Esoknya. Sampai waktu menjelang siang, Sada dan ibunya belum juga mendapatkan kepastian tentang ayahnya yang akan di makamkan di mana? Apakah jenazahnya bisa dibawa pulang ke Palembang atau dibawa pulang ke Garut dan makamkan di pemakaman keluarga?
Sada dan Ibu Ivone sedang duduk berkumpul di ruang tengah menunggu kabar dari Dewa, adik kandung Sada. Gheza datang, langsung masuk, matanya menunduk memandang layar ponsel pintar, jempolnya sibuk menuliskan sesuatu. Saking fokusnya melihat hp, Gheza sampai tak melihat ada kucing di depannya, Pompom—nama kucing kesayangan Sada—berlari ketakutan sambil meong-meong.
“Astaghfirullah, kucing ini tidur sembarangan aja.” Omel Gheza mengusap dada cemas.
Sada berdiri mengambil Pompom dan membawanya duduk di sofa sambil mengomel pada Gheza: “Lagian nulis chat sambil jalan.” Gheza cuma nyengir saja.
“Oya, sudah ada kabar tentang Papa belum, Teh?” tanya Gheza, adik sepupu Sada yang sudah di angkat anak oleh Ibu Ivone sejak ayah Gheza meninggal sewaktu Gheza masih berumur lima tahun.
“Belum. Ini Teteh masih menunggu kabar dari Dewa dan dari A Aufa,” sahut Sada. Memeriksa kembali aplikasi pesan singkat di ponselnya siapa tahu ada kabar dari Dewa atau dari Aufa yang tengah mengurus untuk pengambilan jenazah ayahnya.
“Coba di telepon aja, Teh. Kalau memang mau dibawa ke Palembang kan kita bisa siap-siap.” Kata Gheza lagi. Mengambil ponselnya dan menyambung kata: “Biar Ghez aja yang telepon Aa Dewa,”
“Apa bisa dibawa ke Palembang, Ghez? Kan lagi PPKM gini,” sambung Ibu Ivone memandang anak-anaknya dengan sorot mata yang agak pesimis.
“Nggak tahu juga, Ma. Katanya Aa Aufa mau mengurusnya sama Aa Dewa kan, mudah-mudahan sih bisa.” Sahut Gheza.
“Memangnya Aufa bisa keluar dari Banten, Sa? Atau Aufa sudah punya kartu vaksin” tanya Ibu Ivone lagi. Situasi PPKM seperti ini membuat hatinya bimbang, sulit rasanya untuk membawa pulang jenazah suaminya ke Palembang bila tak ada rekomendasi dari polisi.
“Naik kereta bisa, Ma, yang penting ada surat jalan dari pemerintah desa tempat kita tinggal. Tadi sih, dia chat katanya sudah di dalam kereta.” Jawab Sada menunjukan bukti chat pada ibunya.
“Alhamdulillah. Semoga Aufa dan Dewa bisa menyelesaikan semuanya.” Ibu Ivone menarik napas lega seraya berdoa dalam hati semoga semuanya berjalan sesuai harapan.
Ibu Ivone mengambil remote tivi, mencari-cari chanel yang enak untuk di tonton sekadar menghibur hati, tapi semua chanel tivi berisi berita tentang covid-19 dan kabar kematian-kematian karena covid. Membuat Sada dan Gheza menjadi phobia
“Coba cari tontonan yang menghibur aja, Ma. Tiap hari tentang covid melulu, bosan.” Gheza mengambil remote tivi dan memindahkannya ke chanel yang lain, tapi tetap saja sama.
“Sudahlah, Ghez, matiin aja tivinya. Pusing lihatnya bikin tambah stress aja.” Sada menjauhkan pandangannya dari tivi.
Mata Sada masih terlihat sembab habis menangis semalaman. Ibu Ivone memberikan kode pada Gheza agar mematikan tivi, lalu menelepon Dewa.
“Nggak diangkat, Teh. Mana minta nomor Kak Aufa.” Sada menyodorkan hapenya pada Gheza.
Baru saja ponsel sampai ke tangan Gheza sebuah pesan masuk ke aplikasi WhatsApp, “Nah ini pesan dari Kak Aufa baru masuk masuk.” Gheza mengembalikannya lagi ke Sada.
Yang. Maaf baru kasih kabar.
Jenazah Papa nggak boleh di ambil.
Aa dan Dewa aja dilarang melihat jenazah Papa.