Selesai beres-beres rumah, Sada buru-buru mandi, kemudian sarapan. Seperti biasa, setiap pagi sambil menikmati sarapan, ia suka sekali duduk di dekat jendela ruang makan karena jendelanya berada persis pada arah matahari terbit, jadi sekitar jam 9.00 Wib ruang makan yang merangkap dapur itu akan mendapatkan banyak sinar matahari pagi.
Tak perlu berjemur di halaman rumah, duduk di dekat jendela ruang makan saja sudah cukup membuat seluruh tubuh mungil Sada tersiram matahari, karena sinar mataharinya tidak hanya masuk dari jendela, tetapi juga melalui pintu, jadi Sada akan mendapatkan kecukupan cahaya serta sirkulasi udara yang bagus untuk mengoksigenisasi jantung dan paru-parunya.
Sada mengunyah kwetiau goreng kesukaannya perlahan, tak tahu kenapa kwetiau yang lezat ini jadi terasa hambar di lidah, ia seperti mengunyah puluhan jarum sehingga membuat tenggorokannya pedih. Untung saja ia hanya mengambil sedikit. Setengah terpaksa ia menghabiskan kwetiau, mencuci piring bekas makanannya dan kembali duduk di dekat jendela sambil memainkan ponsel.
Satu keganjilan terjadi lagi. Seekor kupu-kupu berwarna coklat masuk dapur, terbang berputar tujuh kali mengelilingi tubuh Sada, lalu hinggap di bahu kiri. Sada menepiskannya, tapi kupu-kupu berwarna coklat itu tidak mau pergi.
Dia hanya terbang berputar lagi sebanyak tujuh kali di kepala Sada, iya … benar tujuh kali loh, Sada menghitung putaran kupu-kupu sebesar telapak tangan anak yang berumur tiga tahun. Setelah lelah berputar, mengepakan sayapnya, kupu-kupu coklat itu lalu hinggap lagi pindah di bahu sebelah kanan. Berapa kali Sada tepiskan, tetapi kupu-kupu coklat bergeming, hanya mengepakan sayap, berjalan mendekati telinga Sada.
“Kupu-kupu aneh.” Gumam gadis berkacamata itu, menarik kepala ke kiri menjauh dari kupu-kupu coklat, tapi kupu-kupu coklat malah mengikuti, berdiri persis dekat daun telinga Sada.
Sada mengarahkan ponsel yang berada dalam mode kamera, berniat untuk mengambil foto selfie bersama kupu-kupu, tapi kupu-kupu bercorak coklat dan kuning keemasan itu malah mengepakan sayap dan terbang di depan wajah Sada.
“Ada apa? Apa yang mau kamu sampaikan?” katanya mengajak kupu-kupu itu bicara.
Seolah mengerti apa yang dikatakan Sada, kupu-kupu coklat terbang semakin dekat ke depan hidung mancung Sada, lalu terbang ke arah meja makan dan menjatuhkan diri di atas meja. Sada mengernyitkan dahinya, bangun dari duduk, mendekati meja makan untuk melihat keadaan si kupu-kupu.
“Kamu kenapa, sakit ya?” ia berjalan berjingkat-jingkat mendekati kupu-kupu coklat, saat tangannya hendak menyentuh sayap kupu-kupu yang rebah di meja, kupu-kupu itu terbang lagi beberapa saat dan menjatuhkan diri lagi di tempat yang sama.
Jari-jari tangannya mengusap-usap dagu yang menggantung bak sarang lebah, sebelah alisnya terangkat ke atas, sesekali ia membetulkan letak kacamatanya yang melorot sambil mengamati atraksi terbang dan jatuh yang dilakukan oleh hewan bersayap indah tersebut sampai tiga kali berturut-turut, kemudian terbang keluar lewat jendela. Sepasang mata Sada mengikuti kepergian kupu-kupu coklat hingga tak terjangkau lagi oleh pandangannya.
“Aneh sekali kupu-kupu itu! Apa maksudnya ya dia begitu?” katanya bicara sendiri.
Ketakjubannya pada atraksi kupu-kupu coklat barusan teralihkan oleh suara dering pada ponselnya. Entah kenapa nada deringnya terdengar sangat mencekam dan membuat jantungnya berdebar-debar.
Sada kembali ke tempat duduknya seraya membatin: Aku terlalu baperan.
Matanya melihat nomor yang tertera di layar. Sebuah nomor tak dikenal, tanpa nama. Tadinya ia pikir yang meneleponnya adalah Aufa karena biasanya laki-laki ganteng berkulit putih langsat itu tak pernah absen menyapanya setiap pagi, sesibuk apapun dia. Sada ragu-ragu untuk mengangkatnya saat ia tahu itu bukan nomor Aufa, namun dorongan hati menghapus keraguannya.
“Halo. Assalamualaikum, Teteh.” Sada mengernyitkan dahinya, seperti mengenal suara orang yang meneleponnya.
Sambil berjalan mengembalikan cangkir ke meja, lalu balik lagi ke tempatnya duduk, Sada bertanya ragu-ragu: “Wa'alaikumussalam. Ini siapa ya?”
“Teteh ini Juni, masa lupa sih?” sebuah kekecewaan terdengar dari nada suara Juni.
“Oh, Juni! Teteh kira siapa! Maaf ya, Jun. Teteh baru ganti hp jadi banyak nomor yang belum ditambahkan ke kontak. Juni apa kabar?”
“Alhamdulillah baik. Teteh Sa gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah baik juga.” Terdengar hembusan napas lega Juni di ujung telepon.
“Alhamdulillah syukur. Oya, Teteh sudah tahu belum?”
“Sudah tahu apa?”