Cincin berbatu permata melingkar di jari manis tangan kanannya. Ia mengecup punggung tangan Randy, laki-laki yang baru saja sah menjadi suaminya.
Kara Almeta Indriani, seorang mahasiswi yang baru satu minggu melakukan operasi pencangkokan ginjal. Bukan Ia yang mendapat pencangkokannya, tetapi Ia yang mendonorkan ginjalnya untuk seorang Ibu yang sudah kritis karena mengalami gagal ginjal pada kedua ginjalnya.
“Masuk!” perintah Randy, meminta Kara untuk masuk ke dalam mobil yang sudah Ia bukakan pintunya untuk sang istri.
“Hm, te-rimakasih,” balas Kara dengan senyum tipisnya.
Randy masuk ke dalam mobil, untuk mengemudikannya dan menuju ke rumah mereka. Ya, ke rumah mereka. Sebuah rumah yang sudah dimiliki oleh Randy sejak duduk dibangku perkuliahan, rumah yang Ia huni sudah hampir lima tahun.
“Kak, ma-af ji,--”
“Sudah tidak perlu dibahas,” ucap Randy memotong pembicaraan Kara.
“Oh, maaf,” gumam Kara.
Kara merasa bersalah pada Randy karena menerima lamaran orangtua Randy untuk menjadi istrinya. Dimana Randy terlihat tidak setuju dengan pernikahannya. Namun Randy tidak bisa mengelaknya karena Kara sudah menyelamatkan nyawa Ibunya. Berkat ginjal milik Kara, sang Ibu berhasil bertahan hidup dan kini sudah kembali beraktivitas dengan normal.
Namun tidak dengan Kara. Dokter memvonis Kara bisa saja mengalami hal yang lebih parah dari Bu Nia, Ibu Randy, jika Ia memaksakan diri untuk bekerja keras dan terlalu aktif dalam kegiatan. Ia tidak boleh terlalu lelah, pola makan yang harus dijaga dan juga tetap harus meminum suplemen yang diberikan oleh dokter agar imunnya tetap terjaga dan sehat.
“Masuk!” perintah Randy lagi.
Kali ini Randy meminta Kara untuk masuk ke dalam rumahnya.
Rumah dua lantai dengan desain minimalis itu terlihat sederhana namun sangat elit. Dinding yang diberikan walpaper garis horizontal berwarna hitam, abu-abu dan putih itu menambah kesan minimalis juga di bagian dalam rumah.
“Ini kamarku. Kamarmu di sebelah,” ujar Randy lalu masuk ke dalam kamarnya.
Sementara Kara masih diam melihat pintu kamar Randy ditutup keras, hingga terdengar suaranya yang membuatnya berdegup.
“Huft…, aku hanya ingin menolong Bu Nia saja, tidak dengan pernikahan ini,” gumamnya memandang cincin yang melingkar di jari manis, tangan kanannya.
Kara melanjutkan langkahnya, menuju ke sebuah kamar yang bersebelahan dengan kamar Randy. Kamar yang tidak begitu luas namun tertata sangat rapi, sehingga sangat nyaman dipandang.
“Warna pastel…, kesukaanku,” gumamnya tersenyum, senang melihat kamarnya yang begitu indah dimatanya.
Ia menutup pintunya dan segera duduk di atas tempat tidur spring bed berukuran king.
“Bisa main bola disini,” kekehnya lalu bergulingan di atas ranjang yang menurutnya super luas. “Huft, seharusnya aku diadopsi saja oleh Bu Nia…, tidak perlu menikah dengan Kak Randy.”
Tok tok tok
Pintu kamar Kara diketuk tiba-tiba.
“Kara! keluar sebentar!” terdengar suaa Randy yang memintanya untuk segera keluar kamar.
Kara segera beranjak dari tempat duduknya dan membukakan pintu untuk Randy.
Cklek
“Ada apa Kak?” tanya Kara mengumbar senyumnya.
“Kamu kapan mau beli-beli pakaian dan kebutuhan?” tanya Randy juga, melihat Kara dengan ekspresi datar.
“Hmmm, i-itu, aku sudah membawanya kok Kak. Kopernya masih di mobil.”