Heart for the Ice Princess

Fii
Chapter #3

2 >> Not Better Than Before

Ketika harapan tidak sesuai kenyataan, maka itu artinya kita sedang diberikan pelajaran hidup yang bernama Ikhlas.

- Fii

...&...

Gadis yang baru saja kehilangan benda lentur di rambutnya mendengkus, lalu membalikkan badan. Ia melemparkan tatapan dingin dan kesal ke arah cowok itu. Sejak kelas X, Audy selalu merasa terusik dengan kehadirannya meskipun itu hanya sekadar menyapa. Yang jelas, di balik sapaannya terdapat hidden something yang tidak dapat ditebak dan membuat Audy pusing jika memikirkannya.

"Hei!" seru Audy.

Cowok yang name tag-nya tertulis Julian Narenda Carlen itu tersenyum smirk. Tali rambut Audy yang berwarna kuning, ia sembunyikan di belakang punggungnya. Ya, baru saja ia menarik tali rambut gadis bermata chocolate itu.

"Mau gue balikin, heum?" Julian membalas tatapan Audy dengan ledekan.

Audy tidak menjawab. Dirinya memutuskan untuk membalikkan badan dan melenggang pergi begitu saja. Julian menatap kesal karena tidak berhasil menjailinya.

"Liat aja, Frozen," gumamnya lirih.

Bukan tanpa alasan Julian memanggil gadis itu dengan sebutan Frozen. Jika anak-anak lain akan segera menghindar ketika didekatinya, maka berbeda lain ceritanya jika anak itu adalah Audy. Ia tidak terpengaruh dan menanggapi segala kejailannya dengan terlampau beku. Membuat seorang Julian berhasil dicekik oleh rasa penasaran. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjaili Audy terus-terusan hingga berhasil melihat reaksi marah gadis tersebut.

Audy memasuki kelas dan melihat keempat sahabatnya sudah kembali dari kantin. Hideki yang duduk di barisan kedua dari depan, menyadari kehadirannya lebih dulu. Ia mengernyitkan dahi karena melihat rambut hitam lurus sahabatnya tergerai.

"Kenapa ditekuk gitu mukanya?" tanya Hideki setelah Audy berhasil mendaratkan pantatnya di kursi.

"Enggak," sahut Audy cuek. Ia menelungkupkan wajah di atas meja berwarna putih hingga membuat rambutnya menjuntai ke kedua sisi lengan.

"Ketemu si Biang Kerok, ya?" tebak Nila yang sedang duduk di meja belakang kursi Audy.

Gadis itu hanya mengangguk dengan tetap mempertahankan posisi.

Gadis tomboy itu pun mendesis. "Dasar cowok itu!"

Hideki mengeluarkan sebuah benda lentur, berbentuk lingkaran, dan berwarna hitam polos dari saku tas punggung Export-nya. Ia meraih tangan kiri Audy, lalu meletakkan benda tersebut ke telapak tangan gadis itu. Audy segera menyadarinya, lalu mengangkat kepala dan matanya tertuju pada benda tersebut.

"Masih aja, ya, lo ke sekolah bawa kunciran rambut," celetuk Nila yang melihatnya.

"Pakai ini!" perintah Hideki pada Audy, lalu menatap Nila. "Gue enggak suka lihat rambut Audy ke mana-mana."

"Dy, enggak usah dipakai aja deh! Lo lebih cantik kalau rambutnya digerai." Joseph tersenyum penuh arti pada gadis yang sedang mengumpulkan rambut panjangnya untuk diikat.

"Bener banget, tuh!" Alex mengompori sambil menjentikkan jari.

Hideki memukul kepala Alex menggunakan buku paket, lalu melemparkan tatapan protes kepada Joseph yang duduk di barisan kanan Audy.

***

"Audy, mau ikut ke mall enggak?" tanya Suci yang sudah rapi dengan rok span putih selutut yang dipadu dengan baju satin hijau tosca.

"Enggak, Ma. Audy ada PR buat besok," tolaknya halus.

Zahra turun dari tangga bercat gold dengan membawa sling bag. Dia mendekati Audy dan Suci yang sedang menonton televisi di ruang keluarga.

"Ma, Zahra udah siap," ujarnya dengan senyum yang mengembang. Ia girang sejak papanya menikah dengan seorang wanita bernama Suci tersebut. Bagaimana tidak? Kini, dirinya memiliki shopping partner.

"Enggak ikut?" tanyanya dengan nada malas sambil melirik Audy yang duduk sila. Audy hanya menggeleng pelan sebagai jawaban. "Ya, udah. Yuk, Ma!"

"Yuk, Sayang!" Suci berdiri dan menyambar tasnya di atas meja. "Baik-baik di rumah, ya?"

Gadis yang memakai kaus biru dan celana jeans pendek biru dongker itu memandang kepergian mereka. Setelah hilang dari pandangan, ia menghela napas gusar. Sejak Suci menikah dengan seorang Alfa Anderson, Audy merasa semakin jauh dengan mamanya. Untuk kesekian kali, dirinya merasa seperti orang asing.

Audy melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 16.55 WIB. Dia memiliki ide untuk menghibur diri sejenak. Segera ia menelepon seseorang dan mengatakan keinginannya. Setelah disetujui, senyumnya mengembang. Sepasang kakinya melangkah ringan menuju kamar untuk ganti pakaian dan mengambil tas punggung kecil, lalu pergi menggunakan sepeda.

Dua puluh menit kemudian, dirinya sampai di tempat tujuan, yaitu Amour De La Café And Resto. Kafe tersebut merupakan tempat nongkrong yang terkesan cozy and comfortable dan di mana ia sering menyumbangkan suaranya. Ya, Audy memiliki bakat menyanyi. Di sekolah, ia menyalurkan bakatnya dengan mengikuti salah satu kegiatan in door, yaitu School Musical Club (SMC).

"Halo, Dy?" sapa manajer cafe tersebut.

"Sore, Pak Rudi." Audy menyalami pria berusia empat puluh dua tahun tersebut. "Kak Feb ada di ruangannya?"

"Ada," jawabnya sambil tersenyum.

"Terima kasih. Audy ke sana, ya, Pak?" pamitnya yang dijawab anggukan oleh Rudi. Kemudian, dia menaiki tangga bercat silver, lalu belok ke kiri.

"Permisi, Kak?" Audy mendorong pelan pintu ruangan itu.

Lihat selengkapnya