“Sudahlah, Nak. Jangan nangis terus, nanti kepalanya pusing dan jantungnya sakit lagi. Dari tadi siang kamu seperti ini, ingat kondisi jantungmu. Mama nggak mau kamu sakit. Sabar ya, Nak.” Ujar Ibu Ivone menyeka pipi halus putrinya yang basah. Sada memandangi wajah ibunya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Sada belum minta maaf sama Papa, Ma. Sada banyak dosa sama Papa, Sada pernah bertengkar sama Papa. Papa pasti sakit hati dan marah sama Sada sampai nggak mau lagi menemui Sada, tak mau menelepon Sada lagi.” Kalimatnya meluncur bersama isak tangis.
Ibu Ivone ingin tersenyum melihat Sada, dipandanginya wajah Sada yang bersimbah airmata Kadang Ibu Ivone heran, bagaimana bisa Sada berbicara secepat itu sambil menangis. Kebanyakan orang, terlebih dirinya tak akan bisa bicara bila sedang menangis.
“Tidak, Nak. Papa tak pernah marah sama kamu, tak pernah merasa sakit hati. Papa itu lelaki salih dan baik. Papa begitu karena dijebak dan terjebak. Papa sangat menyayangi kamu dan adikmu. Mama sangat mengenal Papa, tolong jangan berpikir buruk tentang Papa ya.”
Ibu Ivone tetap harus mengingatkan anak-anaknya, ia ingin anak-anaknya tetap bersikap baik pada ayah mereka dan tak terus menerus berprasangka buruk serta salah paham. Biar bagaimana pun Pak Rahdian adalah ayah mereka yang menghidupi mereka selama ini.
Sama seperti ibunya, ia juga sebenarnya sangat mengenal sosok Pak Rahdian karena ia yang paling dekat dengan ayahnya. Sada tahu betul kalau ayahnya adalah lelaki yang baik dan sangat sayang pada anak-anaknya, pada semua anak kecil. Namun ayahnya berubah sejak perempuan asing masuk ke dalam kehidupan keluarga Sada. Serapat-rapatnya membungkus bangkai, akhirnya bau itu itu tercium juga oleh Sada dan Dewa. Saat semua rahasia itu terungkap, cinta dan kepercayaan yang mereka curahkan untuk ayah mereka pupus.
“Tapi kenapa Papa tak pernah mau menerima telepon Sada, bahkan pesan Sada pun tak pernah Papa balas? Kenapa Papa tak mau berbicara dengan Sada lagi? Kenapa Papa nggak mau pulang lagi ke Palembang, Ma?” Sada mengangkat wajahnya, bertanya dengan suara lirih serta aimata yang tak henti mengalir, matanya sembab dan wajahnya merah.
Ibu Ivone menarik lagi tubuh Sada, mendekapnya dengan sepenuh hati, segumpal rasa mencekik leher, membuat lidah kelu dan dadanya sakit. Ada yang tak pernah Sada ketahui kenapa ayahnya tak pernah lagi pulang ke Palembang. Ia sengaja menyembunyikan semua itu dari anak-anaknya demi menjaga kondisi psikologis mereka dan kondisi jantung Sada. Ibu Ivone diam, membiarkan Sada menghabiskan airmatanya serta letupan emosi yang tertahan selama ini.
Ingatan mengajak Sada menjemput kenangan pahit untuk kembali.
Andai saja dulu Sada tak berbuat lancang membuka ponsel ayahnya tanpa izin, mungkin Sada tak akan pernah kehilangan ayahnya dengan cara yang pahit seperti ini. Kalau saja dulu ia memilih diam dan tak menceritakan hasil temuannya kepada ibu dan adiknya, mungkin akan berbeda lagi ceritanya dan tak akan berakhir dengan perpisahan.
Tapi bila Sada memilih diam dan tak membuka bungkusan aib ayahnya, berarti Sada turut menyimpan kebusukan, membiarkan hati ibunya pelan-pelan membengkak, lalu pecah dan hancur oleh pengkhianatan. Tentu saja Sada tak akan pernah rela melihat kehancuran ibunya, memang sakit, tapi akhirnya ia lebih memilih jujur. Sada pun menyiapkan diri untuk menanggung semua resikonya kala itu.
Semalaman ini Sada tak berhenti menyesali diri atas pertikaian yang pernah terjadi antara ia dan ayahnya dulu sehingga menyebabkan keharmonisan hubungan keluarga mereka selama ini menjadi hancur. Ia tak pernah tahu kalau ayahnya mempunyai penyakit liver yang sudah sangat parah.
“Maafkan Sada ya, Ma. Sada dulu terlalu ikut campur dengan urusan Mama dan Papa. Sada melakukan itu karena Sada tak terima Papa telah mengkhianati Mama. Sungguh Sada sangat menyesal sekarang.” Ia menggenggam tangan ibunya, menatap penuh permohonan.
Ibu Ivone menggeleng, menatap ke dalam manik mata putri sulungnya, tubuh mungil Sada menggigil dan basah oleh keringat dingin, matanya sembab. Rupanya gadisnya ini benar-benar sedang menyimpan emosi dan gejolak batin yang dahsyat, sampai membuatnya jadi begini.
Mama lah yang seharusnya minta maaf sama kamu, Nak. Ibu Ivone membatin. Ia menarik napas panjang sebelum mulai berbicara lagi.