Kara masuk ke dalam rumah sendiri, tanpa Randy. Benar, Randy hanya mengantarkan Kara saja, tidak ikut pulang. Bahkan Kara tidak tahu apa alasan suaminya tidak pulang malam ini.
“Kalau aku bilang apapun, nggak perlu pakai ditanya bisa nggak?” umpatnya mengikuti gaya bicara Randy. “Nggak usah pulang saja seterusnya. Aku lebih baik sendiri,” gerutunya kemudian masuk ke dalam kamarnya.
Baru saja Ia menutup pintu kamarnya, Ia mendapat panggilan dari Randy.
“Apa lagi sih?! kala nggak mau pulang, yasudah nggak pulang saja,” gerutunya lalu menerima panggilan dari suaminya.
“Halo Ra?” sapa Randy dalam telponnya.
“Kenapa Kak?” tanya Kara yang sebenarnya malas menerima panggilan dari Randy.
“Cek semua pintu, sudah dikunci belum.”
“Iya Kak iya…, nanti aku cek.”
“Sekarang Kara…, kamu sendirian di rumah,” gertak Randy. “Panggilan video, aku ingin memastikannya,” perintah Randy.
Kara segera mengalihkan panggilan suaranya menjadi panggilan video. Melihat gelap Randy yang masih berada di dalam mobil.
“Masih di mobil Kak?” tanya Kara basa-basi.
“Sudah jangan banyak basa-basi, segera ke pintu ruang tamu!” perintah Randy.
“Aku baru saja menguncinya Kak,” elak Kara.
“Aku ingin memastikannya. Lakukan segera!”
Kara menahan kekesalannya pada Randy dan melangkah menuju ke ruang tamu untuk memastikan kalau pintu utama rumahnya sudah dikunci.
“Sudah kan?”
“Pintu dapur,” pinta Randy.
Kara kembali melangkah dan kini menuju ke pintu yang menuju ke halaman belakang rumahnya, yakni pintu dapur.
“Oke. Istirhatlah, aku tutup telponnya.”
Tanpa mendengar jawaban dari Kara, Randy segera menutup panggilannya.
“Aaaargh! aku kesal….!” gerutu Kara karena Randy yang semakin menyebalkan menurutnya.
***
Ctak Ctek Ctak Ctek
Bunyi ketukan pulpen milik Kara, yang Ia ketukkan di atas meja lipat di kelasnya. Ia merasa bosan dengan salah satu mata kuliahnya hari ini, karena dosennya yang lebih sering bercerita tentang hal pribadi dan pengalamannya, dibandingkan dengan memberikan materi untuk pelajaran.
Niken memperhatikan Kara yang terlihat muram dan ingin mengakhiri kelas. Ia terkekeh, raut Kara semakin menunjukkan kebosanannya di dalam kelas.
“Kenapa?” tanya Niken berbisik.
“Ngantuk,” jawabnya sembari menguap.
“Sabar, sebentar lagi juga habis jam mengajarnya.”
Kara berhasil menahan kantuknya hingga jam perkuliahannya selesai.
Seperti biasa, Kara janjian dengan kekasihnya, Aaron, untuk pulang kuliah bersama. Namun, Kara masih saja meminta Aaron untuk mengantarnya ke panti asuhan, tidak ke rumah barunya bersama Randy. Tentunya karena takut ketahuan kalau Ia bukanlah diadopsi, tetapi dinikahkan.
“Masih sering main ke panti? atau nanti kamu dijemput disini?” tanya Aaron yang berada di dalam mobil, sedangkan Kara sudah berada di luar.
“Eu, itu…, aku, n-nanti dijemput sama Kakak-ku, disini,” jawab Kara terbata karena panik.
“Kamu kenapa?” tanya Aaron mendekat.
“Hm? eng-nggak apa-apa kok. A-aku baik-baik saja,” jawab Kara menyeringai.
Aaron melepas seat belt-nya dan keluar dari mobilnya, lalu mendekat pada Kara. Ia mendekap Kara dan memberi kecupan dikeningnya.
“Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk cerita ya,” ucap Aaron dengan melontarkan senyum ketampanannya.
Blush
Pipi Kara memerah, malu karena perlakuan Aaron yang begitu romantis menurutnya.
“I-iya Aaron…, t-terimakasih, sudah perhatian padaku.”
Aaron kembali masuk ke dalam mobilnya dan Kara melambaikan tangannya sebelum mobil Aaron berlalu.
“Huft…, selamat, selamat…,” gumamnya sembari mengelus dada, merasa lolos dari kecurigaan Aaron.
Kara berbalik badan dan membuka pagar rumah yang menjadi panti, tempat Ia dibesarkan selama beberapa belas tahun.
Tiiin