Heart Disease At Love

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #9

9. SEBARIS NAMA YANG BERPULANG

Sada dan Gheza sangat kecewa sekali begitu tahu kalau jenazah ayah mereka tak bisa dibawa pulang ke Palembang atau ke Garut. Yang lebih membuat kedua kakak adik ini kesal adalah mereka tak bisa keluar dari Palembang untuk ikut melihat pemakaman ayah karena pemberlakukan PPKM.

Mulut Gheza tak berhenti ngomel, mengkritik kebijakan protokol kesehatan yang menurutnya tak adil dan mempersulit segala urusan. Selain itu Gheza juga masih belum mau percaya kalau ayah angkatnya sudah tiada.

“Kok nggak bisa sih? Masa cuma lihat aja nggak bisa. Kan kita harus tahu yang meninggal itu benar Papa kita atau bukan? Dan memang benar karena covid atau bukan?” ia menggerutu sambil mematikan sisa puntung rokoknya dengan penuh emosi.

Gheza benar, adanya corona ini hidup menjadi jungkir balik, corona membuat semua jalan menjadi rumit. Tiap hari semakin menegangkan dan tak menentu. Akhir-akhir ini ramai terdengar berita di media televisi banyak orang yang beramai-ramai membongkar makam keluarga mereka yang katanya meninggal karena covid, tetapi belakangan diketahui mereka meninggal bukan karena covid. Makanya Gheza dan Sada menjadi sangat skeptis.

“Gheza! Sabar ya, Nak.” Ibu Ivone menepuk bahu Gheza.

Sada diam saja, pandangannya menyapu lantai dan bibirnya terus menghimpun istighfar demi menjaga agar emosinya tak menggelembung dan pecah, bila itu sampai terjadi akibatnya akan fatal untuk jantungnya. Dengan menahan luahan rasa saja jantung Sada sudah terasa sangat lelah sekali, sampai-sampai tangan kanannya yang memegang hp jadi gemetar.

Setelah menenangkan Gheza, Ibu Ivone beringsut mendekati gadis sulungnya, mengusap punggung Sada. lalu mengambil ponsel di tangan kanan Sada.

“Sini hp-nya, Mama mau bicara sama Dewa.” Ibu Ivone mengambil ponsel di tangan Sada, lalu berbicara langsung dengan putra keduanya: “Halo, Dewa.”

“Iya, halo Ma. Maafin Dewa ya, Ma. Dewa nggak bisa menjaga Papa dengan baik, bahkan ketika Papa sudah meninggal pun, Dewa nggak bisa membawa pulang jenazah Papa.” Suara Dewa bergetar. Ada tangis yang ia tahan. Tadi suaranya terdengar begitu tenang dan tegas, tetapi dihadapan ibunya, ia kembali seperti anak bungsu yang manja.

“Iya, Nak. Nggak apa-apa. Kamu nggak perlu meminta maaf. Dewa dan Sada nggak bersalah kok. Kalau memang tak bisa mau diapakan lagi, kita nggak bisa ngotot. Yang penting kita tahu, Papa di makamkan di mana dan ada surat kematiannya sebagai bukti bahwa yang di makamkan itu benar Papa.” Ujar Ibu Ivone bijak. Terdengar tarikan napas lega Dewa.

“Iya, Ma. Ini ada suratnya.” Sahut Dewa cepat. "Nanti Dewa fotoin dan kirim ke WA Teteh ya,” katanya lagi.

“Sekarang kamu mau ke mana?” tanya Ibu Ivone.

“Dewa sama Aa Aufa mau ikut ke Cikadut, Ma. Meski tak bisa melihat dari dekat, setidaknya kami bisa menyaksikan pemakaman Papa.” Sahutnya.

“Ya sudah kalau begitu. Kirim saja foto-foto Papa di pemakaman ya. Kalian berdua hati-hati, tetap jaga protokol kesehatan dan jangan lupa pakai masker.” Pesan Ibu Ivone pada putra dan calon menantunya.

“Iya, Ma. Kami hanya boleh melihat dari jauh saja. Sudah dulu ya, Ma. Bilangin ke Teteh jangan banyak pikiran, jangan stress. Gheza juga jangan ngomel-ngomel terus.”

Iya, Nak. Kamu juga yang sabar ya. Mana Aufa,”

“Ini ada. A, Mama mau bicara,” Dewa menyerahkan ponselnya pada Aufa.

“Halo, Ma. Ini Aufa. Maaf ya, Ma, kami gagal mengambil jenazah Papa.”

“Nggak apa-apa, Fa. Sudah ketentuan pemerintah seperti itu, kita bisa apa. Terima kasih ya sudah bantuin Dewa. Kalian hati-hati ya,”

“Iya, Mama. Sudah semesti Aufa membantu adik Dewa, Dewa kan adik Aufa juga. Kami berangkat dulu ya, Ma, itu ambulans-nya sudah mau berangkat, titip salam buat Sada. Wassalamualaikum.”

Lihat selengkapnya