Musim ini benar-benar sangat menegangkan, setiap hari hidup selalu diliputi dengan kecemasan serta ketakutan-ketakutan. Mau pegi ke mana-mana, langkah kaki terhalang oleh keragu-raguan. Bertahan di dalam rumah mungkin lebih baik, tetapi urusan perut tak bisa ditahan. Keluar atau tidak keluar rumah sama saja resikonya seperti bunuh diri.
Musim corona varian baru tahun ini, katanya lebih ganas dari varian original di tahun lalu. Makhluk halus berukuran tak lebih dari skala jenin nanometer itu persis seperti serdadu musuh yang merisak, masuk benteng pertahanan musuh secara bergerilya, pelan-pelan namun pasti ia menguasi seluruh organ dan melahap habis zat-zat enzim tubuh.
Yang hebatnya lagi makhluk halus yang bukan astral ini bisa membelah diri layaknya amoeba. Dari satu menjadi dua, menjadi tiga, menjadi empat, terus membelah diri bekali-kali lipat hingga berjumlah ribuan bahkan jutaan dan pada akhirnya ia berhasil menjadi penguasa mutlak di bumi ini.
Pemberitaan tentang corona semakin mendrama. Puncaknya setelah libur hari raya Idul Fitri tahun ini. Setiap hari berbagai media penyiaran, surat kabar hingga media sosial dipenuhi oleh berita tentang covid—raja bermahkota tanduk—dan kabar tentang kematian banyak orang yang disebabkan oleh infeksi virus tersebut.
Beberapa bulan belakangan ini, hampir setiap hari, setiap jam, suara sirine ambulans meraung-raung menteror kampung-kampung dan kota-kota. Bising sekali. Toa-toa di masjid tak pernah beristirahat menyampaikan kabar duka untuk seluruh penghuni bumi.
Bila tahun-tahun lalu, Sada cuma menonton kematian para korban covid, tapi tahun ini ia menghadapi sendiri keluarganya bahkan orang terdekat dengannya yang meninggal karena corona.
Setelah calon ibu dan ayah mertuanya resmi menyandang gelar penyitas covid hingga rencana pernikahannya harus di undur sebab calon mertuanya beserta seluruh keluarga masih harus menjalani karantina, termasuk calon suaminya pun harus menjalani isolasi mandiri di rumah. kemudian disusul dengan kabar, Dewa yang juga resmi dinyatakan positif covid dan dengan berbagai upaya dalam waktu singkat Dewa berhasil merubah tanda plus menjadi minus. Belum selesai syok yang Sada rasakan, jantungnya harus kembali menerima kabar duka lagi dari ayahnya yang gagal menyelamatkan diri dari serangan virus bertanduk itu.
Malam ini adalah hari keenam wafatnya Pak Rahdian, perasaan kehilangan semakin meluaskan kenangan, terlebih ketika Sada dan ibunya sedang mengumpulkan barang-barang peninggalan serta pakaian-pakaian Pak Rahdian yang tersisa di rumah.
Kenangan demi kenangan berdesakan masuk ke dalam ingatan yang masih diselimuti duka yang mendalam. Sada berdiri di depan lemari pakaian kamar ibunya. Pintu lemari kayu bercat hitam itu terbuka lebar, tetapi Sada bergeming memandangi lipatan-lipatan pakaian yang masih tertata rapid an harum.
Pandangan Sada berhenti pada rak kedua dari atas. Lalu ia mengambil salah satu kain sarung motif tenun Bugis milik ayahnya, mendekap kain sarung itu dan menghirup aroma kamper. Beberapa menit kemudian, ia membuka lipatan kain berwarna krem dengan motif seperti daun-daun pakis tua dan langsung mengenakannya sebagai rok.
Ibu Ivone tak bicara sepatah kata pun, hanya mengamati tingkah laku Sada dengan seutas senyum haru. Ia ingat, sarung itu ia beli sebagai hadiah ulang tahun untuk suaminya delapan tahun yang lalu. Sudah lama sekali, meskipun sering dipakai, namun warnanya tidak beladus dan dasarnya tetap kuat. Pak Rahdian sengaja meninggalkan kain itu, katanya untuk selimut Sada kalau ia rindu pada ayahnya. Sebagai gantinya, Pak Rahdian membawa baju koko hadiah dari putrinya.
“Papa bawa baju dan sajadah ini ya, Ma. Baju ini pembelian Sada, kalau Papa rindu dia, Papa bisa memakainya setiap hari. Jaket ini pembelian Dewa, Papa juga akan pakai ini kalau Papa rindu dia.” Katanya saat berkemas sebelum hari kepergiannya dan setelah pertengkaran hebat itu terjadi.
“Apakah Papa tidak akan merindukan Mama?” canda kaku istrinya, menatap Pak Rahdian dengan ujung mata yang tertutup lensa kacamata.
“Tentu saja Papa akan selalu merindukan Mama setiap waktu. Tapi Papa tak perlu membawa apa-apa kenangan dari Mama, meski badai telah terjadi dalam rumah tangga kita, Papa tak bisa bohong kalau untuk urusan hati. Papa tak perlu membawa apa-apa, cukup hati Mama saja yang akan Papa bawa sampai mati dan Papa menitipkan dua buah hati kita pada Mama.” Katanya serak.
Ibu Ivone tersenyum tipis sekali. Dulu ia pasti akan tersipu-sipu bila suaminya berkata begitu, kupu-kupu di dalam dadanya seakan membawanya terbang ke negeri asmara yang indah. Tapi malam itu semua terasa hampa.
“Mama. Kain sarung Papa yang ini buat Sada aja ya, Ma? Mau Sa bikin jadi rok aja atau gamis,” katanya tak melihat ibunya, ia mematut diri di depan cermin lemari.
Perkataan Sada mengembalikan kenangan pulang ke waktu dua tahun lalu. Ibu Ivone kembali lagi ke situasi kamarnya, di mana mala mini hanya ada dia dan putri sulungnya serta tumpukan pakaian kekasihnya yang masih tertata rapi di lemari.
“Boleh. Ehm … itu ada satu lagi yang bagus, kalau kamu mau … ambillah. Kamu kan pecinta batik,” jawabnya gugup. Ibu Ivone membuka satu pintu lemari lainnya lagi yang masih tertutup. Ibu Ivone memilih salah satu kain sarung batik milik suaminya.