Kebiasaan yang terkenang.
Jika manis? tidak apa.
Jika pahit? itu masalah.
Dan itu adalah pertanda jika luka di hati masih belum kering.
Sudah satu tahun Nayla tidak memiliki pekerjaan tetap. Sampai pada akhirnya di hari kemarin, Nayla di rekrut untuk menjadi pegawai di perusahaan besar. Dan pagi ini, Nayla bersiap untuk memulai harinya sebagai pegawai baru di perusahaan itu.
Nayla berdiri di depan cermin dan terus mengatur nafasnya, untuk meyakinkan bahwa dirinya telah memilih hal yang tepat. “Sadar nay! pekerjaan lamamu itu tidak bisa kamu benci.” ucapnya untuk dirinya sendiri
Perkataan Arin waktu kemarin memang ada benarnya, bahwa kita semua tidak bisa membenci semua hal. Setelah berkaca dan meyakinkan bahwa dirinya siap, Nayla mengeluarkan sepatu yang akan dipakainya dan melihat salah satu sepatu pemberian Angga yang ternyata masih Ia simpan.
“Benda inilah yang seharusnya aku benci.” gumamnya
Nayla mengambil sepatu itu dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di depan apartementnya. Lalu Nayla pergi meninggalkan tempat sampah itu.
Tiba-tiba, Nayla teringat perkataan neneknya yang membuat langkah kakinya terhenti, “Jangan bertindak boros. Masih banyak orang yang tidak seberuntung kita. Bahkan, untuk makan saja susah.”
Nayla merasa bersalah akan apa yang telah Ia lakukan. Akhirnya Nayla berbalik dan mengambil lagi sepatu itu, “Astaga, nenek membesarkan aku dengan baik. Bahkan aku tidak bisa membuang sepatu dari lelaki iblis itu.” Ucapnya.
Nayla kembali berjalan menuju halte bus, sambil menjinjing sepatu itu. Lalu ia duduk di bangku panjang halte karena bus yang ia tunggu belum datang. Nayla kembali menatap sepatu itu dan menghela nafasnya dalam, “Mengapa aku sering menghela nafas di halte ini.. Entah aku atau halte ini yang menyedihkan.”
“Nak..”
Nayla menengok kearah belakang dan menjadi kaget
“OO astaga..”
Ternyata seorang nenek yang menyapanya. Setelah melihat wajah nenek itu, Nayla teringat bahwa Ia adalah seorang nenek yang ada di bus waktu itu.
“Loh nenek..?”
“Iya nak, aku nenek yang waktu itu duduk di tempat milikmu.” ungkap nenek itu dan lalu Ia duduk di samping Nayla
“Iya nek, aku ingat…Oh ya nenek mau kemana..?”
“Nenek, sedang menunggu cucu nenek..”
Kemudian, Nayla melihat ke arah kaki nenek itu yang ternyata tidak memakai alas kaki.
“Nenek, sandalnya kemana?”
Lalu, nenek itu melihat ke arah kakinya yang ternyata tidak memakai sandal dan lalu Ia tertawa, “Astaga.. Nenek sudah tua, ingatan nenek sudah tidak terlalu baik..”
Mendengarnya saja membuat Nayla kasihan dan Ia teringat akan neneknya sendiri..
“Apa nenek tinggal sendirian?”
“Tidak. Nenek tinggal dengan cucu dan anak nenek. Tapi, semuanya sibuk..”
“Astaga, kenapa bisa mereka membiarkan nenek sendirian..” ungkap Nayla.
Kemudian Nayla melihat sepatu, yang hendak ia buang dan memutuskan untuk memberikannya pada nenek itu.
“Nek, pakai ini ya..”
Nayla memakaikan sepatunya ke kaki nenek itu.
“Ya, meskipun terlalu longgar, setidaknya ini bisa melindungi kaki nenek.” lanjut Nayla
“Ini terlalu bagus buat nenek, bukannya ini milikmu nak..”
“Aku sudah tidak memakainya nek, karena suatu alasan..”
Bus yang Nayla tunggu akhirnya tiba, lalu ia berpamitan pada nenek itu
“Nek, aku pergi dulu ya…” ucap Nayla sambil tersenyum
“Iya..kamu hati-hati ya nak..” ungkap nenek itu yang kemudian melambaikan tangannya pada Nayla.
˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜
Nayla tiba di depan kantor ‘G Technology’. Jantung Nayla berdebar kencang, bukan karena Ia gugup. Melainkan karena Ia teringat akan setahun yang lalu menjadi sekretaris Angga.
Nayla memukul kepalanya agar Ia tersadar, “Sadar nay, sadar!”