Ketika tidak sedang diperhatikan, waktu bisa bergulir begitu cepat. Bulan-bulan berlalu begitu saja, dan suhu udara perlahan-lahan meningkat. Musim dingin terlewati dan musim semi tiba. Menyambut festival musim semi ini, semua orang mulai bersiap-siap untuk pulang ke kampung halaman dan berkumpul dengan keluarga.
Chen Ai menyiapkan barang-barang yang akan dibawa untuk perjalanannya ke Wuhan. Saat itu, ia sedang membereskan barang-barangnya di ruang kerja ke dalam satu kardus besar untuk dibawa pulang sementara, karena ia akan mengambil cuti penuh selama dua minggu pada libur Imlek tahun ini. Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya dan melangkah memasuki ruangan.
"Selamat pagi, Manajer Luo," sapa Yun Xiang dan Liu Nian bersamaan.
Chen Ai yang sedang membereskan barang-barang di laci bawah meja sedikit terlambat memberi salam. "Pagi, Luo Wang," ucapnya sambil menyunggingkan senyum tipis.
Luo Wang mengangguk sambil membalas senyuman Chen Ai.
"Oh, ya. Luo Wang, aku tahun ini akan pulang kampung selama dua minggu. Apakah kau mau ikut ke Wuhan lagi? Seperti tahun kemarin," tawar Chen Ai. Ia sudah terbiasa dengan Luo Wang yang ikut pulang kampung dengannya selama beberapa tahun terakhir ini. Orang tua Chen Ai juga sangat menyukai pria itu. Mengajak Luo Wang sama sekali bukan hal buruk. Lagi pula, Luo Wang asli orang Shanghai, pria itu tidak pernah punya agenda pulang kampung. Jadi, daripada pria itu sendirian di kota superbesar ini, Chen Ai biasanya dengan senang hati mengajaknya.
Namun, sepertinya kali ini pria itu tidak seperti biasanya. "Oh, ya. Soal itu, maaf, Chen Ai. Aku tidak bisa ikut pulang kampung denganmu tahun ini. Aku ada tugas prospek seorang klien dari New York. Kau tahu, mereka tidak merayakan festival musim semi dan mereka sama sekali tidak mau toleransi. Jadi, aku terpaksa mengikuti jadwal mereka di hari libur Imlek ini," ujar Luo Wang sambil menghela napas.
Chen Ai memajukan bibir bawahnya, turut bersimpati dengan jadwal pekerjaan Luo Wang. "Yah … ya, sudahlah. Semoga sukses, Luo Wang," ucapnya. Setelah itu, ia kembali membereskan barang-barangnya di laci meja.
"Oh, ya. Chen Ai, bisakah kau makan siang denganku nanti? Aku ingin menitipkan hadiah untuk orang tuamu sekalian," ujar Luo Wang.
"Eh … ada titipan untuk orang tuaku juga? Kau terlalu baik, deh," tutur Chen Ai sambil menepuk bahu Luo Wang.
"Kupikir orang tuamu akan menyukainya. Hadiah ini juga tidak akan membuatmu repot membawanya, kok," sahut Luo Wang sambil tersenyum lebar. Lihat, kan? Aku memang baik. Selain memberikan hadiah untuk menjaga nama baikku di depan orang tuamu, aku juga memikirkan dirimu. Kapan kita akan kembali berpacaran?
"Terima kasih banyak. Pasti nanti akan kusampaikan pada orang tuaku. Soal makan siang, tunggu sebentar, ya." Chen Ai menyalakan handphone-nya yang diletakkan di meja. Ia membuka reminder kalender dan mengecek jadwal. Akhir-akhir ini Zhao Nan hampir setiap hari mengajaknya makan siang bersama. Mereka sedang berada tahap ambigu yang manis. Chen Ai merasa sedang menjalani proses pendekatan. Memikirkan hal itu sering membuat suasana hati Chen Ai menjadi cerah. Namun, entah apa yang dipikirkan Zhao Nan.
Seusai melihat kalender dan memastikan jadwalnya kosong, Chen Ai segera menjawab, "Bisa. Nanti bertemu di mana?"
"Rumah makan di samping kantor saja, ya," jawab Luo Wang.
"OK." Chen Ai menunjukkan jarinya yang membentuk angka tiga, lalu lanjut membereskan barang.
Luo Wang menyunggingkan senyum tipis, lalu melenggang keluar dari ruangan Public Relation. Tatapan mata yang ditunjukkan Chen Ai ketika berbicara denganku berbeda dengan tatapan yang ditujukannya untuk Zhao Nan. Pada kenyataannya, bagaimana perasaan Chen Ai padaku? Apakah seluruh hati dan waktu yang kuberikan untuknya selama ini tidak berarti apa-apa? batin Luo Wang. Ia memasuki ruang kerjanya, lalu duduk dan kembali menghadapi komputer. Namun, pikirannya kosong.
***
4 Februari 2019, Chen Ai berangkat pagi-pagi buta ke stasiun Shanghai. Orang-orang di kampungnya suka bangun pagi. Saat sudah agak siang, mereka cenderung sibuk memasak di dapur, apalagi menjelang hari raya seperti ini. Chen Ai berharap ia bisa tiba sebelum semua orang sibuk dengan masakan masing-masing.
Setelah menyerahkan boarding pass ke petugas, Chen Ai memasuki kereta kelas satu dan duduk di kursi menempel dinding yang sudah dipesannya. Ia menutup ritsleting jaketnya karena udara pagi itu dingin sekali. Setelah itu, Chen Ai menyandarkan tubuh dan memejamkan mata. Beberapa menit kemudian, ia merasa kursi penumpang di sebelahnya terisi. Ia pun membuka mata dan menoleh.
"Apakah ini kebetulan?" Chen Ai menaikkan sebelah alis begitu melihat Zhao Nan duduk di sebelahnya.