Malam telah semakin menua, tetapi gadis cantik bergaris wajah lembut, berambut panjang dan selalu memakai jilbab itu masih terjaga di kamarnya. Jemari tangan kirinya sibuk menyusut airmata yang tiada henti mengalir, sementara tangan kanannya memegang album foto kenangan.
Ia tengah memandangi foto seorang lelaki tampan yang tengah menggendong seorang anak perempuan berusia tiga tahun. Anak itu cantik sekali, bola matanya berwarna coklat berbinar-binar bagai binar rasi bintang virgo, bibir tipis, rambut panjang ikal mayang dan hidung mancung, persis seperti hidung ayahnya yang berdarah timur tengah. Semakin tumbuh besar dan dewasa anak perempuan itu semakin mirip dengan ayahnya.
Anak perempuan itu adalah Sada Ameera Kirania, gadis yang sepanjang malam ini menangis meratapi penyesalan panjang, meratapi kehilangan serta rindu yang belum lunas dibayar. Gadis itu bernama Sada. Sada Ameera Kirania, putri sulung kesayangan Bapak Rahdian yang lahir dari rahim seorang perempuan tangguh dan penyabar bernama Ibu Ivone Sarintan Naray.
Sungguh, tak pernah Sada sangka kalau akhirnya akan pedih dan sesakit ini. Ia pikir setelah corona berlalu, sebelum menikah ia dan calon suaminya akan pergi ke Bandung untuk menemui ayahnya, meminta maaf, meminta restu, dan meminta ayahnya untuk menjadi wali di akad nikahnya nanti. Setelah itu ia dan calon suaminya mau pergi berziarah ke Garut, Banten dan beberapa tempat di mana leluhur-leluhur mereka di makamkan. Tetapi corona terlalu tangguh untuk dikalahkan oleh waktu, sampai kabar meninggalnya Pak Rahdian datang, niat itu belum terlaksana.
Oh, tidak, tidak! Bukan kematian yang Sada tangisi malam ini, tetapi penyesalan karena terlalu lama ia menunda kata maaf dan mengekang keinginan untuk bertemu. Baik ia dan ayahnya saling bertahan menunggu kepala serta hati siapa duluan yang akan lunak untuk memulai kembali percakapan. Sampai ajal menjemput, tak ada yang mau mengalah, semua saling mempertahankan diri, memilih remuk dalam rindu.
Sebetulnya firasat-firasat itu telah hadir dari beberapa minggu yang lalu, namun Sada abaikan karena tak mau pikirannya terganggu oleh mimpi-mimpi yang hadir beruntun saban malam karena tak ingin imunitas tubuhnya menurun dan jantungnya menjadi sakit bila terlalu memikirkan semua itu.
Namun kehadiran kupu-kupu coklat pagi tadi membuat Sada akhirnya percaya kalau akan ada kabar yang tak mengenakan tentang keluarganya. Ternyata benar. Setelah kupu-kupu itu pergi, kabar kematian ayahnya pun sampai ke telinganya.
Sada kembali menyusut airmatanya, napasnya mulai sesak, hidungnya tersumbat oleh cairan bening dan kepalanya mulai terasa pusing, tapi entah kenapa airmatanya masih deras mengalir. Sekujur tubuhnya terasa dingin padahal tidak sedang menghidupkan kipas angin, jantungnya juga terasa berdetak sangat cepat, bertolak belakang dengan napasnya yang pendek.
Tiba-tiba saja stasiun radio yang ia dengar malam itu memutarkan lagu Seventen yang berjudul Ayah, tangisnya makin menjadi-jadi, hatinya teriris-iris oleh rasa berdosa yang terus menghantui. Sejak habis isya tadi, Sada sengaja memutar radio sedikit kencang supaya ibunya dan tetangga sekitar rumah tak mendengar suara tangisnya.
Lagu Ayah miliknya Seventen tersebut makin membawa Sada larut dalam kenangan. Ia jadi teringat peristiwa dua tahun yang lalu, ketika ia bertengkar sama ayahnya. Dulu tanpa sengaja Sada melihat ada foto seorang perempuan terpasang sebagai wallpaper pada desktop ponsel pintar milik ayahnya. Perempuan itu bukan ibunya dan bukan juga Sada.
Penemuan itulah yang kemudian memantik amarah serta rasa penasaran Sada untuk menyelidikinya. Sada kecewa sekali ketika kebenaran dari hasil penyelidikannya terungkap dan pertengkaran itu pun tak dapat dihindari lagi.
“Papa sungguh keterlaluan, Papa tega. Yang seharusnya menikah itu Sada, bukan Papa.” Desisnya kala itu, rahangnya mengeras, mata coklatnya berubah merah menyala, lidahnya bagai pedang yang siap menikam orangtuanya sendiri.
“Maafkan Papa, Sa.” Hanya itu kalimat yang keluar dari mulut lelaki berumur enam puluh tujuh tahun tersebut. Selebihnya bungkam, menadahi kemarahan putri kesayangannya.
Pak Rahdian sadar kalau telah melukai hati istri dan anak-anaknya, selama ini ia telah membohongi Sada tentang Kamil, pria yang awalnya akan ia nikahkan dengan Sada tapi akhirnya malah ia nikahkan dengan Mira—anak dari istri simpannya.