Ibu Ivone menghela napas panjang seraya menggelengkan kepala melihat Sada yang tak henti mengomeli perempuan yang telah merebut ayahnya. Sejujurnya Ibu Ivone juga merasa kesal dengan teror-teror telepon itu. Dulu juga ketika perempuan itu baru menjalin kasih dengan suaminya, dia menteror Ibu Ivone dan anak-anaknya dengan telepon-telepon serta sms-sms yang bernada ancaman. Hingga membuat Dewa naik darah dan nekat menemui perempuan itu.
Ibu Ivone pun naik pitam karena ancaman itu telah membuat Sada terkena serangan jantung sampai harus dirawat di rumah sakit. Tak terima dengan semua itu Ibu Ivone lalu menelepon perempuan bernama Titin Prihatin yang telah mengambil suaminya secara curang.
“Kamu telah mendapatkan semua yang kamu mau dari suami saya, kamu juga telah berhasil mengambil tubuhnya dan memisahkannya dari kami. apakah itu masih belum cukup sehingga kamu masih mengganggu saya dan anak-anak dengan teror-terormu. Dengar, kamu tidak akan mendapatkan apa-apa lagi selain yang telah kamu curi sekarang dan satu lagi, bila sampai terjadi apa-apa pada putri saya, saya tidak akan segan-segan untuk memeja hijaukan kamu!” tegas Ibu Ivone dua tahun silam.
Setelah di datangi Dewa dan ditekan balik oleh Ibu Ivone, tak pernah ada lagi teror-teror sampai kejadian meninggalnya Pak Rahdian. Sekarang perempuan itu kembali menteror Ibu Ivone dan Sada tetapi kali ini tak disertai ancaman-ancaman seperti dulu.
Ponsel Sada berdering lagi, kali ini lebih lama dan cukup mengganggu. Gadis berkaca mata minus itu melirik layar ponselnya dengan wajah ditekuk: “Apa sih maunya orang ini?” rutuk gadis itu menghempaskan pakaian yang tengah ia lipat, mengambil ponsel yang terbaring di ranjang bermaksud untuk mengangkatnya.
“Sa, sudah biarkan saja, nggak usah di angkat. Nanti juga dia akan bosan sendiri kalau nggak kita ladeni. Tapi jangan dihapus nomor teleponnya biar kita tahu kalau ada telepon dari dia lagi,” ujar Ibu Ivone dengan pembawaan karakter yang tetap tenang.
“Ini orang benar-benar mancing emosi banget,” celetuk Sada lagi, meletakan lagi ponselnya di atas ranjang dan melanjutkan lagi tugasnya menyusun lipatan pakaian ke dalam kardus.
“Sa sudahlah ingat jantungnya. Sini … mana yang sudah selesai, biar Mama ikat,” Ibu Ivone mengambil tali plastik di atas meja rias.
“Di lem plester pakai lem plester coklat ini aja, Ma. Biar lebih rapi dan kuat.” Sada menunjukan gulungan lem plester berwarna coklat yang ia ambil dari kamarnya ketika ibunya tadi larut dalam kenangan. Ibu Ivone mengangguk setuju.
Sampai menjelang isya kedua ibu dan anak itu baru selesai mengerjakan semuanya. Ibu Ivone menyusun kotak-kotak tersebut di dekat pintu yang besok akan di ambil oleh teman Sada yang bertugas sebagai relawan di desa jalur yang sedang tertimpa musibah angin puting beliung.
“Selesai.” Sada menarik, merenggangkan kedua tangannya ke atas, ke samping dan ke depan, merenggangkan juga tubuhnya lalu, meluruskan pinggang di ranjang ibunya.
“Pas banget, begitu selesai azan isya berbunyi.” Kata Ibu Ivone berdiri mengambil sapu dan membersihkan lantai kamar yang sedikit berdebu dari kotak kardus.
Sada mengira ibunya akan langsung ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, tetapi ibunya malah kembali lagi ke kamar, membuka lagi lemari pakaian dan mengambil sesuatu dari rak paling bawah.
Sada memiringkan tubuhnya untuk melihat apa yang dikeluarkan oleh ibunya dari dalam lemari. Empat buah kotak, tiga kotak sebesar kotak sepatu dan satunya lagi kotak yang cukup besar. Kemudian Ibu Ivone mengambil sebuah amplop coklat panjang dari kotak kecil dibagian tengah lemari pakaian.
“Apa itu, Ma?” tanya Sada sambil membenarkan letak kacamatanya, tapi masih tetap dalam posisi tidur miring.
“Wasiat dari Papamu. Sebelum beliau pergi, beliau menitipkan ini pada Mama. Satu untuk kamu, untuk Dewa, ada juga untuk Gheza dan kotak yang satu ini hanya boleh dibuka setelah Papa meninggal.” Ucap Ibu Ivone menjejerkan kotak-kotak yang ternyata ada empat buah.
Ibu Ivone menyodorkan satu kotak wasiat yang telah bertuliskan nama Sada Ameera Kirania. “Ini punya Sada. Ambilah.” Sambung ibunya.