambil membuat coret-coretan di kertas. Sementara itu, Chen Ai masih memperhatikan papan tulis, mencari letak kesalahan di alur pembukuan yang dijelaskan Gao Lao Shi.
"Ini sulit sekali. Bagaimana bisa selisih? Alur pembukuannya kelihatan rapi dan teliti," gumam Chen Ai sambil memutar-mutar bolpoinnya.
"Kupikir alurnya tidak terlalu teliti juga," timpal Zhao Nan tiba-tiba.
Chen Ai segera menoleh ke belakang dan menghadap Zhao Nan. "Kau punya pandangan lain?"
Zhao Nan memperhatikan soal di papan tulis sebentar, lalu beralih memandang Chen Ai. Ia menaikkan sebelah alis dengan percaya diri, lalu berkata, "Tentu. Lihat ini."
Laki-laki itu beranjak dari bangku, kemudian maju ke depan kelas untuk menerima spidol dari Gao Lao Shi. Zhao Nan pun menulis jawaban di papan tulis selama beberapa menit, sementara murid lain mendiskusikan apa yang ditulis laki-laki itu. Namun, pikiran Chen Ai malah beralih ke hal lain di luar pelajaran. Chen Ai mengagumi rasa percaya diri Zhao Nan, cara laki-laki itu memandang masalah, cara laki-laki itu berbicara dengannya, sampai senyum laki-laki itu ke arahnya begitu selesai menuliskan jawaban. Rasanya seperti ada minuman hangat yang mengalir di dadanya, sangat nyaman.
"Jawaban Zhao Nan sangat tepat," ujar Gao Lao Shi. Teman-teman sekelas pun memberikan tepuk tangan untuk Zhao Nan.
Sementara itu, Zhao Nan mengangkat kedua tangan untuk menghentikan keriuhan itu dengan sombong. Kemudian, ia pun kembali duduk di bangkunya. "Chen Ai, bagaimana? Jawabanku keren, kan?"