Raungan sirine mobil ambulans pada dini hari malam jumat ini membuat seorang gadis yang sedang tertidur lelap di dalam rumah sederhana yang berada pada ujung lorong Kelapa di desa pinggiran kota Palembang terkejut dan terbangun dari tidur. Saat ia membuka mata kamarnya sudah gelap gulita.
“Mati lampu apa ya?” katanya bicara sendiri sambil tangannya meraba-raba mencari ponsel pintar dan kacamata.
“Mana sih hp? Pakai acara mati lampu segala,” umpatnya kesal, membalikan bantal disebelahnya dan berseru lega ketika berhasil menemukan yang ia cari: “Hah, ini dia.”
Gadis bertubuh mungil dan berambut panjang yang sehari-hari memakai jilbab itu buru-buru menghidupkan fitur lampu senter pada ponselnya, setelah senter menyala ia baru dapat menemukan letak kacamatanya yang ternyata diletakan di meja kerja. Gadis itu pun kembali lagi keranjangnya dan membiarkan lampu senter ponselnya tetap menyala.
“Jam berapa sih ini?” gadis itu melihat jam digital pada ponselnya yang menunjukan pukul 2.00 Wib.
Sementara itu suara raungan sirine ambulans terdengar semakin mendekat masuk ke kampung tempatnya tinggal. Tak terhitung sudah berapa kali ia mendengar suara raungan sirine ambulans yang masuk ke kampungnya dalam satu minggu terakhir ini dan hampir setiap hari pula ia mendengar pengumuman di masjid yang mengabarkan tentang orang yang meninggal.
Sepertinya ada yang meninggal lagi? Atau ada yang positif covid lagi dan dijemput untuk di karantina? Tanyanya dalam hati.
Bulu kuduknya meremang, gadis itu mengusap-usap leher dan lengannya, lalu membaringkan tubuh, menarik selimut hingga menutupi sampai ke batas leher.
“Sada.” Panggil seorang perempuan yang berumur lebih dari separuh abad, disusul dengan suara ketukan. Di tangan perempuan itu ada sebuah lilin yang diletakan dalam wadah kaca. Nyala lilin yang kuning memantul ke wajah perempuan yang sebagian rambutnya berwarna putih terlihat bersinar keperakan oleh pantulan cahaya lilin.
“Mama.” Katanya balas memanggil untuk memastikan kalau itu benar suara ibunya.
“Iya. Ini Mama. Ini lilinnya, Sa,” ujar ibunya lagi menunggu di depan pintu.
Gadis yang dipanggil Sada itu cepat-cepat bangun, meraih ikat rambut di nakas samping ranjang dan mengikat rambutnya asal aja, lalu turun dari ranjang dan membukakan pintu untuk ibunya. Suara sirine ambulans sudah terdengar menjauh dan menghilang bersama dengingan suara jangkrik.
“Kok mati lampu sih, Ma? Dari jam berapa matinya?” tanyanya begitu pintu telah terbuka.
“Baru saja.” Ibu Ivone—nama perempuan yang Sada panggil Mama—menyerahkan gelas berisi lilin yang telah menyala kepada Sada.
Oh, berarti pas aku terbangun, pas lampu mati. Kata Sada membatin, berjalan masuk, meletakan lilin di nakas terus ke luar lagi.
“Sepertinya cuma rumah kita saja yang lampunya mati, Mama intip rumah tetangga terang benderang.” Kata Ibu Ivone dari pintu.
“Jangan-jangan turun mcb-nya,”
“Iya kayaknya.”
“Bentar. Sada ambil jilbab dulu.” Sada masuk lagi ke kamar mengambil jilbab lalu berjalan pelan-pelan menuju pintu depan untuk melihat ampere meter listrik. Tangan kanannya tetap memegang senter ponsel.
Saat ia telah sampai di depan pintu dan baru saja hendak memutar anak kunci, Ibu Ivone langsung berkata: “Jangan, Sa. Kamu tunggu di dalam saja, biar Mama yang melihat keluar.”