Zhao Nan menyetir mobil sambil mengembuskan napas berkali-kali. Pria itu terlihat sangat gelisah. Tangannya berkeringat dingin. Ia terus menggerutu ketika lampu lalu lintas berubah merah.
"Kau jangan terlalu terburu-buru, Zhao Nan. Yang terpenting bisa sampai di rumah sakit dengan selamat," ucap Chen Ai menenangkan. Tangannya terulur sedikit, berniat mengusap lengan Zhao Nan. Namun, melihat pria itu masih fokus pada jalanan, ia mengurungkan niat. Mungkin malah akan mengganggu.
"Kau ada di mobil ini bersamaku, aku pasti tidak akan mencelakakanmu," canda Zhao Nan sambil terkekeh kering. Chen Ai menanggapinya dengan senyuman tipis. Kemudian, pria itu menghela napas tegang. "Aku sebenarnya sedang berusaha tenang." Zhao Nan terus menatap ke jalanan.
"Pelan-pelan saja. Hati-hati," sahut Chen Ai.
Zhao Nan melepaskan tangan kanannya dari stir kemudi, lalu meremas tangan Chen Ai di sebelahnya. Chen Ai yang sedang memandang ke jalanan tersentak kaget begitu merasakan aliran kegugupan menguasai seluruh tubuhnya. Ia menoleh ke Zhao Nan dengan skeptis sambil berusaha menarik tangannya. Namun, pria itu malah memperkuat genggaman, lalu mengusap punggung jari-jari Chen Ai dengan ibu jarinya.
Chen Ai memandang ke arah jendela sambil menggigit bibir. Ia awalnya menggigit bibir untuk menelan kegugupan, tetapi akhirnya ia menggigit bibir untuk menahan senyum. Andaikan waktu bisa berhenti saat ini juga. Kalau kau bersedia, aku ingin selalu menemanimu seperti sekarang.
***
Zhao Nan memarkirkan mobil di lapangan parkir Shanghai Jiahui Hospital. Kemudian, ia menelepon perawat dari Wuhan Changqing Hospital tempat ibunya dirawat sebelumnya untuk mengecek kondisi.
"Halo, ini Zhao Nan, putra dari Nyonya Chao Luo. Hu Shi, bagaimana kondisi mama saya? Lokasi Anda di mana sekarang? Oh, begitu. Apakah kamar rawat sudah disiapkan? Hah? Lalu saya harus bagaimana? Baiklah. Terima kasih bantuannya, Hu Shi." Zhao Nan mengembuskan napas kasar, lalu memijat tulang hidungnya sambil memejamkan mata.
"Kenapa?" tanya Chen Ai.
"Hu Shi bilang jika status pasien 'dipindahkan' seperti ini, harus masuk IGD dulu. Namun, IGD di Jiahui sedang penuh. Mereka sekarang masih sekitar 13 kilometer jauhnya dari sini. Jika ketika mereka sampai di sini IGD masih penuh, maka mamaku tidak bisa mendapat kamar dan harus dirawat di kursi koridor," jelas Zhao Nan cepat. Dari pelipis pria itu, keringat dingin mulai menetes-netes.
Chen Ai tahu prosedur pemindahan pasien dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain sangat rumit. Ia pernah merasakannya saat mengurus ayahnya dulu. Saat itu, ayahnya mempunyai batu ginjal yang sangat besar. Rumah sakit di Wuhan tidak mempunyai alat untuk memecahkan batu ginjal sebesar itu. Lalu ayahnya dirujukkan ke Shenzhen dan dirawat di rumah sakit sana. Jika tidak memiliki banyak uang, prosedurnya juga akan merepotkan seperti ini. Jadi, Chen Ai sangat memahami kegelisahan Zhao Nan sekarang.
"Zhao Nan, kau rileks sedikit. Kita duduk di lobi rumah sakit sambil menunggu ambulans dari Wuhan Changqing Hospital saja bagaimana?"
"Baiklah." Zhao Nan membuka mata, lalu melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil.
Kemudian, mereka berdua pun duduk di lobi rumah sakit sambil menunggu kedatangan ambulans Wuhan Changqing Hospital.
"Omong-omong, mamamu mengapa tiba-tiba bisa sesak napas?" tanya Chen Ai di sela-sela mereka menunggu.
"Ia punya asma, tetapi aku tidak menyangka asma itu akan kambuh saat aku sedang bekerja di luar kota. Biasanya hanya akan kambuh bila kelelahan, tapi mamaku itu sering lupa membawa inhaler."
"Oh, begitu. Apakah A Yi[1] masih bekerja?"
Zhao Nan mengangguk lemas.
"Eh … apa kau mengirim sebagian uang bulananmu ke mamamu?"
"Aku tentu saja mengirim uang. Tapi mamaku tidak mau menggunakannya. Ia hanya menabung uang itu." Zhao Nan duduk di salah satu kursi tunggu rumah sakit sambil mengusap wajah lelah. "Aku ingin istirahat sebentar. Aku tidak mau terlihat stres ketika mamaku tiba nanti." Ia menyandarkan tubuh sambil memejamkan mata.
Chen Ai menelan ludah. Sepertinya ia sudah terlalu banyak bertanya. "Maaf, Zhao Nan," ucapnya sambil menundukkan kepala.
Zhao Nan spontan membuka mata. Ia tersenyum tipis melihat Chen Ai yang merasa bersalah. Sepertinya ia salah menangkap maksud perkataanku tadi. Zhao Nan menegakkan punggung dan menarik tangan Chen Ai. "Aku tidak sedang menyalahkanmu, Chen Ai. Sini, duduk," ajaknya sambil menepuk kursi di sebelahnya.